Hutan Pendidikan Dikeruk, Hukum Tak Bertaji, Islam Punya Solusi


author photo

19 Apr 2025 - 20.05 WIB



Oleh: Lili Agustiani (Pemerhati lingkungan, Pendidikan dan Pemikiran Islam)


Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan aktivitas tambang ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Rektor Unmul, Dr. Abdunnur MSi, menyayangkan pembukaan lahan 3,2 hektare tanpa izin resmi oleh perusahaan tambang berinisial KPMM di hutan yang diperuntukkan bagi pendidikan dan penelitian Fakultas Kehutanan.

Padahal, kawasan ini telah ditetapkan sejak 1974 sebagai zona konservasi, riset, dan pendidikan lingkungan. Kini, aktivitas tambang tak hanya merusak ekosistem, tapi juga menyebabkan longsor. Menurut BPBD Samarinda, penambangan tersebut turut memperparah banjir, karena hutan yang seharusnya menjadi penyangga justru dihancurkan.

Ironisnya, KPMM sempat mengirim surat izin kerja sama, namun ditolak Unmul. Anehnya, meski tanpa izin, penambangan tetap berjalan—terjadi secara masif saat libur Lebaran. Aparat seolah tak bertaring. Tak ada tindak lanjut berarti, meski kerusakan sudah nyata.

Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem demokrasi kapitalisme yang membuka ruang lebar bagi korporasi untuk memengaruhi kebijakan. Dalam sistem ini, modal lebih berkuasa dari moral, dan keuntungan lebih diutamakan daripada keselamatan lingkungan dan ilmu pengetahuan.

Lihat saja UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, khususnya Pasal 35A, yang membuka celah bagi penambangan di kawasan hutan konservasi selama memiliki izin dari pusat. Ini memberi legalitas bagi korporasi untuk merusak hutan dengan dalih investasi. Regulasi seperti ini adalah bukti bahwa hukum telah berpihak pada kapital, bukan rakyat.

Kini, hukum tak lagi menjadi alat menjaga bumi, tapi justru menyuburkan kejahatan ekologis. Aparat sering kali pasif terhadap pelanggaran korporasi, namun represif terhadap warga atau mahasiswa yang melawan. Bahkan dalam kasus ilegal yang terang sekalipun, penyelesaiannya kerap ditawarkan melalui mediasi, seolah-olah kerusakan lingkungan bisa dikompromikan.

Hutan pendidikan adalah simbol. Bila simbol ini bisa dihancurkan tanpa perlawanan berarti, maka tak ada jaminan hutan lain yang tidak memiliki label “pendidikan” akan selamat. Negara hari ini tampak abai, hadir hanya sebagai pelayan kepentingan korporasi, bukan pelindung rakyat atau penjaga amanah bumi. Lalu, apa solusinya?

Islam Hentikan Liberalisasi SDA, Tegakkan Syariat

Dalam Islam, sumber daya alam seperti tambang adalah milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum), yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau korporasi. Pengelolaannya adalah tanggung jawab negara, sebagai wakil umat. Negara wajib mengelola SDA secara adil dan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir elite.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud, Ahmad)

“Api” di sini dimaknai sebagai energi dan tambang, yang hari ini justru dikomersialisasi.

Islam memperbolehkan keterlibatan swasta hanya dalam pelaksanaan teknis, tanpa kepemilikan. Negara tetap harus memegang kendali dan pengawasan penuh. Privatisasi SDA, yang lazim dalam sistem kapitalisme, tidak dibenarkan dalam Islam.

Tambang ilegal dalam pandangan Islam adalah bentuk ghasab (perampasan harta umum) dan ifsad fi al-ardh (kerusakan di muka bumi), yang harus dikenai sanksi tegas. Negara wajib menindak pelaku dengan ta’zir, yang bisa berupa denda besar, penyitaan alat, atau penjara. Bila terbukti menimbulkan kerusakan besar, maka pelaku dapat dikenai hukuman berlapis.

Dalam sistem Islam, negara bertindak sebagai raa’in (pengurus urusan umat), bukan fasilitator korporasi. Negara tidak tunduk pada tekanan pasar atau modal asing, tetapi hanya pada syariat. Sistem ini akan menghapus model perizinan oligarkis, menggantinya dengan tata kelola terpusat yang amanah dan terkontrol, untuk mencegah kebocoran dan eksploitasi liar atas kekayaan alam.

Kerusakan KHDTK Unmul seharusnya menjadi peringatan serius. Ini bukan sekadar perusakan hutan, tapi juga penghancuran nilai pendidikan, ekologi, dan masa depan bangsa. Islam tidak hanya memberikan kritik, tapi juga solusi sistemik yang menyeluruh. Sudah saatnya kita mengambil tawaran ini, bukan hanya demi hutan, tapi demi keadilan ekologis dan generasi mendatang. Wallahu’alam Bishowab
Bagikan:
KOMENTAR