Tanah Terlantar, Akankah Dikelola Negara untuk Rakyat?


author photo

28 Jul 2025 - 15.35 WIB


Oleh: Ernadaa R

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 membuka peluang bagi negara untuk mengambil alih tanah yang dibiarkan tidak digunakan (terlantar) selama dua tahun berturut-turut. Penertiban tanah ini dilakukan melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang ATR/BPN, yang mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendistribusikan kembali lahan kepada pihak yang lebih produktif, serta mengurangi ketimpangan penguasaan tanah.

Beberapa kriteria tanah yang dapat diambil alih mencakup:
Tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai izin atau peruntukannya. Tanah yang dibiarkan kosong tanpa kegiatan ekonomi. Tanah yang dikuasai tapi tidak ditindaklanjuti hak kepemilikannya.
Sekilas, ini tampak seperti langkah progresif untuk mengatasi masalah ketimpangan agraria, terutama saat banyak rakyat kesulitan mendapatkan lahan untuk bertani, tinggal, atau berdagang. Namun, apakah benar kebijakan ini akan berpihak pada rakyat? Atau justru menjadi celah baru untuk kepentingan pemodal?

Dalam sistem kapitalis, tanah dipandang sebagai komoditas atau barang yang bisa diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Meski mengusung narasi untuk rakyat dan mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang berbeda.  Skema-skema seperti HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) justru memfasilitasi korporasi besar untuk menguasai lahan secara masif, bahkan hingga puluhan ribu hektare. Sementara itu, rakyat kecil semakin terpinggirkan. Kepemilikan tanah menjadi impian yang mahal bagi rakyat kecil untuk diwujudkan.

Inilah buah dari sistem kapitalisme, mehirkan pemimpim yang menjadikan tanah sebagai komoditas bukan sebagai amanah publik, dianggap berguna jika menghasilkan nilai ekonomi. Akibatnya, fungsi sosial tanah diabaikan, dan negara lebih sibuk mengatur legalitas tanah untuk mendukung investasi, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Ironisnya, tanah milik negara pun banyak yang dibiarkan terlantar dan tidak dikelola secara optimal. Alih-alih dimanfaatkan untuk kepentingan umum, banyak lahan malah dijadikan aset tidur, atau dilepas ke investor melalui proyek-proyek strategis nasional yang seringkali menumbalkan kepentingan rakyat.

Kebijakan pengambilalihan tanah terlantar pun bisa menjadi celah baru oligarki untuk memperluas cengkeramannya atas lahan. Rakyat, lagi-lagi, hanya dijadikan objek pembangunan, bukan subjek yang dilibatkan. Lantas sampai kapan?

Islam Meletakkan Tanah sebagai Amanah

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang tanah sebagai amanah dari Allah, bukan objek eksploitasi untuk akumulasi keuntungan para pemilik modal. Dalam sistem Islam, tanah dibagi menjadi tiga jenis kepemilikan:
1. Kepemilikan individu, yaitu tanah yang diperoleh melalui cara syar’i, seperti warisan, hibah, atau pembukaan lahan mati (ihya’ al-mawat).
2. Kepemilikan negara, yaitu tanah yang menjadi milik baitul mal, termasuk tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun.
3. Kepemilikan umum, tanah ini meliputi padang gembalaan, hutan, tambang, dan sumber daya penting lainnya.

Islam memiliki mekanisme tegas untuk menghidupkan tanah mati, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya."
(HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

 "Siapa saja memiliki tanah, lalu ia tidak menggarapnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut diambil dan diberikan kepada orang lain yang dapat mengelolanya."
(HR. Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharaj)

Namun, yang membedakan sistem Islam adalah tujuan pengelolaan tanah bukanlah keuntungan, tetapi kemaslahatan umat. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) tidak boleh menjual tanah milik negara kepada swasta apalagi asing. Tanah-tanah itu harus dikelola untuk proyek-proyek strategis seperti permukiman rakyat, lahan pertanian untuk ketahanan pangan, Infrastruktur umum (jalan, rumah sakit, sekolah), termasuk kawasan wakaf atau pelayanan sosial.

Dalam Islam negara bertindak sebagai ro’in (penggembala/pelayan rakyat), bukan sebagai regulator investor. Rasulullah SAW bersabda:

 "Imam (pemimpin negara) adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan sistem ini, rakyat tidak hanya dijanjikan keadilan, tetapi merasakannya secara nyata apa yang menjadi haknya. Islam mengatur agar tanah tidak menumpuk di tangan segelintir orang, dan memastikan distribusi lahan merata berdasarkan kemampuan untuk mengelola, bukan kekuatan modal.

Selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar kebijakan pertanahan, maka keadilan agraria hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan. Negara akan terus berpihak pada pemilik modal, dan rakyat akan terus menjadi korban kebijakan.

Islam melalui sistem Khilafah memberikan solusi menyeluruh dan adil untuk persoalan tanah dengan berbagai upaya strategis diantranya, menghapus komersialisasi tanah, mengembalikan fungsi sosial tanah, memberikan lahan kepada rakyat secara syar’i dan melarang penguasaan lahan besar-besaran tanpa hak.

Negara benar-benar hadir sebagai pelayan, bukan makelar demi kepentingan korporasi.

Islam sebagai sistem kehidupan, menjadikan pemimpin hadir menata kepemilikan, distribusi, dan pengelolaan sumber daya berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu manusia dan kepentingan pemilik modal.
Hanya dengan pemerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, tanah bisa kembali menjadi sumber kehidupan yang menyejahterakan, sebagai amanah publik yang harus dipetanggung jawabkan pembagian, pengeloaan hingga distribusinya secar adil. 
Wallahu'alam bi shawab.
Bagikan:
KOMENTAR