Difabel Sayang Difabel Malang


author photo

7 Sep 2023 - 16.04 WIB


Oleh : Rahmayanti, S.Pd

Penyandang difabel atau biasa disebut disabilitas, masih menjadi isu yang minim diperbincangkan dikalangan petinggi negara hingga saat ini. Penyandang disabilitas masih sangat sulit dalam mendapatkan pekerjaan terutama di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia. Ternyata penyandang disabilitas di Indonesia keadaannya sungguh memprihatinkan, mereka masih bergulat untuk memenuhi kebutuhan, terutama dalam pencarian pekerjaan yang mengalami persaingan dengan orang kebanyakan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) pada  Februari  tahun 2020 merilis angka penyandang disabilitas usia produktif di Indonesia sebesar 17,74 juta orang. Dari jumlah tersebut  hanya 7,8 juta yang terserap dunia kerja. Berarti Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas hanya 44 persen, jauh di bawah TPAK Nasional sebesar 69 persen. Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas menunjukan bahwa banyak dari mereka sudah terlebih dahulu mundur dan tidak berani  masuk ke dalam pasar kerja. liputan6.com 24/02/2021. 

Sulitnya para disabilitas mendapatkan pekerjaan dikarenakan keterbatasan kemampuan yang mereka miliki, juga keterbatasan akses atas lingkungan fisik, informasi dan komunikasi di masyarakat. Selain itu pemberi kerja cenderung terfokus pada keterbatasan difabel ketimbang keterampilannya. Padahal ada pasal 11 UU/8/2016 yang bunyinya “ Memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi”. Artinya  pasal ini belum berlaku sepenuhnya di masyarakat.   
Pandangan Masyarakat Terhadap Keberadaan Disabilitas 
   
Disabilitas dapat diartikan setiap  orang yang  mengalami  keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif sebagai warga negara.

Memiliki keterbatasan di dalam hidup bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihadapi, apalagi berada pada masyarakat yang skeptis seperti di tanah air jarang ada orang yang mau menerima dengan baik  keberadaan mereka. Sering mereka diperlakukan dengan buruk, mendapatkan bullying, dianiaya, dilecehkan, bahkan ada yang mendapatkan tindak kriminal.
 Di dalam keluarga pun mereka terkadang dianggap beban, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan anggota keluarga yang lain.  Sumbangan media juga banyak memberikan pengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap disabilitas, penayangan bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa, dan perlu dikasihani. Padahal tidak semua penyandang disabilitas ingin mendapatkan sumbangan. Penggunaan kursi roda menambah semakin tingginya rasa iba masyarakat. Karena masyarakat menganggap mereka tidak bisa apa-apa  maka tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia dan bisa mereka dapatkan. Sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi di sinilah letak kesulitan disabilitas dalam pemenuhan kebutuhan.  

Masih perlu usaha penyadaran kepada masyarakat bagaimana memperlakukan dan memberikan pandangan yang sama agar para penyandang difabel merasa memiliki hak dan kewajiban yang dengan orang kebanyakan dan keberadaan mereka tidak dipandang sebelah mata di masyarakat. 

Ketidakberpihakan Kapitalisme kepada para Difabel Semua manusia sama memiliki  kebutuhan yang harus dipenuhi, tak terkecuali para penyandang difabel,  cuma karena mereka berkemampuan terbatas mereka haruslah diberikan kemudahan dan fasilitas  dalam melakukan berbagai aktifitas ekonomi. Apalagi kalau mereka laki-laki  yang bekewajiban menafkahi keluarganya. 

Selama ini keberadaan difabel  dianggap sebagai beban negara atau beban APBN,  padahal hal itu sangat dilarang. Bagaimanapun kondisinya, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara. Negara tidak boleh membebani para difabel agar bisa menopang jalannya perekonomian nasional. Membebani dengan hal-hal diluar kesanggupannya. Dan dianggap seperti orang kebanyakan. Jangan sampai memberikan program pelatihan kemandirian pemberdayaan ekonomi para difabel yang diakhirnya malah eksploitasi ekonomi. 

Kehadiran para difabel dalam UMKM adalah jalan terakhir usaha untuk mencari nafkah, karena tidak banyak lapangan pekerjaan untuk mereka. Seharusnya negara tanggap memberikan kebutuhan yang mereka perlukan, hanya saja negara yang menganut sistem kapitalisme tidak menjalankan perannya secara benar, karena mereka hanya bertujuan untuk mencari keuntungan semata, sehingga ketika masalah pengurusan rakyat akan berandaskan pada untung rugi. Kalaupun mereka telah berusaha mengurus para difabel dengan memberikan bantuan modal  tidak lain hanyalah eksploitasi  berbalut pemberdayaan ekonomi. Modal yang diberikan tentu tidak akan diberikan secara gratis, akan ada cicilan walaupun kecil. Padahal setiap usaha tidak akan selamanya mendapatkan keuntungan, mereka akan bersaing dengan pengusaha bermodal besar, jelas tidak akan berimbang. 
  Karena setiap warga negara adalah tanggung jawab negara maka apapun kondisi fisik dan mental mereka. Tetaplah wajib untuk diurusi. Malah hal itu  menjadi ladang pahala bagi penguasa kalau mereka di sejahterakan.
Solusi Islam.
  
Islam agama sekaligus ideologi yang khas, mengurusi segala permasalahan umat.  Di dalam Islam penguasa memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhan rakyatnya, baik yang sempurna ataupun yang difabel. Semua memiliki hak yang sama. Sebagaimana firman Allah Taala, “ Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian,” (TQS An-Nur : 61).

Islam memandang kaum difabel adalah golongan yang tidak bisa bekerja secara optimal dan harus membutuhkan bantuan dan perhatian maka negara akan hadir terdepan untuk menjamin kesejahteraan untuk mereka. Tanggung jawab ini tidak pernah diserahkan kepada swasta.

Untuk masalah kesejahteraan itu merupakan hak setiap rakyat termasuk yang disabilitas, dengan mewujudkan semua kebutuhan pokok mereka, meliputi sandang pangan dan papan serta kebutuhan dasar publik yaitu pedidikan, kesehatan dan keamanan. 

Dalam pemenuhan kebutuhan pokok negara akan melihat apakah penyandang disabilitas itu masih mampu bekerja atau tidak, apakah juga memiliki keluarga atau tidak. Jika mereka masih mampu bekerja maka negara akan memberikan modal dengan cuma-cuma dari Baitul Maal dengan pendampingan. Negara tidak akan melakukan eksploitasi usaha mereka dengan dalih pembangunan ekonomi negara agar mereka tidak terbebani dengan pembayaran modal  dan fokus mengembangan usaha mereka.

Seandainya para disabilitas itu memiliki kemampuan di bidang pertanian, perkantoran dan lainnya, maka negara akan mengapresiasi dengan memberikan fasilitas yang membuat meraka aman dan nyaman ketika bekerja. Negara juga akan mendorong dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tidak memandang sebelah mata para penyandang disabilitas, sehingga jauh dari nuansa pembullyang, pelecehan apalagi penganiayaan. Hal inilah yang membuat para disabilitas bersemangat meraih kebaikan dalam kehidupan publik.

Ketika para peyandang disabilitas ini tidak mampu bekerja dan tidak mungkin bekerja, maka kewajiban ini akan beralih kepada keluarga dan saudaranya. Jika  mereka tidak memiliki keluarga  maka jaminan kebutuhan pokok  akan diambil alih oleh negara. Secara tehnis nya negara akan memberikan fasilitas istimewa kepada mereka yang membutuhkan penanganan ekstra dengan memenuhi kebutuhan sekolah dan rumah sakit khusus difabel. Mereka juga akan diberikan alat bantu  khusus bagi yang kekurangan fisik, seperti alat bantu dengar, kaki atau tangan palsu, dan lainnya. Dengan kata lain para penyandang disabilitas tetap akan mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan terbaik, keamanan yang terjaga.

 Di ranah publik negara akan  memberikan fasilitas yang aman bagi difabel, agar mereka merasa nyaman dalam menjalankan aktifitasnya secara mandiri apalagi kalau mereka mau mencari nafkah. Sehingga dimanapun mereka berada akan merasa aman dan nyaman. 
Bagikan:
KOMENTAR