Oleh: Desy Arisanti, S. Si
Gelar sarjana dulu dipuja, dianggap sebagai pintu menuju masa depan cerah. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Makin banyak lulusan universitas di Indonesia justru masuk dalam lingkaran pengangguran, menunggu tanpa kepastian, di tengah pasar kerja yang kian selektif dan jenuh.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mencemaskan. Pada 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong tinggi.
Lonjakan terbesar terjadi saat pandemi Covid-19 menerjang. Dunia kerja nyaris lumpuh, rekrutmen dibekukan, dan ribuan lulusan baru terpaksa memulai karier mereka di tengah krisis global. Namun masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar pandemi.
(CNBCindonesia.com, 01/05/2025)
Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2024 menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini menjadi keprihatinan serius, mengingat tingginya angka pengangguran justru didominasi oleh lulusan pendidikan tinggi, baik sarjana maupun diploma. Fenomena ini bukan sekadar krisis ekonomi, melainkan juga ancaman sosial yang dapat menghancurkan potensi generasi produktif jika tidak ditangani dengan sistemik dan tuntas.
*Kapitalisme dan Akar Masalah Pengangguran*
Krisis pengangguran yang terus memburuk sejatinya tidak berdiri sendiri. Ia merupakan buah dari sistem ekonomi dan politik yang saat ini diterapkan, yakni sistem kapitalisme.
Kapitalisme menempatkan negara sebatas regulator pasar, yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada rakyat. Tugas negara dalam menciptakan lapangan kerja serta menjamin kesejahteraan rakyat tidak dipandang sebagai tanggung jawab utama, melainkan diserahkan kepada mekanisme pasar dan investasi swasta.
Kebijakan ekonomi dalam sistem kapitalis memposisikan sektor swasta sebagai aktor utama dalam pembukaan lapangan kerja. Negara hanya menyediakan regulasi dan insentif untuk menarik investor, sementara tanggung jawab riil atas penciptaan lapangan kerja dan distribusi kekayaan dikesampingkan. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat dari kebijakan yang mendorong liberalisasi ekonomi, termasuk privatisasi aset-aset strategis dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh pihak swasta maupun asing.
Akibatnya, negara tidak memiliki kontrol penuh atas potensi kekayaan nasional yang seharusnya menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Ketika swasta dan asing menguasai SDA, maka keuntungan besar justru dinikmati oleh segelintir pihak, sementara rakyat tetap bergelut dalam kemiskinan dan pengangguran. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar cenderung memilih efisiensi ketat dan teknologi tinggi, yang justru menyerap tenaga kerja seminimal mungkin.
*Realitas Ironis: Pendidikan Tinggi Tak Menjamin Lapangan Kerja*
Masyarakat saat ini masih memegang keyakinan bahwa pendidikan tinggi adalah tiket menuju masa depan cerah. Namun, realitas menunjukkan bahwa semakin banyak lulusan perguruan tinggi justru terjebak dalam pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak ada kesesuaian antara output pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, serta minimnya lapangan kerja yang tersedia.
Lebih jauh, sistem kapitalisme juga menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan sebagai alat pembentukan sumber daya manusia yang produktif. Biaya pendidikan tinggi yang mahal tidak sebanding dengan peluang kerja yang tersedia. Akibatnya, para lulusan tidak hanya mengalami frustrasi sosial, tetapi juga dibebani utang dan tekanan hidup yang berat.
*Islam: Negara Sebagai Pengurus Rakyat*
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki sistem politik dan ekonomi yang menempatkan negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Dalam sistem Islam, negara tidak boleh lepas tangan terhadap problematika ekonomi rakyat. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar setiap individu, termasuk dalam aspek pekerjaan.
Negara dalam Islam tidak menyerahkan tanggung jawab pembukaan lapangan kerja kepada swasta maupun asing. Sebaliknya, negara secara aktif mengelola potensi kekayaan dan sumber daya yang dimiliki untuk kepentingan umat. Pengelolaan SDA, misalnya, menjadi tanggung jawab penuh negara dan tidak boleh diserahkan kepada individu, perusahaan swasta, apalagi asing. Hasil dari pengelolaan ini kemudian digunakan untuk mendanai berbagai sektor produktif yang mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar.
*Sistem Ekonomi Islam dan Solusi Tuntas Pengangguran*
Islam menetapkan prinsip-prinsip ekonomi yang adil dan produktif. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara. SDA termasuk dalam kepemilikan umum, yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat. Negara akan menggunakan pendapatan dari sektor ini untuk membangun industri, pertanian, dan infrastruktur yang mampu menyerap tenaga kerja secara luas.
Lebih dari itu, sistem Islam akan mendorong setiap individu yang mampu untuk bekerja, sementara negara berkewajiban memastikan ketersediaan lapangan kerja. Jika seseorang tidak mendapatkan pekerjaan, maka negara akan memberikan jaminan hidup atau mengupayakan pekerjaan baginya.
Sebagai contoh sejarah, dalam masa Khilafah Islam, para pemimpin seperti Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz dikenal sangat serius dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Tidak hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga menjamin hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan ekonomi, bahkan hingga ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia bukan hanya masalah kebijakan sektoral, tetapi cerminan kegagalan sistemik dari kapitalisme yang diterapkan. Ketika negara menyerahkan urusan ekonomi pada mekanisme pasar dan investor, maka kepentingan rakyat hanya menjadi nomor sekian. Generasi muda akhirnya menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak pada mereka.
Islam, melalui sistem Khilafah dan penerapan ekonomi Islam, menawarkan solusi tuntas dan menyeluruh. Negara bukan hanya mengatur, tetapi aktif mengelola dan menjamin hak rakyat. Dengan pendekatan ini, lapangan kerja bukan hanya tersedia, tetapi juga didistribusikan secara adil dan berkelanjutan. Sudah saatnya kita memikirkan solusi alternatif yang terbukti mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan, bukan terus menerus berharap pada sistem yang telah berulang kali gagal.