(Aktivis Muslimah Nurhalisa.S)
Di banyak daerah para pencari kerja, khususnya pemula menghadapi kenyataan pahit karena terbatasnya lowongan kerja yang tidak mensyaratkan pengalaman. Dalam job fair yang diselenggarakan Dinas Ketenagakerjaan di Samarinda (Tribun Kaltim, 29 Juni 2025), banyak pelamar, mulai dari lulusan baru hingga ibu rumah tangga, berharap adanya lebih banyak peluang kerja bagi yang belum berpengalaman.
Namun, kenyataan berkata lain mayoritas lowongan menuntut sertifikasi atau pengalaman sebelumnya. Akibatnya, para pencari kerja pemula terjebak dalam situasi yang sulit mendapatkan pekerjaan karena belum memiliki pengalaman, namun tidak bisa memperoleh pengalaman karena belum mendapat kesempatan bekerja.
Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kualifikasi yang diminta oleh perusahaan dengan kemampuan awal yang dimiliki pencari kerja pemula. Banyak di antara mereka merasa sulit bersaing karena belum memiliki pengalaman, meskipun memiliki semangat tinggi untuk bekerja.
Kegagalan Sistem Ketenagakerjaan Kapitalistik
Setiap tahun, ribuan lulusan baru dari berbagai jenjang pendidikan baik sekolah menengah maupun perguruan tinggi bermunculan dan memasuki pasar kerja dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak. Mereka dikenal sebagai fresh graduate, yaitu individu yang baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi namun belum memiliki pengalaman kerja.
Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peluang kerja yang tersedia semakin terbatas dan selektif, sering kali mensyaratkan pengalaman, keahlian teknis, bahkan sertifikasi tambahan. Hal ini menjadikan para lulusan baru terjebak dalam masalah yang berulang: mereka sulit mendapatkan pekerjaan karena belum punya pengalaman, padahal untuk mendapatkan pengalaman mereka harus bekerja terlebih dahulu.
Fakta ini diperkuat dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur per Februari 2025, yang mencatat bahwa dari total angkatan kerja di wilayah tersebut, 53,08% bekerja di sektor formal dan 46,92% berada di sektor informal. Sektor formal diisi oleh buruh, pegawai, dan karyawan tetap, sementara sektor informal mencakup pedagang, pekerja lepas, dan pelaku usaha mikro tanpa kepastian jaminan kerja.
Meskipun secara statistik pekerja formal lebih banyak, tren menunjukkan peningkatan minat terhadap sektor informal, terutama di kalangan muda. Hal ini dikarenakan sistem kerja formal kini semakin padat kompetisi, sementara dunia digital dan ekonomi informal seperti usaha online atau freelance dinilai lebih fleksibel dan cepat menghasilkan.
Namun demikian, pergeseran ini bukan semata-mata pilihan, melainkan sering kali terpaksa karena minimnya lapangan kerja formal yang terbuka. Sementara itu, tenaga kerja asing (TKA) terus berdatangan dan terserap di sektor-sektor strategis seperti pertambangan dan industri besar, menambah tekanan bagi tenaga kerja lokal yang justru tidak mendapat tempat.
Ironisnya, dalam kondisi demikian, pemerintah justru lebih aktif menjadi fasilitator kepentingan korporasi, alih-alih menjamin lapangan kerja bagi rakyat sendiri. Bahkan pendidikan pun disesuaikan dengan kebutuhan pasar semata. Kurikulum sekolah dan kampus tidak lagi bertujuan mencetak generasi yang berkepribadian luhur, namun sekadar “tenaga kerja siap pakai” bagi industri. Alhasil, pendidikan hanya mencetak manusia sebagai mesin produksi, bukan pembangun peradaban.
Fenomena ini jelas menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam mengelola ketenagakerjaan. Negara tidak lagi berperan sebagai penjamin kesejahteraan rakyat, melainkan sekadar menjadi penghubung antara pasar dan pencari kerja.
Akibatnya, angka pengangguran terus meningkat, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara masif, dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar. Dalam sistem ini, hanya mereka yang memiliki akses modal, koneksi, dan keterampilan tertentu yang mampu meraih peluang, sementara rakyat biasa harus bersaing di medan yang tidak adil dan tanpa perlindungan.
Alhasil, distribusi kekayaan menjadi semakin timpang, dan lapangan kerja hanya dapat dinikmati oleh segelintir pihak yang sesuai dengan kriteria pasar. Sistem kapitalisme memosisikan pekerjaan bukan sebagai hak dasar rakyat, tetapi sebagai komoditas yang diperjualbelikan sesuai hukum permintaan dan penawaran.
Negara tidak berkewajiban menjamin pekerjaan bagi rakyatnya, melainkan membiarkan individu bertahan hidup di tengah persaingan bebas. Siapa yang tidak mampu bersaing, akan tersingkir. Inilah konsekuensi logis dari sistem yang menyerahkan seluruh aspek kehidupan kepada mekanisme pasar, sekalipun itu mengorbankan keadilan sosial dan kesejahteraan publik.
Solusi Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memandang pekerjaan sebagai bagian dari kebutuhan dasar yang wajib dijamin negara. Dalam sistem Islam, negara bukan hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi sebagai penanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap kepala rumah tangga khususnya laki-laki sebagai penanggung nafkah agar dapat bekerja atau memiliki sumber penghasilan. Jika ia tidak mampu mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib mencarikan solusi, baik dengan memberikan modal usaha, menghidupkan tanah mati untuk digarap, atau menempatkannya pada sektor produksi yang sesuai.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Seseorang lebih baik membawa tali dan mencari kayu bakar lalu menjualnya daripada meminta-minta kepada orang lain." (HR. Bukhari).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendorong produktivitas, namun tetap menempatkannya dalam tanggung jawab negara untuk memastikan setiap individu memiliki sarana yang memadai dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar instrumen pencetak tenaga kerja siap pakai, melainkan sarana pembentukan manusia berkepribadian Islam (syaksiyah islamiyah) yang kompeten secara intelektual dan mampu memberikan solusi bagi permasalahan umat. Pelajar dalam sistem Islam tidak hanya diarahkan untuk mencari pekerjaan, tetapi juga dibina agar mampu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan keahlian dan kebutuhan masyarakat.
Dengan sistem ekonomi yang berpijak pada syariat serta pengelolaan sumber daya alam yang langsung diatur negara, Islam mampu membuka peluang kerja yang luas tanpa bergantung pada investasi asing maupun mekanisme liberalisasi ekonomi.
Inilah keunggulan sistem Islam, karena mampu menyatukan prinsip keadilan sosial dengan peran aktif negara yang diatur secara menyeluruh oleh ajaran Islam. Sejarah mencatat, pada masa Kekhilafahan Islam terutama di era Khalifah Umar bin Khattab ra negara memberikan jaminan kerja secara nyata.
Lahan-lahan pertanian dibagikan kepada rakyat yang tidak memiliki tanah untuk digarap, irigasi dibangun, dan kebutuhan dasar para petani difasilitasi negara. Bahkan bagi mereka yang tidak mampu bekerja karena usia, sakit, atau keterbatasan keterampilan, negara tetap menjamin pemenuhan hidupnya melalui Baitul Mal.
Ini menjadi bukti bahwa dalam sistem Islam, tidak ada celah bagi rakyat dibiarkan bertarung sendirian di tengah kerasnya pasar bebas sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini. Dalil kewajiban negara menjamin pekerjaan dan kebutuhan hidup rakyat juga ditegaskan dalam berbagai nash.
Allah SWT berfirman:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)
Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam Islam adalah institusi pelayan umat, bukan sekadar fasilitator antara pasar dan tenaga kerja. Negara wajib menjamin ketersediaan pekerjaan dan memastikan distribusi kekayaan berjalan adil dan merata.
Dengan landasan inilah, sistem Islam memberikan solusi menyeluruh dan berkeadilan terhadap persoalan ketenagakerjaan. Sistem ini telah terbukti berhasil membangun peradaban besar yang menjamin kesejahteraan seluruh warga Muslim maupun non-Muslim selama lebih dari 13 abad. Karena itu, menjadi suatu keharusan bagi umat Islam untuk mulai membangkitkan kesadaran bersama dalam meninjau kembali bagaimana sistem Islam yang bersumber dari wahyu allah mampu memberikan solusi nyata terhadap berbagai persoalan kehidupan, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan dan kesejahteraan.