Akankah IKN Berdampak Perampasan Ruang Hidup Warga Sekitar?


author photo

12 Apr 2024 - 16.15 WIB


Oleh : Tuti Sugianti
Praktisi Pendidikan

Ratusan orang berkumpul di sebuah tempat persinggahan di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Desa Pemaluan di Sepaku. Ada pula utusan Otorita Ibu Kota Negarai Nusantara, kepolisian, TNI, hingga sejumlah kepala desa yang terdampak pembangunan IKN.

Jumat, 8 Maret 2024, sekira pukul sembilan pagi, mereka berdiskusi mengenai tata ruang IKN. Otorita disebut meminta bangunan yang tidak berizin dan tak sesuai tata ruang Wilayah Perencanaan IKN untuk dibongkar. Permintaan tersebut segera diprotes sejumlah warga. Mereka merasa diusir pemerintah.

Selain itu, penggusuran tidak hanya berimbas pada hilangnya hunian, melainkan juga mengancam keselamatan jiwa, kesehatan, serta hilangnya akses terhadap makanan, pendidikan, perawatan kesehatan, bahkan pekerjaan dan peluang mencari mata pencarian lainnya. Sungguh, penerapan sistem kehidupan sekuler telah meniscayakan kesulitan hidup perempuan dan anak.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat (kemashalatan umat), bukan dilihat dari sisi komersial, apalagi kepentingan investor sebab terkait kebutuhan masyarakat yang strategis, pembangunan dan pengelolaan pembangunan infrastruktur wajib dilaksakan oleh negara, tidak boleh dikelola dan dimiliki oleh swasta, apalagi investor asing.

Menurut Abdurrahman al-Maliki, pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam dibagi menjadi dua jenis. 

Pertama. infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda akan menimbulkan bahaya bagi publik. Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan publik, tetapi tidak begitu mendesak dan pengadaannya masih bisa ditunda.

Infrastruktur kategori kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Pembangunan infrastruktur tersebut juga tidak boleh dengan jalan utang dan pajak. jadi, infrastruktur kategori kedua hanya boleh dibangun ketika dana ADRN atau baitulmal jadi, infrastruktur kategori kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau baitulmal mencukupi.

Sebaliknya, infrastruktur kategori pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidaknya dana APBN atau baitulmal, harus tetap dibangun. Jika ada dananya, wajib dibiayai dari dana tersebut secara maksimal. Namun, jika tidak mencukupi, negara bisa memungut dharibah (pajak) sementara dari publik. Jika waktu pemungutan dharibah memerlukan waktu lama, sedangkan infrastruktur harus segera dibangun, negara boleh meminjam ke pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat setelahnya. Namun, ada batasan yang sangat jelas di sini, yaitu pinjaman tersebut tidak ada unsur riba, tidak boleh juga menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Adapun dari sisi agraria, syariat Islam melarang negara merampas lahan rakyat, sekalipun hal itu demi kemaslahatan umat. Syariat Islam juga menetapkan bahwa rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan yang tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya, dan kepemilikan ini dilegalkan dan dilindungi oleh negara.

Sedikit kisah teladan pada masa kekhalifahan Islam terkait kebijakan penguasa ketika melakukan pembebasan lahan demi proyek kepentingan umat. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, ketika jumlah umat Islam makin banyak dan masjid pun kian sempit. Untuk memperluasnya, beliau ra. berinisiatif membeli tanah di sekeliling masjid, di antaranya lahan milik Abbas.

Khalifah Umar ra. lalu bertanya kepada Abbas tentang kesediaannya menjual rumahnya untuk memperluas masjid mereka. Namun, Abbas berkeberatan. Umar ra. pun menawarkan tiga opsi. Pertama, ia bisa menjualnya dengan harga sesuai dengan yang ia inginkan, nanti akan diambilkan dana dari baitulmal milik umat Islam. Kedua, dari baitulmal milik umat Islam. Kedua, bangunan dan tanah akan diganti sesuai dengan kota yang ia kehendaki yang diambil dari dana baitulmal. Ketiga, ia menyedekahkan rumahnya untuk perluasan masjid.

Ternyata, Abbas tetap tidak mau memilih satu opsi pun. Kemudian Khalifah Umar ra. menawarkan negosiasi dengan meminta Abbas memilih orang yang ia kehendaki untuk memutuskan perkara. Abbas pun memilih Ubay bin Ka'ab, sahabat yang dikenal sebagai ahli Al-Qur'an dan penulis wahyu. Akhirnya, mereka berdua pergi menemui Ubay bin Ka'ab, kemudian menceritakan problem yang sedang dihadapi.

Dengan sangat bijak, Ubay memecahkan solusi dengan menyampaikan hadis yang pernah ia dengar langsung dari Rasulullah saw. Umar pun mengklarifikasi hadis tersebut kepada para sahabat dan mereka membenarkan hadis tersebut, di antaranya Abu Dzar al-Ghifari dan sahabat-sahabat lainnya. Singkat cerita, Umar ra. berkata kepada Abbas, "Silakan pergi, aku tidak akan mengusik rumahmu." Dengan elegan dan bijak Abbas menyahutinya, "Jika engkau melakukan demikian, maka aku sedekahkan rumah dan lahan kepunyaanku untuk perluasan masjid umat Islam. Akan tetapi, kalau engkau memusuhiku, maka aku tidak mau." Kemudian Umar ra. membangunkan rumah sebagai ganti untuknya dari biaya baitulmal. (Ibnu Sa'ad, Ath-Thabaqatu al-Kubra, 4/15).

Demikianlah kisah yang menggambarkan salah satu prinsip keadilan dalam Islam. Pemimpin umat dilarang untuk mengambil tanah milik rakyat secara zalim. Semua itu dilakukan oleh negara atas dasar syariat Islam yang menjadikan negara sebagai pelayan (raa'in) dan pelindung ( junnah) bagi rakyatnya.
Bagikan:
KOMENTAR