Sekolah Membiasakan Hijab, Dianggap Perundungan?


author photo

7 Agu 2022 - 19.17 WIB



Oleh: Fadilah Rahmi, S.Pd

(Guru dan Aktivis Dakwah)

Jilbab (baca: kerudung) bukanlah sekedar indentitas seorang muslimah, ia merupakan kewajiban atau perintah dari Allah Swt. untuk dikenakan saat keluar rumah. Namun, apa jadinya jika jilbab yang menjadi kewajiban ini, saat diminta untuk dikenakan justru dianggap pemaksaan dan mengarah ke perundungan bahkan oleh seorang Muslim?

Dilansir dari kumparanNEWS (31/07/2022), Seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY, diduga mengalami depresi diduga karena dipaksa gurunya untuk mengenakan jilbab. Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Kabar pemaksaan ini turut sampai ke Ombudsman RI perwakilan DIY. Kepala ORI DIY Budhi Masturi akan menelusuri dugaan perundungan dalam peristiwa tersebut. Dia menilai pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa masuk kategori perundungan.

Inilah bukti nyata ancaman diterapkannya sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Penerapan sistem ini menghasilkan generasi muslimah yang kehilangan jati dirinya sebagai seorang Muslim, yang mengharuskan untuk menjalankan kewajiban syari'at. Sehingga ketika diingatkan atau didakwakan untuk menutup aurat, generasi saat ini akan merasa kebebasan dan haknya terancam serta merasa dipaksa.

Sistem sekuler-liberal selalu menjadikan alasan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) sebagai alasan bahwa setiap manusia bebas mengekspresikan diri, bebas memakai pakaian yang ia inginkan, dan tidak ada yang boleh memaksakan termasuk alasan agama sekalipun.

Yang lebih disayangkan, berita ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membeci Islam untuk semakin menframing buruk ajaran Islam dan menyebarkan islamophobia. Masifnya media memberitakan, membuat kemudian munculnya narasi untuk mengembalikan seragam sekolah negeri seperti dulu, yaitu memakai kemeja lengan pendek dan rok selutut bagi perempuan. Serta menjadikan memakai jilbab sebagai pilihan saja.

Banyak netizen yang mengatakan jika yang dipersalahkan bukanlah aturan jilbabnya, tapi pemaksaan yang dilakukan. Namun, bukankah pemaksaan ini masih bersifat dugaan saja? Jika yang dipermasalahkan adalah murni karena "pemaksaannya" yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) bukan karena jilbabnya, lantas mengapa selama ini "pemaksaan" harus memakai sepatu hitam, memakai dasi, topi sekolah, bahkan aturan berambut pendek bagi siswa laki-laki tidak dianggap sebagai pemaksaan? padahal jika aturan itu tidak diterapkan, akan diberikan sanksi berupa sepatu yang disita, bahkan rambut yang akan dipotong oleh pihak sekolah. Bukankah aturan tersebut juga tidak semua orang menginginkannya? Bukankah ini juga melanggar hak asasi? Apakah itu tidak dipermasalahkan karena tidak berkaitan dengan agama?

Sekolah adalah lembaga pendidikan. Dimana, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Pendidikan juga bertujuan untuk mewujudkan individu yang bertaqwa kepada Allah Swt. Maka, adalah suatu hal yang wajar bahkan harus jika seorang guru atas tanggung jawab morilnya merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkan seorang siswi Muslim untuk menjalankan kewajiban menutup aurat.

Jilbab adalah salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah Swt., bukan sebagai alat untuk membuat perempuan merasa terkekang. Karena kewajiban menutup aurat adalah untuk memuliakan wanita. Allah Swt. berfirman: "Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)..." (Q.S an-Nur:31).

Juga dalam salah satu Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam kepada Asma
"Wahai Asma', sesungguhnya seorang wanita, apabila telah balig (mengalami haid), tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya)". (HR Abu Dawud).

Jadi, jelas bahwa memakai kerudung adalah bagian dari kewajiban menutup aurat. Bukan sesuatu yang boleh dipilih hanya atas dasar suka tidak suka, mau tidak mau, apalagi hanya mengikuti hawa nafsu semata. Bukankah lebih baik "dipaksa" masuk surga daripada "sukarela" masuk neraka? Bukankah juga setiap aturan bahkan yang dihasilkan dari pemikiran juga pada dasarnya bersifat paksaan dan ada sanksi yang diberikan jika dilanggar?

Kesadaran menutup aurat sesuai syari'at tidak akan muncul pada generasi ini jika masih hidup dalam kubangan sistem sekuler-liberal yang mengedepankan kebebasan.  Mengajak seseorang untuk taat kepada Allah Swt. adalah kewajiban seorang Muslim kepada Muslim lainnya. Jadi, mengingatkan seorang Muslimah atas kewajibannya menutup aurat adalah bentuk dakwah yang seharusnya didukung bukan dianggap sebagai pemaksaan.

Pola pikir dan pola sikap islami yang Islami yang memunculkan ketaqwaan, keikhlasan, serta kesadaran untuk taat kepada Allah Swt. hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Maka, sudah seharusnya sebagai seorang Muslim memiliki kesadaran untuk meninggalkan sistem sekuler dan kembali kepada aturan Islam yang kaffah. Yang tidak hanya membawa kebaikan pada urusan dunianya, namun juga kebaikan bagi kehidupan akhirarnya.
Wallahu a'lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR