Oleh: Saveenasa
Tiap tahun ajaran berakhir, momen kelulusan menjadi agenda penting yang dinanti oleh siswa dan orang tua. Sayangnya, momen ini tak jarang berubah menjadi beban. Di Balikpapan, misalnya, banyak orang tua mengeluhkan biaya perpisahan sekolah yang dianggap terlalu mahal, bahkan ada yang mencapai Rp800 ribu per siswa. Hal ini memicu respons dari Wali Kota Balikpapan dan anggota legislatif setempat yang mengimbau agar sekolah lebih bijak dan tidak membebani masyarakat.
Kasus serupa juga terjadi di daerah lain di Kalimantan Timur, seperti Samarinda dan Kutai Kartanegara. Beberapa wali murid mengeluhkan kurangnya transparansi serta keputusan sepihak dari pihak sekolah dalam menentukan biaya dan bentuk kegiatan perpisahan. Fenomena ini memperlihatkan adanya persoalan mendasar dalam cara masyarakat memaknai momen kelulusan.
https://kaltim.tribunnews.com/2025/03/18/biaya-perpisahan-sekolah-di-balikpapan-dikeluhkan-ada-yang-capai-rp-800-ribu-imbauan-walikota
https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/erik-alfian-1/legislatif-balikpapan-respons-biaya-perpisahan-sekolah-yang-membebani
Dalam sistem kapitalisme yang mendominasi kehidupan saat ini, segala sesuatu—termasuk pendidikan—diukur dengan standar materialisme. Tak terkecuali perayaan kelulusan, yang kini lebih banyak berorientasi pada kemewahan. Pesta megah, busana glamor, sewa gedung, hingga hiburan mahal menjadi gambaran umum acara perpisahan. Padahal, sejatinya kelulusan adalah momen refleksi dan syukur, bukan ajang pamer gaya hidup.
Lebih dari itu, perpisahan sekolah sering kali justru menjadi celah munculnya kemaksiatan. Ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), tabarruj (berhias berlebihan), dan membuka aurat menjadi pemandangan biasa. Mirisnya, dalam sistem kapitalisme, tanggung jawab penyelenggaraan perayaan ini seolah diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah atau orang tua. Negara hanya akan turun tangan ketika ada keluhan viral di media.
Berbeda dengan pandangan Islam, perpisahan sekolah bisa menjadi bentuk apresiasi atas usaha siswa selama belajar, namun harus tetap berada dalam koridor syariat. Islam tidak melarang adanya bentuk penghargaan atau perayaan selama tidak mengandung kemaksiatan dan tidak membebani pihak manapun, terutama orang tua. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, termasuk pengelolaan kegiatan penutup seperti perpisahan sekolah. Biayanya menjadi bagian dari pelayanan pendidikan, bukan dibebankan secara pribadi kepada siswa.
Dalam sistem Islam, pendidikan bukanlah komoditas, melainkan hak mendasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Termasuk dalam hal ini adalah kegiatan perpisahan sekolah, yang semestinya tidak membebani orang tua, tidak mengundang kemaksiatan, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai syariat. Negara yang menerapkan sistem Islam akan memastikan bahwa setiap bentuk penghargaan terhadap siswa dilakukan dengan cara yang sesuai syariat, terjangkau, dan mendidik. Inilah wujud syukur sejati, bukan dalam bentuk kemewahan semu, melainkan apresiasi penuh makna yang membentuk generasi bertakwa dan berilmu.
Namun, semua ini hanya mungkin terwujud secara menyeluruh jika sistem Islam diterapkan dalam institusi politik yang sah, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah. Hanya dalam naungan khilafah, syariat Islam akan diterapkan secara kaffah, termasuk dalam bidang pendidikan. Negara akan hadir sebagai pelayan umat, bukan hanya pengatur administratif, dan memastikan seluruh aspek kehidupan—termasuk perpisahan sekolah—berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT.