Jangan Membuat Umat Islam Buruk Sangka kepada Islam (Efek Islamofobia)


author photo

15 Jul 2025 - 19.03 WIB



Penulis : Yulita Andriani (Daiyah Samarinda)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama seluruh elemen masyarakat dari perwakilan Ormas Islam, Akademisi, dan Parpol dalam sebuah kegiatan diskusi bertema “Islamofobia; Tantangan Dunia Islam” yang digelar oleh Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI), pada April 2025 lalu, di kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, menegaskan bahwa islamofobia adalah musuh bersama dan musuh kemanusiaan.
Menurut MUI, islamofobia dan radikalisme agama adalah dua sisi mata uang yang melahirkan perlakuan diskriminatif dan menjadi penghalang terciptanya perdamaian dan harmoni kemanusiaan. Selain itu islamofobia dan radikalisme menjadi pintu masuk untuk menjatuhkan Islam. Karena mereka yang membenci Islam dapat menimbulkan situasi teror dan ketakutan. Untuk itu perlu adanya kontribusi nyata dunia Islam dan dunia Internasional untuk membangun mindset masyarakat menjadi agent of change dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan prinsip-prinsip rahmatan lil alamin untuk mencegah fobia atau radikalisme.
Dalam forum itu, dinyatakan pula adanya dukungan terhadap resolusi Sidang Majelis Umum (SMU) PBB No. 76/254 yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamofobia, dan resolusi SMU PBB No. 78/264 yang mendorong masyarakat internasional untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menanggulangi islamofobia, utamanya di bidang pendidikan, hukum, politik, sosial dan budaya, termasuk mempromosikan dialog antaragama dan memperkuat kerja sama dalam melakukan kampanye dan mengambil langkah komprehensif dalam rangka menindaklanjuti resolusi PBB tentang penanggulangan islamofobia, yang mengedepankan prinsip moderasi, meningkatkan saling pengertian dan saling menghormati serta toleransi demi menjaga kerukunan berbangsa dan stabilitas nasional. (https://suaramubalighah.com/2025/06/23/narasi-islamofobia-dan-radikalisme-upaya-sistematis-mengadang-tegaknya-islam-kaffah/)
Sementara, seiring dengan hal diatas, pada Forum Silaturahmi Ulama Indonesia (FSUI) di Bogor, Rabu 14 Mei 2025, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan, peran aktif elemen masyarakat menjadi garda terdepan dalam memberikan pemahaman kepada publik mengenai paham radikalisme dan terorisme guna memitigasi bahaya paham tersebut melalui pendekatan kesiapsiagaan nasional.
“Harapan kami dengan keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, upaya mitigasi terhadap radikal terorisme dapat lebih efektif dan efisien,” ujar Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono. Lebih lanjut, Komjen Pol. Eddy menegaskan bahwa pelibatan masyarakat tersebut nantinya akan lebih memaksimalkan implementasi kebijakan Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Terorisme (RAN PE). (https://news.espos.id/bnpt-masyarakat-jadi-garda-terdepan-mitigasi-paham-radikal-2095415)

Pelibatan masyarakat sipil dalam program implementasi RAN PE tahap ke-2, yang bersifat lebih soft ini, karena mengambil pendekatan pada kerjasama pembangunan sebagaimana yang diberitakan oleh media,” BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang menyusun rancangan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) fase kedua untuk jangka waktu 2025-2029. Sebab, masa berlaku RAN PE fase pertama 2020-2024 yang didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7/2021 sudah habis.
Direktur Bidang Kerjasama Regional Multilateral, Dionisius Elvan Swasono menjelaskan, saat ini rancangan Perpres tentang RAN PE fase kedua sudah masuk dalam Keputusan Presiden Nomor 5/2025 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden 2025. Selain itu, rancangan perpres tersebut juga sudah masuk dalam Daftar Program Penyusunan Perpres 2025. 
Ia menjelaskan, RAN PE merupakan instrumen kebijakan yang diinisiasi BNPT untuk meningkatkan sejumlah upaya pencegahan terhadap ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Upaya tersebut lebih dicondongkan pada pendekatan lunak dengan melibatkan kelompok masyrakat sipil. (https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/745843/bnpt-godok-ran-pe-fase-dua-tekankan-pendekatan-pembangunan)
Menyikapi kedua berita ini, sesungguhnya apa yang terjadi sehingga muncul Islamofobia dikalangan umat islam sendiri dan mengapa harus memaksakan program anti radikalisme dan terorisme, padahal masalah kaum muslimin saat ini adalah ada pada sistem yang rusak?
*Proyek Moderasi Agama, dibalik kemunculan Radikalisme dan Islamofobia*
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Islamofobia memiliki makna fobia terhadap Islam atau penganut Islam. Sementara fobia bermakna ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Sehingga fobia bisa diartikan sebagai ketakutan yang berlebihan kepada suatu obyek atau situasi. Maka, islamofobia adalah sebuah bentuk ketakutan berlebihan terhadap Islam atau muslim. (tirto.id, 5-8-2024).
Menurut Oxford English Dictionary, istilah islamofobia pertama kali dipakai dalam bentuk cetak melalui majalah Amerika pada 1991. Dan puncak dari narasi kebencian terhadap Islam tersebut terjadi pasca peristiwa 9/11 tahun 2001 di AS. Sejak itu, opini islamofobia tersebut terus dimasifkan melalui propaganda perang melawan terorisme (war on terrorism) ke seluruh dunia.
Pernyataan jurnalis investigatif Australia John Pilger bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya, ungkap Pilger, tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme. Amerika sebagai pelaku utama yang menyebabkan umat Islam jadi korban terorisme.

Sebagaimana disampaikan oleh Daniel Pipes, “Tujuan jangka pendek dari perang ini (WOT) haruslah untuk menghancurkan Islam militan, namun tujuan jangka panjang dari perang ini adalah modernisasi Islam”. (https://suaramubalighah.com/2025/06/23/narasi-islamofobia-dan-radikalisme-upaya-sistematis-mengadang-tegaknya-islam-kaffah/)
*Menyelewengkan Istilah “Ummatan Wasathan” untuk proyek GWOT/GWOR*
Setelah runtuhnya Blok Timur (sosialisme komunisme) pimpinan Uni Sovyet, maka secara politik, dunia ada dalam genggaman kapitalisme sekuler pimpinan AS. Dan AS menetapkan strategi khusus untuk memastikan hegemoninya itu, sekaligus sebagai alat untuk memukul dan menghukum negara mana pun yang tidak tunduk padanya. Strategi itu diwujudkan dalam proyek Global War on Terrorism(GWOT) yang akhirnya berubah menjadi Global War on Radicalism(GWOR) serta membangun kekuatan Islamic moderate network. Semua itu demi melanggengkan dominasi politik kapitalisme AS secara internasional, serta memuluskan agenda penjajahannya di berbagai kawasan dunia.
Moderasi agama pun dijadikan alat penjinakan. Islam diarahkan agar hanya menjadi agama ritual-spiritual, tanpa menyentuh ranah sosial-politik. Seruan kepada Islam kaffah dicap radikal, padahal itu adalah perintah Allah ﷻ.
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَافَّة وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّ مُّبِينٞ
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu (QS al-Baqarah [2]: 208)
 Firman-Nya: «فِي السِّلْمِ», artinya: dalam Islam; «كَافَّةً», artinya, semuanya; yakni: dalam semua syariat-syariat-Nya (al-Wajiz fi Tafsiîr al-Kitab al-’Azîz, 160).
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِن وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلا مُّبِينا
“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. “ (QS Ahzab [33]: 36)
 Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini bersifat umum dalam semua perkara. Hal ini karena jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka tidak ada seorang pun yang berhak menyelisihinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, VI/377).
Melalui topeng moderasi, diambillah dalil-dalil yang mendukung, diantaranya yang terkenal adalah dari dalil Al-Qur’an QS.Al-Baqarah ayat 143 :
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَکُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّا سِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ... 
"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…."
Lalu dimunculkanlah karakter ummatan wasathan sebagai muslim yang tawazun (seimbang), I’tidal (adil),tasamuh (toleran), syura’ (mengedepankan musyawarah), ishlah (mengedepankan perbaikan), dsj. Karakter ini dimunculkan dengan tujuan (menurut mereka) untuk terciptanya perdamaian dunia dan rahmatan lil’alamiin. 
Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat manusia. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al-khiyâr (pilihan) dan orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil.
Berdasarkan pengertian tersebut, sering dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath daripada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab:
(1) Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Posisi saksi semestinya berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.
(2) Penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jatidiri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik. Pasalnya, mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah maupun muamalah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan ajaran Islam. Bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Dengan demikian memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat (pertengahan) antara benar dan salah adalah penyesatan.
Umat Islam harus kembali kepada penerapan Islam yang menyeluruh. Karena Allah SWT tidak mau menerima keimanan seorang muslim itu hanya untuk sebagian hukum dan menolak sebagian hukum lainnya, maknanya wajib ber-islam secara kaffah. Lalu apa urusannya dengan istilah radikalisme dan terorisme yang justru haram dianut oleh seorang Muslim? Ketika Khilafah bagian dari ajaran Islam, maka seorang muslim tidak boleh untuk mengingkarinya apalagi menghinakannya. Fahami dulu mengapa wajib ber-Islam secara kaffah, sudahkah kitab ber-Islam secara kaffah, apa yang harus dilakukan agar ber-islam secara kaffah, bagaimana Gambaran thoriqoh Rasulullah SAW ketika menerapkan Islam secara Kaffah? Itulah yang harus difahami dulu, agar tidak muncul sikap pesimis terhadap aturan Islam, takut pada kata Khialfah, ujungnya Islamofobia.
Bagikan:
KOMENTAR