Global March to Gaza: Nurani Melawan Tirani


author photo

23 Jun 2025 - 15.54 WIB



Oleh : Herliana Tri M
 
Nurani dunia terhentak.  Terpampang dengan nyata kebiadaban penjajahan Israel menguasai tanah Palestina khususnya Gaza.  Tak ada konvensi internasional yang ditaati Israel.  Etika berperang tak pernah diindahkannya.  Jelas dan gamblang semua warga menjadi sasaran genosida Israel.  Anak-anak, orang tua, wanita, tenaga medis, jurnalis dan semua gedung-gedung luluh lantak tak terkecuali.  Namun semua diam membisu. Negara-negara sekitar Gaza hanya beretorika mengutuk Israel, tak berbuah nyata.  Bahkan tembok berlapis dengan penjaga militer wilayah Mesir, menghadang bantuan untuk bisa memasuki wilayah genosida.  Sungguh tak bisa masuk dalam logika nalar manapun.  Dimana peran PBB sebagai penjaga keamanan dunia, membiarkan kedzoliman terpampang nyata.
 
Dunia Bergerak

Global March to Gaza menorehkan Sejarah dunia.  Nurani belumlah mati.  Meski pemimpin-pemimpin negeri diam membisu, warga dari negeri-negeri dunia bersuara. Berbagai aksi wujud protes terus berlangsung meski belum berbuah nyata.  Sampai akhirnya tercetus aktivitas untuk membantu menyalurkan bantuan kemanusiaan via darat dan laut.  Melalui jalur laut, aksi heroik pejuang kemanusiaan diwakili oleh 12 aktivis dari beberapa negara.  Gerakan menerobos blokade Gaza bergerak dalam kapal Madleen yang diambil dari nama nelayan Gaza yang menginspirasi.  Misi  kemanusiaan ini diberi nama Freedom Flotilla Coalition & Global March to Gaza. 
 Penangkapan kapal Madleen berisi 12 aktivis kemanusiaan dimaksudkan agar negara-negara bertindak. Mereka pelaku sejarah. Tidak hanya diam atas kebiadaban Israel, tapi mereka tunjukkan dengan aksi nyata.  Meski akhirnya perjuangan dari laut ini tak membuahkan hasil.  Kapal ini ditangkap oleh tentara terlatih Israel sebelum sampai ketujuannya, menyalurkan bantuan untuk Gaza.  

Aktivitas perjuangan kemanusiaan berlanjut.  Kapal Madleen yang menginspirasi dunia tak berhenti, dilanjutkan aktivitas jalur darat, perjuangan lebih besar dalam aksi kemanusiaan Global March to Gaza. Dilansir Republika.Co.id,14/6/2025 menuliskan aksi dunia yang berlangsung dari Al Arish menuju gerbang Rafah.  Konvoi kemanusiaan ini melibatkan ribuan orang dari berbagai negara.  Wujud nyata aksi kemanusiaan yang mewakili lintas etnis dan benua, bersatu dalam rasa yang sama, membantu Gaza dari genosida dan diamnya penguasa. 

Aktivis kemanusiaan ini datang dari Tunisia, Libya, Maroko, Amerika, Eropa, Asia termasuk dari  Indonesia.  Aktivis kemanusiaan dengan berlatarbelakang beragam baik pensiunan, perawat, jurnalis, dokter, pegiat HAM, ataupun artis dan pemuda-pemuda yang tergerak nuraninya menembus benteng bisunya dunia. 

Aksi nyata ini wujud diplomasi rakyat tanpa podium, protokol, serta teks tertulis rapi lainnya.   Semua tersuguh agar dunia bergerak dalam tindakan nyata. Menyentak nurani setiap insan dan penguasa yang memiliki militer bersenjata.  Meski perjuangan dan perjalanan tak berbuah manis.  Setitik harapan dan obat-obatan terganjal dengan penahanan, deportase, yang dilakukan otoritas Mesir.  
 
Kamikah Saudara?

Malu, kata yang tak cukup mewakili diamnya dunia khususnya penguasa muslim saat ini.  Ummat Islam yang berjumlah sekitar 2 milyar warga tak bisa memberikan bantuan makanan, 0bat-obatan, apalagi kiriman senjata untuk mengusir penjajahan dari wilayah Gaza.  

Sungguh ironi, negeri muslim yang disatukan Rasulullah dalam ikatan aqidah ini tak tergerak untuk membebaskan saudaranya yang tersiksa. Bahkan lebih menyedihkan lagi ikut ’membantu zionois’ dengan menghalangi bantuan masuk ke wilayah Gaza.  Padahal Mesir adalah satu-satunya harapan via darat untuk menyalurkan bantuan.  Inikah negeri muslim yang ber ukhuwah Islamiyah? Padahal Rasulullah saw telah berhasil mengentaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam.  Memperluas ikatan saudara yang tak sekedar ikatan darah, namun ikatan aqidah yakni Islam.  Menyatukan wilayah yang tersekat wilayah sempit menjadi luas terbentang dalam satu ikatan kuat dan hukum negara yang mengikat, yakni tegaknya pemerintahan Islam yang terbentang luas menguasai 2/3 dunia.  

Permasalahan besar umat saat ini adalah adanya ikatan nasionalisme yang menjadi pemisah persatuan.  Atas nama nasionalisme, Mesir mendeportasi aktivis kemanusiaan dari berbagai belahan dunia untuk masuk ke Gaza.  Pintu Rafah menjadi saksi, masalah Gaza bukan masalah Mesir, sehingga tak layak mendapat bantuan.  Penderitaan Gaza adalah masalah mereka, yang tak layak bagi Mesir dan wilayah sekitarnya turut berperan menyelesaikannya.  Inilah sekat nasionalisme yang dipraktekkan negeri-negeri dunia saat ini.  

Ikatan aqidah sekarang hilang.  Atas dasar nasionalisme, perjuangan sebuah negeri hanya terbatas pada wilayahnya semata.  Indonesia sibuk dengan masalahnya, Mesir, Irak, Iran dan lainnya pun juga sama.  Seolah-olah masalah Gaza hanya untuk mereka, dan mereka sendiri yang harus berjuang menyelesaikan penindasan di wilayahnya. Inilah realita nasionalisme saat ini.  Berjuang hanya untuk  negeri dan wilayahnya.  Mengabaikan risalah Islam mulia, yang menginginkan ikatan kuat yang menyatukan.  

Sudah saatnya ummat Islam ini bersatu kembali.  Mengaplikasikan isi kitab al Qur’an yang mulia.  Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hujurat :10 yang artinya ”Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara”  Mengikat rasa saudara yang disatukan dalam aqidah Islamiyah.   Menyatukan kekuatan negeri-negeri muslim yang ada dalam satu komando mengusir penjajahan dari Gaza dan wilayah-wilayah lain yang menderita. 
Bagikan:
KOMENTAR