Oleh : Purwanti Rahayu
Banjir parah melanda Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Kaltim) dalam beberapa hari terakhir. Ribuan warga di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, masih bertahan di pengungsian setelah banjir besar merendam wilayah mereka sejak akhir Maret 2025.
Tercatat ada 2.722 kepala keluarga (KK) masih bertahan di tenda-tenda pengungsian. Hingga Kamis (3/4/2025), genangan air masih terlihat di beberapa kampung terdampak dengan ketinggian bervariasi antara 0,5 hingga 1,5 meter.
Asal muasal banjir Berau
Kampung Tumbit Dayak menjadi salah satu daerah terparah dengan dua korban meninggal dunia. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyebut, banjir dipicu luapan Sungai Kelay yang membelah Kabupaten Berau. Ada 9 kampung dari 4 kecamatan terdampak banjir kali ini. Sebanyak 10.327 jiwa dan sekitar 3.500 rumah terdampak banjir.
Memasuki hari ke-5, banjir di Berau mulai surut. Namun di beberapa lokasi, ketinggian air masih mencapai orang dewasa. Kondisi ini membuat masyarakat merayakan Sholat Idul Fitri dan perayaan hari raya dalam kondisi banjir. Terutama yang ada di sekitar hilir Sungai Kelay. Meluapnya Sungai Kelay lantaran area resapan yang terus berkurang karena alih fungsi lahan. Baik untuk perkebunan maupun pertambangan.
Sama halnya di Tumbit Dayak, Kampung Merasa yang sama-sama berada di hulu Sungai Kelay juga turut terendam. Di kawasan ini, banjir bahkan mencapai dua meter. Selain banyak merendam tempat ibadah, durasi banjir juga berlangsung lebih lama. Curah hujan di hulu Sungai Kelay tercatat sampai 95 mm (milimeter), curah hujan itu merupakan tertinggi yang pernah terjadi di hulu Sungai Kelay 2025 ini.
*Kapitalisasi Lahan*
Musim penghujan memang identik dengan banjir. Namun, sejatinya tidaklah hujan hadir untuk menghasilkan banjir. Banjir terjadi karena semakin berkurangnya daerah resapan air. Dimana saat ini telah terjadi alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Alih fungsi lahan ini merupakan bagian dari kapitalisasi lahan akibat penerapan sistem kapitalisme. Lahan-lahan yang ada dimanfaatkan dan dieksploitasi secara besar-besaran oleh korporasi. Tanpa mengindahkan dampaknya terhadap lingkungan. Lahan-lahan ini berubah menjadi perumahan, pusat-pusat perbelanjaan, pertambangan, perkebunan sawit, dan lain sebagainya.
Dalam sistem kapitalisme, negara bekerja sama dengan korporasi mengelola negara ini. Layaknya pengusaha, keuntungan tentu menjadi prioritas. Dan inilah yang terjadi saat ini. Para pengusaha mendapatkan karpet merah dari penguasa untuk mengelola sumber daya alam yang kita miliki. Hal ini sebagai balas budi atas dukungan mereka dalam pilkada. Sementara dampak lingkungan yang dipandang sebagai pengendali mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan. Sementara penopang banjir hutan dan lahan dipandang sebagai komoditas yang bebas dimiliki dan dimanfaatkan bagi siapa saja untuk kepentingan mereka.
Padahal kerusakan yang ditimbulkannya berakibat buruk pada banyak orang yang akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius karena adanya alih fungsi hutan yang begitu cepat.
*Solusi Banjir dalam Islam*
Sebagai muslim, tentunya kita mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin Allah yang Maha Kuasa. Jika kita diberi musibah, maka kita diperintahkan untuk bersabar. Akan tetapi, tentu tidak cukup hanya dengan bersabar. Musibah tersebut harus disikapi dengan menjadikannya momentum untuk muhasabah diri, dari apa yang telah kita lakukan terhadap lingkungan.
Ini merupakan masalah sistemik jika tata kelola lahan diserahkan pada mekanisme ala pengelolaan kapitalisme. Dimana hak kebebasan berkepemilikan diberikan sepenuhnya kepada para pengusaha atau kapital untuk mengelola tanpa memperhatikan dampak buruk yang ditimbulkan nantinya, namun bagi mereka hanya keuntungan yang didapat bukan dampak yang merugikan rakyat.
Tentu saja hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam dimana pengelolaan lingkungan sangatlah diperhatikan dengan upaya semaksimal mungkin sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hingga mengakibatkan banjir, bencana pun dapat dicegah dengan cara :
Pertama, negara akan memetakan daerah-daerah yang rawan terkena genangan air dan membangun saluran baru agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.
Kedua, menetapkan sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup, seperti cagar alam yang harus dilindungi.
Ketiga, adanya penanganan maksimal dari negara terhadap para korban bencana. Bukan dengan sikap pembiaran yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Dengan demikian, musibah yang menimpa manusia adalah qadha dari Allah SWT. Namun, dibalik itu juga ada fenomena alam yang menjadi muhasabah atas ikhtiar dan usaha untuk menghindarinya sebelum terjadi. Sehingga bencana dapat dihindari dan meminimalisir jumlah korban. Maka sudah saatnya kaum muslim meninggalkan sistem sekuler yang hanya menyebabkan kesengsaraan. Islam lah satu-satunya solusi untuk mengatasi banjir secara tuntas.