Korupsi, Ironi di Tengah Efisiensi


author photo

15 Jul 2025 - 01.52 WIB


Oleh: Zakiyatul Fakhiroh, S.Pd
(Pendidik)

Media dihebohkan dengan mencuatnya dugaan kasus korupsi EDC di salah satu bank plat meraha senilai 2,1 T sejak 2020 hingga 2024. Saat penggeledahan di dua lokasi kantor pusat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan berbagai dokumen proyek, buku tabungan, dan bukti-bukti elektronik lainnya untuk dianalisis tim penyidik. (Beritasatu, 30/06/2025)

Masih seputar korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menetapkan lima tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumatra Utara dan Satker PJN Wilayah I Sumut. Kasus ini tidak menutup kemungkinan akan menyeret nama Gubernur Sumut, Bobby Nasution. (Tempo, 1/07/2025).

Kasus korupsi semacam ini bukan yang pertama kali. Hanya saja kasus-kasus belakangan ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran. Apalagi banyak kasus-kasus korupsi sebelumnya belum tuntas diselesaikan dan menyeret nama besar petinggi-petinggi negeri ini. Inilah yang membuat publik geram.  Pemerintah bertindak seolah tak punya uang untuk memenuhi hak-hak rakyat. Rakyat dipaksa memaklumi kesulitan negara, merasakan beratnya dampak efisiensi untuk sektor-sektor strategis diantaranya pengurangan tukin guru, dana bansos, militer, dll. Sementara para petinggi negara asyik menikmati korupsi hingga angka triliunan rupiah yang jika ditotal seluruh nilai korupsinya bisa mencapai angka kuadriliun rupiah. 

Jadi uang negara sebenarnya ada. Hanya saja tidak terdistribusi untuk rakyat. Uang berputar di kalangan pejabat dan elite. Sementara rakyat ngos-ngosan bekerja, banting tulang menghidupi anak dan istri di tengah kondisi yang semakin menghimpit.

Demokrasi kapitalisme telah gagal menyejahterakan rakyat. Sistem ini justru menyuburkan budaya korupsi di semua level dan ranah kehidupan masyarakat. Korupsi menggerogoti pemerintahan, di tingkat pusat hingga ke desa-desa.
Lalu bagaimana dengan penegakan hukumnya?

Kita tak lagi dapat berharap pada keadilan. Kasus-kasus korupsi seringkali mandek, menggantung tanpa ending yang jelas. Kalaupun ada hukuman, suap-menyuap sudah lumrah dilakukan. Ada yang meminta fasilitas mewah di sel, ada pula yang menyuap untuk keringanan hukuman. Bahkan penegak hukumnya pun bisa disuap. Astaghfirullah. Sudah sedemikian parahnya korupsi di negeri ini.

Satu dua kasus korupsi masih wajar, kita menyebutnya kesalahan personal. Tapi dengan fantastisnya kasus korupsi dewasa ini, mencerminkan kegagalan dan rusaknya sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini meniadakan peran agama mengatur kehidupan. Akibatnya, individu bergerak bebas tanpa batas. Tak peduli pada nilai agama. Pencapaian materi menjadi tolak ukur keberhasilan. Kepuasan hawa nafsu menjadi standar kebahagiaan. Muncullah penguasa-penguasa serakah yang tak peduli pada nasib dan urusan rakyat. Segala sesuatu selalu ditimbang dengan untung-rugi. Termasuk urusan hak rakyat.

Berbeda dengan Kapitalisme , Islam mengatur paradigma kepemimpinan berasas akidah. Kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat, sarat dengan kebaikan, dan amar makruf nahi munkar. Dengan ketakwaan individu, seseorang akan amanah terhadap jabatan dan tugasnya. Iya tidak akan berani memakan harta yang bukan haknya. Masyarakat yang juga akan saling mengingatkan dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2:
“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Dengan sistem yang terikat pada syariat akan terwujud masyarakat yang adil Sejahtera. Harta-harta akan terdistribusi merata. Rakyat jelata mendapatkan penuh hak-hak dasarnya. Orang yang mampu tak segan mengulurkan tangan saling membantu. 

Dalam aturan Islam, pejabat negara dihitung hartanya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan harta yang signifikan, ia harus mempertanggung jawabkan. Jika tak mampu menjawab, harta akan disita dan masuk baitulmal.

Korupsi dalam fikih Islam dikategorikan berdasarkan modusnya. Jika modusnya penggelapan uang, maka disebut perbuatan khianat(Syekh Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm.31). Adapun jika modusnya suap-menyuap, maka disebut risywah, yaitu pemberian harta kepada penguasa untuk mencapai kepentingan tertentu yang semestinya tidak perlu pembayaran. Ada pula modus lain yaitu gratifikasi dan fee proyek berupa hadiah atau hibah tidak sah. Semua harta dari berbagai modus tersebut haram karena diperoleh dari jalan tak sesuai dengan syariat Islam.

Sanksi tepat bagi seorang koruptor adalah takzir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksinya dapat berupa teguran lisan dan tertulis, hukum cambuk, penjara, pengasingan, atau yang paling berat hukuman mati. Ketegasan hukum Islam ini tanpa tawar menawar. Pelaksanaan peradilan dilakukan oleh hakim yang bertugas untuk menghentikan kezaliman  para koruptor.

Setelah diputuskan, sanksi dilaksanakan oleh syurthah (kepolisian). Tidak boleh ada sel mewah, fasilitas, atau pengurangan hukuman. Pun tidak ada banding/kasasi. Hukuman dijalankan sesuai keputusan yang ditetapkan tanpa boleh ditawar-tawar. Inilah lengkapnya Islam dengan seperangkat aturan yang jika diterapkan secara kafah akan mampu meminimalisir munculnya kasus pelanggaran seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pelanggaran yang sejenis dengan tetap menjamin kesejahteraan masyarakat. Wallahu a'lam bishshawab.
Bagikan:
KOMENTAR