Predator Anak Marak, Dimana Perlindungan Negara?


author photo

27 Nov 2024 - 21.22 WIB



Oleh : Yulia Ekawati, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)

Anak adalah anugrah terindah yang dimiliki orang tua, yang merupakan amanah terbesar yang dimiliki. Namun, hari ini makin kesini makin kesana berita anak-anak yang menjadi korban kekerasan kian marak. Seolah predator anak memang sedang gencar-gencarnya mencari mangsa.

Kekerasan terhadap anak dapat kita lihat pada kasus di banyuwangi pada 17 november lalu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur.

Bukan itu saja, kejadian serupa terjadi di Aceh, Polres Aceh Utara menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. (Kompas/17/11/2024)

Tidak hanya sampai disitu, masih banyak kejadian serupa yang melibatkan anak - anak atau remaja menjadi korban kekerasan baik itu pelecehan seksual, rudapaksa sampai dengan pembunuhan. Jelas jelas hal seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Seluruh kejadian tragis ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sudah tidak ada peluang aman lagi bagi anak-anak. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung ternyaman, justru disitulah kekerasan juga sering terjadi. 

Lingkungan masyarakat yang juga harusnya bisa menjadi lingkungan yang aman, justru tidak efektif.

Lebih parahnya lagi, negara yang punya peran besar dalam menjaga keselamatan anak anak bangsa tampaknya jauh dari kata memadai.

Jika menengok data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) sendiri ternyata Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi, mengatakan frekuensi kekerasan terhadap anak (KtA) di tahun 2024 meningkat. Angka ini merupakan perbandingan dari data tahun 2021.

Pada tahun 2024, sejumlah 51,7 persen anak perempuan dan 49,8 persen anak laki-laki mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Sementara pada tahun 2021, ada sebanyak 46 persen anak perempuan dan 37,4 persen anak laki-laki yang mengalami kekerasan. (Kompas 29/11/2024).

Data yang sudah terpampang dengan jelas ini seharusnya menjadi notifikasi yang tidak bisa diabaikan lagi oleh negara. Berapa banyak kasus yang harus terungkap sampai pemegang kekuasaan kita bergerak? Siapa yang salah dalam hal ini?, orang tuanya yang tidak bisa menjaga dengan baik? Lingkungan masyarakatnya yang hanya terisi predator? Iman masing masing individu yang bermasalah? Atau justru sistem yang sebenarnya akar masalah kita?

Semua bisa mengecam dan melaporkan tindak kekerasan terhadap anak yang dilihatnya , tapi apa itu akan menyelesaikan masalah?, apa itu akan mengurangi jumlahnya?, apa itu akan bisa menebus rasa trauma korbannya atau bisa mengembalikan nyawa korbannya?

Tidak lho guys tidak!!

Mungkin kamu akan bilang, karena teknologi yang semakin canggih semua bisa melihat hal hal tak senonoh yang akhirnya menimbulkan pelecehan seksual, jadi seharusnya kita menanamkan pendidikan seks sejak dini agar anak anak bisa menjaga dirinya. Sayangnya itu tidak menyelesaikan masalah.

Teknologi memang sudah canggih, pendidikan juga harus lebih gencar menanamkan nilai nilai yang dibutuhkan. Lalu siapa yang bisa menangani itu sekaligus. Hanya negara, negara bisa kok memblokir segala situr porno yang berseliweran dimana-mana. Negara juga bisa memberikan pendidikan yang berkualitas yang mampu mengajarkan setiap orang apa yang benar dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Tapi apa itu terlaksana??

Tidak! Kenapa? Karena sistem yang dianut negara kita tercinta adalah sistem sekularime, sekularisme ini adalah sistem yang memaksa kita memisahkan kehidupan dunia dari nilai-nilai agama, semua tidak dilandaskan pada halal haram, tapi asas manfaat dan tentu saja akal manusia. Seolah Allah tidak punya andil dalam menerapkan aturan kepada hambanya yang penuh keterbatasan ini.

Sekularime menyebabkan lemahnya iman individu, ditambah buruknya interaksi antar masyarakat sehingga mudah tergoyahkan dengan berbagai godaan yang ada. Sekaligus sanksi yang tidak memberi efek jera menambah terlihat tidak cocoknya sistem ini seharusnya diambil.

Maka kita butuh solusi sistemik atas masalah ini, maka harus mengganti sistem yang ada dengan sistem yang berasal dari sang pencipta, kembali lagi karena kita seorang muslim lantas sistem islamlah yang harus kita perjuangkan untuk menangai kasus ini dan kasus kasus lainnya. Kenapa? Karena sistem islamlah yang punya segala macam solusi untuk problem yang akan dihadapi oleh manusia. Termasuk pada kasus predator anak ini.

Islam memandang bahwa naluri seksual adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia secara alami dan membutuhkan pengaturan untuk penyalurannya. Islam juga menegaskan bahwa satu-satunya aturan yang Allah halalkan dalam mengimplementasikan naluri nau’ (naluri melestarikan keturunan) adalah melalui pernikahan, bukan yang lain.
 
Aturan ini harus dipahami agar kerusakan sosial seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, sodomi, dan kejahatan seksual lainnya bisa dihindari. Aturan Islam bersifat mencegah, di antaranya pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, termasuk sesama jenis. Selain adanya larangan khalwat dan ikhtilat di antara lawan jenis, dalam interaksi sesama jenis pun Islam ada aturannya.

Aturan itu seperti larangan untuk tidur di tempat tidur yang sama, larangan untuk tidur dalam satu selimut, hingga mengatur batasan aurat antara sesama jenis. Selain itu, negara bertanggung jawab melindungi rakyat dari berbagai informasi maupun konten yang menstimulasi syahwat.
 
Negara pun wajib mengatur jalannya informasi di media dan memilah informasi sampah yang menyesatkan pikiran dan perasaan masyarakat. Di samping aktivitas pencegahan ini, negara akan menerapkan sejumlah hukum yang mengatur sanksi yang diberikan negara atas pelaku zina dan perilaku seksual yang menyimpang.
 
Bagi pezina, hukumannya adalah rajam bagi pelaku muhshan (sudah pernah menikah), dan hukuman cambuk 100 kali jika ghairu muhshan (belum pernah menikah). Adapun perilaku zina sesama jenis, hukumannya adalah hukuman mati.
 
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth a.s. maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
 
Islam menetapkan negara memiliki kewajiban menjaga generasi, baik dalam kualitas hidup maupuin lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.
 
Islam memiliki tiga pilar perlindungan terhadap rakyat termasuk anak, mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat, hingga penegakan sistem sanksi oleh negara yang tegas, dan menjerakan. Semua itu akan terwujud dengan penerapan semua sistem kehidupan berdasarkan sistem Islam secara menyeluruh.

Wallahu'alam bish-shawab.
Bagikan:
KOMENTAR