KESULITAN MASIH MENGANGA, PAJAK MENAMBAH SENGSARA


author photo

21 Okt 2021 - 18.06 WIB



Oleh : Ummu Adi
Aktivis Dakwah


Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah peribahasa yang kiranya cocok menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Ditengah suasana pandemi yang entah sampai kapan akan berakhir, ditambah lagi dengan himpitan ekonomi dan susahnya mencari sumber pemasukan bagi pejuang receh untuk menghidupi keluarganya. Pemerintah dengan murah hati berencana menaikkan pajak lagi.

Sebagaimana dirilis oleh kompas.com, 7/10/2021 Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, pada April tahun 2022 mendatang. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025 dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Disampaikan juga secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia, sebesar 15,4 persen. Lebih rendah dari Filipina (12 persen), China (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen), dan India (18 persen)," ucap Yasonna dalam sidang paripurna, Kamis (7/10/2021).

Tidak itu saja, belum lama ini UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)  menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP).

Hal ini untuk memperkuat reformasi administrasi perpajakan," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak (DJP), Neilmadrin Noor. (kompas.com, 10/10/2021)

Rencana kenaikan pajak ini, pastinya berpotensi menambah beban hidup masyarakat. Terlebih lagi adanya rencana penggunaaan NIK menjadi NPWP OP. Nyata sekali kezaliman pemerintah saat ini. Bukannya membantu meringankan beban hidup masyarakat ditengah masih merebaknya Covid-19, pemerintah justru membuat kebijakan yang menyakiti hati rakyat.

Dalam sistem kapitalis, pajak adalah sumber pemasukan negara terbesar, selain pinjaman atau utang luar negeri, yang peruntukannya guna membiayai pembangunan  dan pemeliharaan infrastruktur pada sektor publik, seperti jalan tol, jembatan, rumah sakit, listrik, air dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, rakyat diharuskan membayar penggunaan layanan publik tersebut melalui pungutan pajak. Pajak inilah yang nantinya akan dipakai untuk mengembalikan pinjaman beserta bunganya kepada negara yang meminjamkan atau lembaga keuangan internasional. Karena dalam  sistem kapitalis, tidak ada makan siang yang gratis.

Disadari atau tidak pinjaman atau utang yang ditawarkan oleh kafir barat, berpeluang menjadikan negeri ini dikuasai oleh orang-orang asing yang berwatak kapitalis. Padahal Allah sudah mengingatkan dalam QS. An-Nisa [4]: 141

ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا

Artinya: "Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman."

Hal ini sangat disayangkan, mengingat Indonesia adalah negeri dengan SDA melimpah, yang apabila dikelola dengan baik, tentunya akan mampu mensejahterakan rakyatnya, sehingga umat tidak perlu membayar pajak atas pelayanan yang didapatkan.  Namun faktanya pemerintah lebih mempercayakan para kapital (pemilik modal) untuk pengelolaan SDA yang ada, dan menjadikan utang luar negeri sebagai modal untuk membangun dan membiayai  infrastruktur serta layanan publik, sehingga rakyat harus membeli untuk mendapatkan pelayanan tersebut.


Pandangan Islam Tentang Pajak


Istilah pajak dalam Islam adalah dharibah.
Menurut Syekh Abdul Qadir Zallum, dharibah/pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi Baitul mal tidak ada uang/harta.

Kewajiban tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan atas kebutuhan pokok dan sekundernya, sifatnya temporer dan akan dihentikan hingga kas Baitul mal terpenuhi.

Adapun sumber penerimaan Baitul mal meliputi beberapa hal, diantaranya: 
1. Kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dan sebagainya
2. Kepemilikan umum, seperti hasil tambang, hasil hutan, minyak bumi, gas, batubara, dan sebagainya.
3. Kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj,  ghanimah, fa'i dan sebagainya.

Apabila kas Baitul mal dalam keadaan defisit, karena banyaknya pengeluaran, maka pemerintah dalam hal ini Khalifah bisa mengenakan pajak bagi orang-orang kaya. Hal ini dimaksudkan untuk membiayai keperluan jihad, memberi bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil. Tidak itu saja, pajak juga akan dialokasikan untuk membayar pegawai pemerintahan, tentara, hakim, guru, termasuk juga untuk penanggulangan bencana alam, seperti gempa bumi, longsor dan banjir. Sedangkan zakat, hanya khusus diberikan kepada 8 ashnaf seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an.

Luar biasa bukan, bagaimana Islam menyelesaikan permasalahan umatnya. Hal yang pastinya tidak akan kita dapati ketika masih mempertahankan sistem kufur yang berbasis materi. Hanya dengan sistem  Islam, kekayaan alam yang ada di negeri ini akan dikelola negara secara mandiri dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kemaslahatan umat dalam bentuk fasilitas umum dan infrastruktur yang bisa didapatkan  dengan harga murah atau secara gratis, tanpa khawatir dikenai pajak.

Wallaahu a'lam bishshawab.
Bagikan:
KOMENTAR