Oleh: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Penajam Paser Utara Raup Muin menekankan pentingnya pembangunan Bendung Gerak Sungai Telake. Hal ini karena pembangunan bendung tersebut dapat mewujudkan kedaulatan pangan di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Paser (PPU), serta menunjang kebutuhan pangan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Potensi Bendung Gerak Telake yang diprediksi mampu mengairi 14.000 hektar sawah di Kabupaten Paser dan 8.000 hektar di Kecamatan Babulu, Kabupaten PPU.
Sebagai infrastruktur penyangga IKN, Bendung Gerak Sungai Telake akan menjadi sumber pasokan pangan yang penting bagi ibu kota baru Indonesia. Ketersediaan air yang terjamin akan mendukung pertanian lokal dan memastikan ketersediaan pangan yang stabil. Selain irigasi, bendung ini juga berpotensi sebagai sumber air bersih dan pengendali banjir, memberikan manfaat tambahan bagi masyarakat sekitar.
Namun pembangunan fisik bendung ini masih menunggu realisasi, dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 759,8 miliar. DPRD Kabupaten PPU pun mendesak pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan Bendung Gerak Sungai Telake.
Dengan terealisasinya Bendung Gerak Sungai Telake, diharapkan kedaulatan pangan di Kalimantan Timur dapat terwujud, sekaligus mendukung kebutuhan pangan IKN dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Tak cukup!
Rencana pembangunan Bendung Gerak Sungai Telake ini sebenarnya telah lama ada, namun karena permasalahan lingkungan dan tingginya anggaran maka rencana ini belum bisa terealisasi. Apalagi ditambah dengan kebijakan efisiensi anggaran di berbagai sektor termasuk di sektor pertanian atau pangan. Maka akan sulit terwujud dalam waktu dekat.
Dalam hal mewujudkan ketahanan pangan, Bendung Gerak Sungai Telake ini sebenarnya menjadi langkah yang baik karena akan sangat membantu dalam hal penyediaan air untuk pengairan. Namun ini hanya salah satu faktor teknis di antara sekian banyak faktor dalam mewujudkan ketahanan pangan. Faktor lain juga harus mendapat perhatian.
Tidak di pungkiri penyediaan bibit unggul, peningkatan SDM petani, penyerapan pupuk subsisi dikalangan petani, menjadi masalah lain yang harus segera di solusikan. Bahkan faktor utama yaitu ketersediaan lahan pertanian menjadi PR besar di tengah gempuran perebutan lahan dengan perindustrian dan real estate. Maka bisa dikatakan mustahil mengharapkan ketahanan pangan hanya dengan menyelesaikan satu faktor teknis saja. Apalagi jika masalah utamanya tidak terselesaikan.
Sistem Yang Salah Melahirkan Aturan Yang Salah
Ketahanan pangan adalah cita-cita besar yang memang harus diwujudkan oleh sebuah negara. Pangan adalah sektor strategis. Ketika pangan bergantung pada negara lain maka kedaulatan negara akan mudah disetir. Oleh karenanya, negara wajib mewujudkan hal tersebut. Namun jika menengok realita di Indonesia dengan SDA yang melimpah, tanah yang subur, memiliki bentangan yang luas, dan SDM produktif yang banyak, seolah sangat susah mewujudkan ketahanan pangan. Apa yang salah?
Maka dari sini perlu untuk melihat lebih tajam akar permasalahannya yaitu pengelolaan sektor pertanian yang tidak tepat. Hal ini terjadi karena sistem kehidupan yang dipakai di negara ini yang berkiblat pada sistem kapitalis sekuler. Sistem ini menjadikan pandangan utama hanyalah pada materi dan asas manfaat saja. Dari sini muncullah kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu pihak ( pemilik modal). Tengok bagaimana lahan-lahan lebih banyak diberikan kepada pengusaha tambang, sawit, perkantoran, pabrik, perumahan dibandingkan diberikan kepada petani untuk digarap. Subsidi pupuk pun kian tak tersentuh. Masih berharap mewujudkan ketahanan pangan sementara arah kebijakan saja hanya menyelesaikan masalah parsial.
Dengan asas yang sama, sistem ini melahirkan pemimpin yang tidak amanah, pejabat yang korup, haus kekuasaan tapi minim periayahan terhadap masyarakat. Jelas, karena big bosnya adalah para pengusaha yang mampu memberikan uang pelicin demi memuluskan proyeknya. Inilah bahayanya jika diterapkan sistem bathil (kapitalisme sekularisme) dalam bernegara. Masyarakat dan kesejahteraannya hanya di tempatkan di nomor ke sekian.
Syariat Islam Mengatur Dengan Sempurna
Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi dan memiliki peran strategis. Oleh karenanya perhatian negara pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan kebijakan yang sesuai dengan ketetapan hukum syara, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].
Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.
Selain dari sisi itu, yang tak kalah penting syariat Islam juga mengatur terkait pemimpin dan kepemimpinan. Dalam Islam, kepemimpinan merupakan hal yang urgent. Karena realisasi kepemimpinan dalam Islam adalah penerapan Islam secara keseluruhan, tanpa terkecuali. Seorang pemimpin menjadi pilar penegakan aturan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Posisi pemimpin atau khalifah menjadi hak bagi mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai seorang pemimpin. Tentunya dengan syarat-syarat kepemimpinan yang diatur oleh syara. Maka dari penjelasan ini tidak akan lahir pejabat yang korup, pejabat yang mengesamping kepentingan masyarakat sementara menggelar karpet merah untuk pemilik modal layaknya sekarang.
Namun ini semua tentu hanya bisa terealisasi jika penegakan aturan Islam dilakukan secara menyeluruh tidak parsial. Jika ini terlaksana bukan hanya permasalahan ketahanan pangan yang akan terselesaikan, permasalahan umat yang lain juga akan menemukan titik penyelesaian. Wallahu alam bishawab.