Oleh : Halimatus sa’diah S.Pd
Lagi, lagi dan lagi kasus korupsi di Indonesia semakin merajalela. Di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena bisa berdampak kepada banyak hal. Mulai dari perekonomian negara, kesejahteraan warga, pemenuhan HAM, hingga akses terhadap kebutuhan dasar warga negara. Budaya korupsi ini menjadi musuh utama di negara kita.
Baru-baru ini dari Sindonews.com dan kaltim.prokal.co, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan pihaknya menyita sejumlah uang dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat negara yang ada di wilayah Kalimantan Timur.
Saat ini, KPK masih terus mendalami terkait OTT yang dilakukannya terhadap pejabat yang ada di tanah Borneo itu. Sebelumnya diberitakan, tim Penindakan KPK kembali menggelar OTT. Kali ini, operasi senyap KPK digelar di daerah Kalimantan Timur (Kaltim). KPK mengamankan penyelenggara negara dalam OTT yang dilancarkan pada Kamis, 23 November 2023 tersebut.
KPK mengamankan sejumlah pihak dalam OTT tersebut. Operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait proyek pengadaan jalan di Kalimantan Timur pada Kamis (23/11) berujung pada penetapan lima tersangka. Dua di antaranya adalah Kepala Satuan Kerja Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) di Wilayah 1 Kaltim Rahmad Fadjar (RF) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Riado Sinaga (RS). Mereka diduga menerima duit dari pemenang lelang pada proyek lelang peningkatan dan perbaikan jalan senilai Rp 50,8 miliar itu.
Selain RF dan RS, tiga tersangka lainnya adalah Direktur CV Bajasari Nono Mulyanto (NM), pemilik PT FPL Abdul Nanang Ramis (ANR), dan staf PT Fajar Pasis Lestari (FPL) Hendra Sugiarto (HS). Ketiganya diduga telah memberikan uang Rp 1,4 miliar kepada Rahmad dan Riado agar memenangkan tender.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menuturkan, OTT KPK dilakukan pada Kamis (23/11) di Kalimantan Timur. Saat itu sebelas orang yang diduga terlibat turut diperiksa. Dalam prosesnya, KPK akhirnya menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan dan menetapkan lima tersangka. Dalam OTT itu, KPK turut mengamankan uang Rp 525 juta tambah Johanis pada Sabtu (25/11) dini hari. Uang tersebut merupakan sisa dari Rp 1,4 miliar yang telah diberikan bertahap kepada Rahmad dan Riado sejak Mei 2023.
KPK menjerat Nono, Abdul, dan Hendra dengan sangkaan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan peran sebagai pemberi suap. Sementara itu, Rahmad dan Riado sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Begitu miris, besarnya kejahatan korupsi tidak hanya terjadi di pusat saja, tetapi juga di daerah. Hal ini membuktikan gejala membuminya korupsi di semua lini kehidupan masyarakat. Istilahnya telah mendarah daging dalam diri bangsa ini.
Saking kuatnya belenggu korupsi ini, tak pelak lagi, tak ada sejengkal tempat dan waktu pun yang tidak terjamah oleh virus mematikan ini. Mulai istana sampai ke kantor kelurahan. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Sejak lahir sampai meninggal. Mulai dari tempat ibadah sampai ke toilet sekali pun. Sungguh ironis memang.
Sebenarnya segudang program dan upaya meminimalisir menjamurnya praktik korupsi ini mulai dari reformasi sistem (constituional reform), reformasi kelembagaan (institutional reform), dan penegakan hukum (law inforcement) serta reformasi kultur politik (political culture). Namun, tetap saja korupsi masih tetap “aman” dan “langgeng”.
Terlebih anggapan adanya OTT ini semakin merusak citra bangsa. Pemberantasan korupsi pun laksana mimpi melihat berbagai pembelaan terhadap koruptor di negeri ini.
Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat, yang mencerminkan perilaku munafik dalam perspektif Islam. Sedangkan khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta milik orang lain melainkan pengkhianatan yang dilakukan seseorang yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada orang itu.
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi dalam pandangan Islam adalah faktor ideologi yang didukung kebutuhan untuk memenuhi faktor ekonomi. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi -kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan ideologi yang merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Tak dapat dipungkiri , di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum ini sebenarnya adalah warisan kafir penjajah , dan bukan inisiatif asli bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat 3 sistem : yaitu sistem hukum Islam , sistem hukum barat , dan sistem hukum adat.
Menurut Islam , secara normatif, sistem hukum plural ini haram hukumnya untuk diterapkan dalam aqidah Islam. Bukankah dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang berbunyi “Laa yusyrik fi hukmini ahadan. ” yang artinya, Allah tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum(QS.Al-Kahfi :26). Maka, sistem hukum plural yang syirik dari warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi ini tidak hanya di Indonesia melainkan seluruh dunia. Melaksanakan sistem ini sama saja melanggengkan keharaman menari-nari diatas negeri dan mendukung penjajahan bangsa sendiri.
Dengan diterapkannya syariah Islam sebagai hukum tunggal dengan didukung tegaknya kepemimpinan Islam di negeri ini, maka syariah Islam dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi baik peran pencegahan (preventif) maupun dalam segi penindakan atau pemberantasan (kuratif).
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut paradigma syariah Islam sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan Integritas, bukan berasaskan egoisme yang pada akhirnya berujung pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur wajib memenuhi kriteria yang individunya berkepribadian islam (syakhsiyah islamiyah). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “ Barang siapa memperkerjakan seseorang karna faktor suka atau hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin”.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin khotob selalu memberikan nasihat kepada bawahannya “ Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok, kalau kamu menundanya pekerjaannya akan menumpuk...’’
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya , sebagaimana Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat”.
Keempat, Islam melarang menerima suap atau hadiah atau dalam istilah korupsi dikatakan gratifikasi bagi para aparat negara sebagai sabda Nabi Saw “Barangsiapa yang sudah menajadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.’’ (HR.Abu Daud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa suht adalah haram dan suap yang diberikan kepada hakim adalah kekufuran. (HR.Ahmad)
Kelima , adanya keteladanan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka disini pemimpin juga memiliki peran besar untuk menjadi teladan yang baik bagi umatnya atau masyarakatnya.
Wallahu alam bisshowwab