Kasus korupsi kembali mencuat, sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka imbas operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis (26/6) lalu. OTT itu terkait dengan dua perkara berbeda.
Pertama, terkait proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara. Kedua, terkait proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatera Utara. Nilai kedua proyek itu sebesar Rp 231,8 miliar. (Kumparan news, 4/7/2025)
Beberapa waktu sebelumnya, kasus korupsi juga di dapatkan pada proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, dan berlangsung pada periode 2020 hingga 2024. (Berita Satu,30 Juni 2025).
Ini hanya beberapa dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Akar Persoalan Korupsi
Korupsi merupakan satu tindakan sistemis yang praktiknya telah ada mulai dari negara ini berdiri, bahkan keberadaannya kian banyak saja. Baik oleh orang biasa hingga para pejabat tinggi yang berkedudukan. Mulai dari Rp1,- hingga miliaran bahkan triliunan. Lantas, apa saja faktor yang menjadi akar penyebab korupsi kian membudaya?
Pertama, makin tertancapnya pemahaman sekularisme. Paham ini telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri para pejabat. Mereka tidak takut akan dosa sebab sekularisme telah membuang ajaran agama dari kehidupan. Akhirnya, nafsu dunia menguasai mereka. Inilah penyebab perilaku korup di sistem kehidupan yang sekuler tumbuh subur.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan adanya praktik korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi kepala daerah, apalagi presiden. Alhasil, politik transaksional tidak bisa dihindari, para cukong politik pun bermain, mensponsori kontestan agar bisnisnya lancar. Saat menjabat, alih-alih politisi itu fokus pada umat, mereka malah sibuk melayani para cukong politik. Belum lagi ada partai pendukung yang juga harus diberi suntikan agar mesin partai terus berjalan. Inilah demokrasi yang semakin membuka celah korupsi.
Ketiga, sanksi bagi koruptor yang tidak menciptakan efek jera. Bukan lagi satu rahasia jika penjara para koruptor “mewah”. Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wacana hukuman mati pada koruptor kakap yang merugikan negara dan menzalimi rakyat, malah terjegal HAM.
Wajar saja pada akhirnya para koruptor kian menjamur tersebab hukumannya tidak menjerakan.
Keempat, sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam link kekuasaan. Ini jelas menunjukkan bahwa koruptor yang “terbabat” lebih karena tebang pilih dan tidak memiliki bargaining position politik yang cukup kuat. Misalnya kasus korupsi terhadap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut serta skandal proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah.
Keempat faktor di atas sesungguhnya telah menunjukkan pada kita bahwa budaya korup memang diciptakan oleh sistem hari ini, baik sekularisme, sistem politik demokrasi transaksional, juga sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan. Oleh karena itu, agar terbebas dari budaya korupsi, kita harus mengubah sistem hari ini.
Solusi Hakiki
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. Karena itu mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan ‘izzul Islâm wal Muslimîn. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Demikian, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Wallahu'alam bisshawab