Sekularisme Kapitalisme Menumbuhsuburkan Korupsi


author photo

11 Mar 2025 - 14.26 WIB



Oleh: Sherlina Sukma

Setiap negara terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan terus bertransformasi ke arah yang lebih baik. Namun, salah satu tantangan upaya tersebut yakni korupsi yang telah mengakar di berbagai sektor. Baru-baru ini masyarakat Indonesia dibuat geram oleh kasus korupsi PT. Pertamina yang menyebabkan kerugian negara. Dugaan kasus tersebut berasal dari berbagai komponen, yakni kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan mengoplos impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) serta kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Padahal menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi. Kejaksaan Agung (Kejagung) awalnya mengungkap bahwa dugaan korupsi di PT Pertamina merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun pada 2023. Namun, karena kasus ini berlangsung sejak 2018, jumlah total kerugian dalam lima tahun bisa mencapai Rp 968,5 triliun.

Korupsi seolah sudah menjadi tradisi, mencari celah dalam setiap kesempatan serta merasuk ke berbagai aspek kehidupan, dari tingkat birokrasi tertinggi hingga praktik-praktik kecil. Kasus korupsi Pertamina ini melibatkan manipulasi dalam pengadaan barang, dengan mengambil keuntungan dari transaksi tersebut akibat pejabat yang tidak amanah. Praktik korupsi terus berkembang karena adanya pengabaian, kurangnya pengawasan dan hukum yang lemah, lantas koruptor tidak akan jera dan takut untuk melakukan perbuatan haram tersebut.

Dalam kondisi sistem hari ini, sangat terbuka peluang melakukan kecurangan. Sistem sekuler membuat orang bebas melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok dengan menghalalkan segala cara. Karena mereka tidak takut apa pun, bahkan kepada Allah. Selama ada kesempatan, serta dengan sifat manusia yang tidak pernah merasa puas, mereka akan terus mencari kepuasan selama masih dapat dijangkau. Hal ini juga erat dengan sistem pendidikan sekuler yang tidak menghasilkan generasi bertakwa. Sistem pendidikan saat ini mencetak generasi yang lemah dan hanya sibuk denga urusan duniawi saja sehingga jauh dari agama.

Dalam Islam sistem pendidikan menghasilkan generasi yang beriman dan bertakwa. Ketika menjadi pejabatpun akan amanah dalam menjalankan tugas karena terdapat kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Seperti misalnya Ali Bin Abi Thalib yang merupakan khalifah ke-empat dimana pada era kepemimpinannya banyak masyarakat yang ikut bergotong royong dan membantu pemerintahan. Ia adalah khalifah yang sangat dihormati, adil, dan shaleh. Ia juga dikenal sebagai khalifah yang suka bergaul dengan rakyatnya serta terlibat langsung untuk mendengarkan aspirasi dan berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya.

Adanya prinsip 3 pilar yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara dalam menerapkan hukum-hukum Islam menjadikan setiap individu taat pada syariat sehingga jauh dari maksiat. Masyarakat juga akan melakukan amar makruf nahi mungkar dengan penerapan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan oleh negara, maka korupsi dapat diberantas dengan tuntas. Jika Sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, maka akan terbentuk masyrakat yang harmonis, sejahtera, minimnya kriminalitas, dan menghasilkan generasi yang bertakwa. Hasil akhirnya suatu negara akan jauh dari praktik korupsi dan kehidupan menjadi lebih berkah. 
Wallahualam bi Shawab
Bagikan:
KOMENTAR