"

Paylater Dan Konsumerisme Meningkat, Daya Beli Masyarakat Menurun Akibat Sekularisme


author photo

17 Apr 2025 - 11.45 WIB



Oleh: Nana Juwita, S.Si

Kehidupan umat semakin sulit, hal ini terlihat dari turunnya daya beli masyarakat di berbagai daerah di Indonesia termasuk DKI Jakarta. Hal ini seperti yang disampaikan oleh salah satu pedagang di Pasar Tanah Abang, Eli, yang mengatakan bahwa meski jumlah pengunjung cukup ramai selama masa puasa hingga Lebaran, daya beli masyarakat mengalami penurunan drastis. Menurutnya, penurunannya sekitar 30-35 persen. Ia mengungkapkan bahwa banyak pengunjung yang datang hanya untuk melihat-lihat dan membandingkan harga. Tidak membeli barang sama sekali. (metrotvnews.com, 10/04/25)

Selain itu turunnya daya beli masyarakat juga terlihat dari menurunnya persentase penggunaan semua moda transportasi sebesar 30 persen, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi yang mengungkap penurunan mudik Lebaran 2025 sekira 4,69% dibandingkan dengan Tahun 2024 yang mencapai 162,2 juta orang, tahun ini tercatat 154,6 juta jiwa. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga sempat memprediksi adanya tren penurunan pergerakan wisatawan periode libur Lebaran 2025 dibanding tahun sebelumnya. Maulana Yusran selaku Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyampaikan bahwa menurunnya daya beli masyarakat disebabkan oleh situasi ekonomi saat ini yang tidak bagus. Seperti banyaknya PHK, terus masalah dinamika, kebijakan dalam negeri yang juga masih belum kondusif," ujar Yusran. Penyebab lain yang ia soroti yakni adanya permasalahan pinjaman online (pinjol) yang kasusnya semakin meningkat, membuktikan situasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan memicu sebagian masyarakat tak mudik. (pikiran-rakyat.com/news, 13/04/25)

Di satu sisi daya beli masyarakat mengalami penurunan, di sisi lain Utang PayLater Orang Indonesia Tembus Rp 21,98 Triliun, Tak hanya BNPL (Buy Now Pay Later), kredit perbankan secara keseluruhan juga mencatat pertumbuhan positif. Total kredit yang disalurkan mencapai Rp 7.825 triliun atau naik 10,30 persen dibandingkan Februari tahun lalu. Kredit investasi menjadi motor penggerak utama dengan pertumbuhan 14,62 persen, disusul kredit konsumsi yang naik 10,31 persen, dan kredit modal kerja yang tumbuh 7,66 persen (Liputan6.com,11/04/25) 

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Di antaranya adalah maraknya PHK, naiknya harga-harga, beban utang meningkat dll. Selain itu juga pengaruh dari lesunya ekonomi secara global. Dalam kondisi yang tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat cenderung berfikir praktis, tanpa melihat halal haram, tidak jarang masyarakat memilih berhutang sekalipun dalam transaksi hutang tersebut terdapat unsur riba. Apa lagi standar materialistik yang cenderung mendorong umat untuk menjalankan gaya hidup yang tidak berstandar pada Islam. Masyarakat pada akhirnya salah menempatkan prioritas dalam memenuhi kebutuhannya, antara kebutuhan primer dan tersier terkadang umat lebih mengutamakan kebutuhan tersiernya. Akhirnya pilihan tersebut  malah menambah beban persoalan ekonomi nya. Terlebih negara seolah memberikan kemudahan pinjaman berbasis riba pada masyarakat bahkan secara daring pun transaksi pinjam meminjam dapat dilakukan. Padahal ini semua malah menambah beban umat.

Memang benar, himpitan ekonomi membuat masyarakat harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya. Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online hingga paylater pun dianggap memudahkan. Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme mengakibatkan besarnya arus budaya konsumerisme, dan kebahagiaan diukur dengan standar materi. Adanya paylater makin mendorong arus konsumerisme.

Paylater yang marak saat ini berbasis ribawi, yang haram dalam pandangan Islam. Alih-alih menyolusi, paylater justru berpotensi menambah beban masalah masyarakat, dan menambah dosa, yang akan menjauhkan keberkahan hidup. Sistem Islam akan menutup celah budaya konsumerisme, masyarakat akan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan primer dari pada memenuhi keinginan untuk memiliki sesuatu, karena umat yang hidup dalam naungan Islam menyadari bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawaban di hadapan Allah swt. Masyarakat akan terbentuk ketakwaannya sehingga standar bahagia pun bukan dari sisi materi tapi karena mendapatkan rida Allah swt.

Budaya konsumerisme dan paylater merupakan sumber masalah bagi umat, hal ini muncul dari kebijakan ekonomi kapitalisme, yang justru malah memberikan untung besar bagi para pemilik modal yang bergerak dalam usaha simpan pinjam berbasis riba. Oleh karena itu sudah saatnya umat menyadari bahwa hanya dengan penerapan Islam kaffah yang akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Yaitu dengan cara membuka lapangan pekerjaan selus-luasnya bagi setiap warga negaranya, agar setiap laki-laki memiliki pekerjaan sehingga mampu menafkahi keluarganya, semua ini merupakan tugas negara dalam mewujudkannya.

Bukan hanya menjamin kebutuhan hidup setiap warga negaranya bahkan Khilafah akan menjaga setiap individu dari praktik ribawi, karena Islam memiliki kas negara yaitu Baitul Mal yang merupakan tempat penyimpanan harta negara Islam (Khilafah) di mana harta tersebut akan digunakan untuk keperluan urusan umat, umat boleh meminta atau meminjam tanpa harus membayar bunga. Karena harta tersebut memang diperuntukkan untuk kepentingan umat.

Hendaknya umat juga harus memahami bahwa Al-Quran dalam surat Al-Baqarah Ayat 278 dengan tegasa melarang praktik riba.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya" (QS al-Baqarah: 278)

 Begitu pun hadits terkait larangan riba:

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
 
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا؛ أَيْسَرُهَا مِثلُ أَن يَنْكِحَ الرَّجُل أُمَّه، وَإنّ أَربَى الرِّبَا عِرضُ الرَّجُل الـمُسْلِم

Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan, seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling riba adalah kehormatan seorang muslim. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
 
Penerapan Islam kafah oleh negara (Khilafah) yang akan menjaga umat untuk tidak bermaksiat kepada Allah Swt termasuk dalam masalah ekonomi, jika sistem hari ini malah justru melegalkan riba sebagai solusi terhadap persoalan ekonomi umat, namun justru Islam sebaliknya menjaga umat dari praktik ribawi. wallahu a'lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR