Ketika Pluralisme Menggerogoti Akidah


author photo

14 Jul 2025 - 07.18 WIB



Oleh: Novi Noor (Aktivis Dakwah) 
Di balik gemerlap kampanye “moderasi beragama” dan semarak kegiatan yang mengusung tema “kerukunan antarumat beragama”, terselip sebuah ancaman ideologis yang sangat serius, yakni pengaburan akidah umat Islam atas nama toleransi. Kegiatan seperti yang diadakan oleh Kementerian Agama Kota Balikpapan dan TVRI Samarinda, yang bertajuk “Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama” pada 18 Juni 2025 lalu, perlu ditinjau bukan hanya dari sisi luarnya yang tampak damai, tetapi dari muatan ideologisnya yang perlahan tapi pasti menggerus prinsip Islam.

Di era sekuler-kapitalisme hari ini, toleransi telah mengalami pergeseran makna. Bukan lagi sebagai bentuk penghormatan kepada pihak lain tanpa mencampur keyakinan, tetapi menjadi alat penyama semua agama atas nama pluralisme. Inilah bentuk penjajahan pemikiran (ghazwul fikri) yang paling licik sehingga menjauhkan umat dari keimanan murni dengan membungkusnya dalam narasi damai, inklusif, dan moderat.

Pluralisme: Racun dalam Balutan Perdamaian
Pluralisme agama mengajarkan bahwa semua agama adalah benar dan sah sebagai jalan keselamatan. Padahal, ini bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam yang menegaskan:

“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19)
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Dakwah pluralisme tidak lagi mendorong umat untuk taat kepada Allah, tapi untuk ‘menghormati semua agama’ sampai titik mengabaikan bahwa hanya Islam yang benar. Ini adalah bentuk penyesatan yang sistematis dan dilakukan secara halus. Bahkan pemuda Muslim kini dijejali narasi bahwa meyakini Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran adalah intoleran. Padahal keyakinan seperti itu adalah fardhu, bukan pilihan.

Islam: Toleransi Iya, Pluralisme Tidak
Islam bukan agama fanatik yang menolak keberagaman. Sejak awal, Islam telah mengatur interaksi dengan non-Muslim. Rasulullah ﷺ hidup berdampingan dengan Yahudi dan musyrikin. Di Madinah, beliau menyusun Piagam Madinah sebagai bentuk kontrak sosial untuk menjamin hak semua komunitas—tanpa harus mencampuradukkan agama. Namun Rasulullah ﷺ tidak pernah mengatakan semua agama itu sama.
Toleransi dalam Islam jelas batasnya yaitu dengan tidak menyebut semua agama sama benarnya. Justru Islam menegaskan perbedaan, menjaga kemurnian akidah, dan tidak berkompromi dalam perkara iman.
Lebih lanjut, sistem Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan bagaimana keberagaman dikelola dengan adil, tanpa mengorbankan identitas Islam sebagai poros kehidupan. Non-Muslim mendapat perlindungan hak, tapi mereka tidak boleh menyebarkan keyakinan kepada Muslim. Mereka hidup tenang, tanpa mengalami diskriminasi, tapi Islam tetap menjadi pilar peradaban.

Ini berbeda jauh dengan sistem sekuler hari ini yang memakai toleransi untuk menggusur peran agama dalam kehidupan, menjauhkan syariat dari ruang publik, dan menjadikan umat kehilangan pijakan akidah.
Toleransi Tanpa Kompromi Akidah
Umat Islam tidak butuh toleransi ala Barat. Kita tidak butuh pelatihan moderasi yang menjadikan iman sebagai barang lelang. Kita tidak perlu membaurkan akidah demi mendapatkan label ‘toleran’ dari dunia sekuler.

Justru inilah saatnya umat bangkit, menyadari bahwa problem hari ini bukan karena kurangnya toleransi, tapi karena sistem hidup yang jauh dari Islam. Sistem kapitalisme telah menjauhkan manusia dari Rabb-nya. Masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan, kehancuran moral, kriminalitas, dan bencana sosial—namun solusinya justru diarahkan ke moderasi dan kerukunan semu.
Islam tidak menolak keberagaman. Islam justru mengaturnya dengan sangat adil. Tapi Islam juga tidak membiarkan akidah dikaburkan. Islam tidak membuka ruang kompromi dalam kebenaran.

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun: 6)
Itulah bentuk toleransi yang tegas, murni, dan jujur. Tidak menyerang, tapi juga tidak tunduk. Maka umat Islam hari ini harus waspada, jangan sampai toleransi menjadi pintu masuk lenyapnya identitas Islam dari tengah-tengah kehidupan.

Saatnya umat bersuara dan bergerak. Bukan untuk sekadar saling menghormati, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Islam bukan hanya agama ritual, tapi sistem hidup. Solusi hakiki bagi umat bukan moderasi, tapi kembali kepada syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah.
Bagikan:
KOMENTAR