Langkat kembali diguncang skandal besar. Tujuh orang diduga terlibat dalam pencurian minyak mentah Pertamina melalui praktik ilegal (Illegal Tapping) di Dusun Alur Meranti, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Ironisnya, dua di antaranya adalah oknum anggota kepolisian dari Polres Aceh Tamiang.
Informasi yang dihimpun dari Koordinator Percepatan Pembangunan Aceh (PPA), Tri Nugroho Panggabean, mengungkap bahwa kasus ini terungkap setelah pihak keamanan Pertamina menerima laporan mengenai aksi pencurian minyak mentah dari pipa penyalur di lokasi tersebut. Menyadari kejahatan yang sedang berlangsung, pihak keamanan Pertamina segera berkoordinasi dengan Polres Langkat dan unsur TNI untuk melakukan penggerebekan terhadap para pelaku.
Dalam operasi penangkapan pada Selasa (11/2/2025) pukul 22.15 WIB, lima tersangka berhasil diamankan: Syahril, Novi Wahyudi, Edi Purnomo, Andre Murdana, dan M. Rizky. Namun, dua oknum polisi yang terlibat—Aipda Saipul Bahri dan Bripka Nasrul—berhasil melarikan diri dan kini dalam pengejaran.
PPA: Kapolri Tidak Boleh Diam!
Menanggapi kasus ini, Koordinator PPA, Tri Nugroho Panggabean, menyampaikan kekecewaannya terhadap keterlibatan aparat kepolisian dalam kejahatan yang merugikan negara hingga miliaran rupiah.
"Pak Kapolri Listyo Sigit Prabowo, lihat ini! Anak buah Anda terlibat dalam pencurian minyak mentah! Ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, ini kriminal murni yang harus ditindak tegas," tegasnya.
Tri juga mempertanyakan sikap Propam Polres Aceh Tamiang yang masih mempertahankan kedua oknum tersebut, meskipun mereka sudah pernah terseret dalam kasus serupa.
"Bagaimana mungkin Propam Polres Aceh Tamiang masih membiarkan mereka? Apa yang mau dipertahankan dari polisi yang jelas-jelas mencoreng institusi? Ini justru memperkuat dugaan bahwa ada kekuatan besar yang membekingi mereka," ujarnya.
Lebih mengejutkan lagi, menurut keterangan lima tersangka yang telah ditangkap, kedua oknum polisi ini justru berdinas di bagian Propam—sebuah ironi yang mencerminkan kebobrokan dalam tubuh kepolisian.
Penyelidikan Transparan dan Sanksi Tegas: Harga Mati!
PPA mendesak Kapolri, Kapolda Sumut, Kapolda Aceh, Kadiv Propam, Kabid Propam Aceh, dan Kapolres Langkat untuk segera mengusut kasus ini secara transparan dan tanpa kompromi.
"Kami tidak ingin ada stigma bahwa kasus ini ditutup-tutupi. Jika tidak diusut tuntas, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada institusi kepolisian. Jangan sampai ada anggapan bahwa mereka kebal hukum!" kata Tri.
PPA juga meminta agar aliran dana dari hasil pencurian ini ditelusuri hingga ke akar-akarnya.
"Kami menduga hasil kejahatan ini tidak berhenti pada pelaku lapangan saja. Harus diungkap siapa dalang di balik operasi ilegal ini, siapa yang membekingi, dan ke mana uangnya mengalir," lanjutnya.
Lebih lanjut, PPA menegaskan bahwa kedua oknum polisi yang terlibat harus dijatuhi sanksi berat agar menjadi efek jera bagi aparat yang menyalahgunakan wewenangnya.
"Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga tentang kehormatan Polri. Jika kasus ini dibiarkan, bagaimana publik bisa percaya bahwa polisi masih menjadi penjaga hukum yang sejati?" pungkasnya.
Institusi di Persimpangan: Tegakkan Hukum atau Biarkan Bobrok?
Kasus ini menjadi ujian besar bagi Kapolri dan jajaran kepolisian. Publik menanti langkah konkret: apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua, atau justru ada perlakuan istimewa bagi mereka yang berseragam?
Negara tidak boleh kalah oleh oknum! (Tim)