Pemerintah Masih Belum Sepenuh Hati Perhatikan Kesejahteraan Guru


author photo

8 Jul 2025 - 11.29 WIB




Oleh: Indah Sari, S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)

Kabar mengejutkan dari dunia pendidikan Provinsi Banten. Sejumlah tenaga pendidik SMAN, SMKN dan Sekolah Kebutuhan Khusus Negeri (SKh) belum menerima tunjangan tambahan atau Tuta selama enam bulan terakhir sejak tahun 2025. Tugas tambahan ini antara lain sebagai Wali Kelas, Kepala BK/BP/Guru BK, Pengelola Perpustakaan dan Pembina Ekstrakurikuler. (Tangerangnews, 24/6/2025)

Akibatnya para guru menyatakan siap menggelar aksi demonstrasi menuntut hak mereka. Namun, para guru masih menunggu itikad baik dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, serta melayangkan surat audiensi kepada Komisi V DPRD Provinsi Banten dengan harapan persoalan Tuta mendapatkan titik temu.

Mirisnya anggaran Tuta akan dipotong, seperti Honor Tuta Wakil Kepala Sekolah (wakasek) yang awalnya sebesar Rp2,5 konon akan dipotong menjadi hanya Rp500 ribu per bulan per guru. Sementara honor Tuta untuk Wali Kelas dan Pembina akan dipotong dari Rp450 menjadi hanya Rp200 ribu per bulan per guru. 

Informasi pemotongan honor tuta ini juga dibenarkan oleh pegawai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten dan Komisi V DPRD Provinsi Banten yang ditemui para guru. (Banten Raya, 29/6/2025)

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Arsip Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti menyatakan bahwa tunjangan tugas tambahan guru memang tidak dianggarkan dalam APBD murni tahun ini. Hal ini menjadi alasan utama sejak awal 2025 tunjangan tersebut tidak kunjung cair, berbeda dari tahun sebelumnya.  

Menurut Rina menegaskan bahwa tugas tambahan yang dilakukan guru sejatinya merupakan bagian dari tugas pokok mereka. Oleh karena itu, tugas tambahan tersebut tidak layak mendapatkan honorarium atau tunjangan tambahan lagi karena dianggap sudah termasuk dalam beban kerja guru.

Antara Prioritas dan Beban Guru

Kondisi guru kian hari mengalami kemerosotan. Ditandai pemberian upah tidak sesuai jam kinerja, adanya tuntutan yang menurunkan kualitas, kemudian tidak jelasnya arah pendidikan hari ini. 

Dalam sistem kapitalis profesi guru hanyalah seperti pekerja pada umumnya. Gaji yang rendah namun tidak sesuai jam kinerja. Terlebih lagi guru honorer yang bahkan sudah belasan tahun mengajar hanya diupah Rp.200-300 ribu bahkan lebih rendah dari itupun masih ada. Persoalan ini tidak ada habisnya, rasanya untuk mengatakan guru di Indonesia sudah sejahtera sangat mustahil.  

Belum lagi persoalan lainnya yang menghambat peningkatan kualitas guru. Misalnya program Mendikdasmen mewajibkan guru mengikuti pelatihan secara rutin yang bekerja sama dengan Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP). Dimana setiap guru dan kepala satuan pendidikan (kepala sekolah) wajib menjadwalkan satu hari dalam sepekan sebagai hari belajar guru. Tentu, kegiatan ini akan membagi fokus guru dan juga jam mengajar tentu akan berkurang. 

Padahal kualitas pendidikan bukan hanya dititikberatkan pada guru, tapi juga dipengaruhi oleh aspek lain yaitu kurikulum, sarana prasarana, dukungan orang tua, lingkungan belajar, kebijakan pemerintah, dan anggaran pendidikan. 

Selayaknya pemerintah memperhatikan aspek tersebut. Bukan hanya sekedar membuat program seperti program rumah untuk guru Indonesia. Tujuannya untuk membantu para guru di seluruh Indonesia agar memiliki rumah yang layak dan terjangkau. Pasalnya program ini tidak gratis dan hanya bagi guru yang berminat dan mampu membayar beserta bunganya. Tentu bagi guru non PNS tidak mampu sebab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih kurang dengan gaji yang rendah. 

Inilah bukti ketidakseriusan sistem kapitalisme terhadap kualitas pendidikan salah satunya abai terhadap jaminan kesejahteraan guru. 

Mengingat janji Presiden Prabowo pada hari guru November 2024 lalu. Presiden Prabowo Subianto menaikkan alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik sebesar Rp16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Kebijakan ini bagian dari langkah konkret pemerintah untuk memastikan guru mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun sayangnya semua program ini tidak disalurkan secara merata, melainkan banyak persyaratan yang harus terpenuhi untuk mendapatkan kenaikan tunjangan guru. Dapat dilihat posisi guru hari ini sebagaimana para buruh bagi industri. Dengan kata lain, gaji guru adalah faktor produksi dalam roda ekonomi yang berputar di sektor pendidikan yang memang komersial dan kapitalistik.

Kapitalis sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) menjadi biang beratnya guru menjalankan perannya. Kondisi ini membuat para guru tidak hanya miskin secara materi, tetapi juga secara martabat. Mereka tidak dihargai sebagai agen perubahan, melainkan diposisikan sebagai tenaga kerja rendahan yang bisa dicampakkan kapan saja. Padahal, mereka adalah penyangga utama peradaban. 

Pemerintah tidak memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Pantaslah jika nasib guru dan murid sama-sama diujung tanduk karena fungsi kepemimpinan penguasa tidak mengarah pada aspek mengurusi urusan rakyatnya.

Kesejahteraan Guru dalam Sistem Islam

Pendidikan adalah salah satu program penguasa dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengurus yang mengurusi umat. Rasulullah saw. bersabda dalam riwayat Bukhari-Muslim, “Seorang pemimpin adalah penanggung jawab dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”

Dalam sistem Islam, pendidikan merupakan kebutuhan primer yang harus didapatkan oleh semua rakyat dan tugas negara menjamin kualitasnya. Guru diposisikan sebagai sosok mulia yang sangat dihormati. Mereka mendapatkan penghidupan yang layak, baik dari sisi gaji, fasilitas, maupun perlindungan sosial. Negara wajib menyediakan anggaran besar untuk pendidikan, tanpa bergantung pada utang luar negeri atau swasta. Seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan gratis, berkualitas, dan merata.

Terkait pembiayaan pendidikan oleh Daulah Islam, ada dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, dipungut dari rakyat hanya ketika kas baitulmal kosong, itu pun hanya kepada laki-laki muslim yang kaya. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Biaya pendidikan juga bisa diperoleh dari wakaf. Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan secara suka rela.

Dalam konteks manajemen guru, Islam menjamin kesejahteraan mereka sejak awal, bukan hanya ketika mereka tua. Rasulullah saw bahkan memberikan gaji bagi para pengajar Al-Qur’an sejak masa awal Islam. Para guru mendapatkan posisi terhormat sehingga mereka bisa fokus mendidik tanpa harus berpikir tentang pemenuhan makan hari esok. 

“Dalam buku History of the Conflict pada masa Daulah Islamiyah disebutkan bahwa seorang profesor dibidang hukum yang mengajar di Madrasah Nizamiyah menerima gaji sebesar 40 dinar. Satu dinar itu 4,25 gram emas. Gaji ini diluar jaminan kesehatan dan pendidikan yang diberikan oleh negara bagi seluruh warga negara”. 

Pada masa Salahuddin al-Ayyubi, gaji guru juga tidak kalah besar dari profesor. “Di dua madrasah yang didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Salahiyah, gaji guru berkisar antara 11 sampai 40 dinar. Artinya, apabila di kurs nilai saat ini gaji guru itu bisa sekitar 42 juta sampai 153 juta”. 

Lebih lanjut, gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.

Bahkan para ulama yang sibuk dengan Al-Qur’an, mengajar ilmu Al-Qur’an, dan mengurusi para penuntut ilmu diberikan gaji sekitar 2.000 dinar/tahun. Ulama dengan kemampuan khusus yang menekuni ilmu-ilmu Al-Qur’an, mengumpulkan riwayat hadist, dan ahli dalam fikih memperoleh gaji 4.000 dinar/tahun.

Selain itu, Daulah Islam menyediakan perumahan bagi para pengajar. ”Di dalam kampus tersedia fasilitas literasi yang terbaik level dunia. Para guru juga dibiayai untuk melawat ke seluruh dunia untuk melakukan survei, mempelajari ilmu baru. Bahkan mereka juga ada kesempatan mengajar ke negeri-negeri yang baru menerima dakwah Islam”.

Besarnya perhatian Sistem Islam terhadap para guru, Daulah Islam mampu menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan diakui oleh dunia. Selain mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana prasarana untuk bisa meningkatkan kualitas kemampuan mereka dalam mengajar.

Demikian gambaran kesejahteraan guru pada kejayaan peradaban Islam. Meskipun memiliki tugas dan beban yang berat, guru yang dihasilkan berkualitas dan memiliki ketakwaan kepada Allah Swt. Hal ini sejalan dengan penghargaan yang sepadan yakni pemberian gaji dan tunjangan yang tinggi. Sehingga guru hanya fokus mengajar, mengembangkan ilmu dan tidak perlu memikirkan biaya operasional atau tekanan ekonomi dan harus terlibat pinjol. Maka hanya Islamlah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dengan penerapan Islam dalam bingkai negara. 

Wallahualam bissawab.
Bagikan:
KOMENTAR