Banda Aceh – Rencana penambahan empat batalyon militer di Aceh menuai penolakan keras dari kalangan mahasiswa. Fauzul Kabir, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, menilai langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap kesepakatan damai MoU Helsinki dan kemunduran dalam proses rekonsiliasi pascakonflik.
"Situasi keamanan Aceh hari ini sangat kondusif. Penambahan pasukan justru berisiko memancing trauma lama dan menciptakan ketegangan baru di tengah masyarakat," tegas Fauzul kepada media, Senin (7/7).
Pemerintah disebut-sebut berencana membentuk batalyon baru di empat wilayah: Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Namun bagi Fauzul, ini bukan solusi untuk menjawab persoalan riil rakyat Aceh.
“Kami butuh pembangunan, bukan pengerahan pasukan. Rakyat Aceh lebih membutuhkan sekolah, rumah sakit, dan lapangan kerja, bukan deretan senapan yang mengintimidasi,” ucapnya tajam.
Fauzul merujuk pada butir 4.7 dalam MoU Helsinki yang menyebutkan jumlah maksimal tentara organik di Aceh pascakonflik dibatasi hingga 14.700 personel. Penambahan batalyon dianggap sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian damai yang telah menjadi landasan stabilitas Aceh sejak 2005.
“Ini bukan hanya soal militer, tapi soal komitmen terhadap perdamaian. Jika pemerintah pusat sendiri yang melanggar kesepakatan, bagaimana rakyat bisa percaya?” kritiknya.
Ia menegaskan, tindakan ini juga mencederai semangat otonomi khusus Aceh yang seharusnya memberi kewenangan bagi daerah untuk mengatur urusan domestik, termasuk keamanan.
“Pemerintah pusat seharusnya hadir dengan membawa solusi untuk kemiskinan dan pengangguran, bukan memamerkan kekuatan militer yang hanya akan membuka luka lama,” tutup Fauzul dengan nada kecewa.
Rencana penambahan batalyon ini menjadi alarm keras: apakah damai Aceh akan kembali dipertaruhkan demi ambisi kekuasaan bersenjata?(**)