Oleh: Nurul Rahmah, S.Pd
"Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju", begitulah slogan HUT 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Slogan tetap slogan nyatanya peringatan 80 tahun kemerdekaan RI diliputi dengan ironi. Ada banyak persoalan di berbagai bidang kehidupan.
Di bidang ekonomi, kondisi simpanan individu turun 1,09% secara tahunan per triwulan I - 2025. Hal tersebut mengindikasikan bahwa banyak masyarakat mulai menggunakan tabungan mereka untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. (Cnbc, 8/8/2025)
Selain itu, banyaknya PHK terhadap tenaga kerja terjadi di berbagai sektor terutama sektor tekstil (Metro tv, 8/8/2025)
Di bidang agama, kementrian agama mengadakan dialog terbuka antarberagama sebagai kunci atas konflik pendirian rumah ibadah. Kegiatan ini dinilai sebagai cara menjaga kerukunan dan kesatuan rakyat antarberagama. (Kemenag, 6/8/2025)
Dari fakta di atas, memunculkan pertanyaan dibenak kita, inikah konsep bersatu berdaulat dan rakyat sejahtera yang di harapkan negeri ini untuk mewujudkan Indonesia Maju?
*Sekadar Seremonial*
Negeri kita sudah lanjut usia, 80 tahun bilangannya. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, berbagai seremonial digelar, mulai dari kenegaraan hingga pesta rakyat di jalan-jalan. "Merdeka" katanya. Tidaklah patut kita langsung memercayai narasi-narasi pencitraan penguasa yang tidak sesuai dengan realitas di akar rumput.
Sebagai contohnya adalah angka pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan. Sedangkan masyarakat secara umum mengalami penurunan daya beli, inflasi melonjak, PHK marak, dunia industri dan manufaktur hancur, angka pengangguran nasional kita tertinggi di ASEAN, hingga terjadinya kapitalisasi pada berbagai sektor vital publik seperti pendidikan dan kesehatan. Ini masih belum termasuk pajak yang jenisnya makin beragam dan nominalnya kian mencekik.
Sebaliknya, penghasilan masyarakat stagnan atau bahkan turun, sedangkan pengeluaran makin besar karena harga-harga melambung tinggi dan banyak pungutan dari negara. Kalangan “rohana” (rombongan hanya nanya) dan “rojali” (rombongan jarang beli) bermunculan ibarat hantu gentayangan yang membayang-bayangi dunia ritel. Tidak sedikit pula masyarakat yang terpaksa makan tabungan. Kondisi ini sungguh rawan menjatuhkan warga kelas menengah ke jurang kemiskinan.
Secuil fakta miris ini sejatinya tidak pantas membuat kita menepuk dada sebagai bangsa merdeka. Nasib rakyat yang begitu memprihatinkan kendati sudah era digital, nyatanya berbeda tipis dengan leluhur kita pada masa kolonial. Kita pun harus menyadari akar masalahnya, bahwa sistem ekonomi pada masa tersebut sama dengan sistem ekonomi saat ini. Semua derita rakyat itu justru menegaskan bahwa peringatan kemerdekaan memang sebatas seremonial berupa pengibaran bendera. Sungguh ironis.
Usia 80 tahun tidaklah layak disebut sekadar angka. Itu bukan usia yang singkat. Ibarat manusia, mereka adalah orang-orang yang sudah kenyang dengan asam garam kehidupan. Jadi, semestinya usia panjang kemerdekaan negeri ini sudah cukup untuk melakukan banyak perubahan yang layak dimiliki oleh sebuah negara yang merdeka.
Merdeka itu semestinya tidak hanya bermakna lepas dari belenggu penjajahan. Negara yang merdeka idealnya menjadi negara mandiri dan tidak tergantung ataupun membebek pada negara lain. Namun, ternyata kita bisa merasakan saat ini bahwa kolonialisme masih terjadi dengan bentuk yang kian beragam. Segala sesuatunya tidak tampak berbeda nyata dengan masa kompeni. Yang tidak sama barang kali hanya tahun kejadiannya.
*Neokolonialisme*
Penjajahan fisik berupa kontak senjata memang sudah tidak ada di negeri kita, tapi penjajahan pemikiran, ekonomi, politik, dan ideologis masih nyata kita saksikan. Penjajahan bahkan datang dalam bentuk yang kian modern mengikuti perubahan zaman. Penjajahan itu kini berupa peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional yang terwujud akibat lemahnya posisi tawar kita di hadapan bangsa penjajah.
Kondisi inilah yang selanjutnya bisa kita sebut neokolonialisme. Ini sekaligus menjadi legitimasi bahwa negeri kita sejatinya masih terjajah, bahkan secara ideologis dan sistemis. Sistem ekonomi dan politik dari negara penjajah sungguh telah tercetak sempurna di negeri kita karena ada motif ideologis yang turut penjajah itu sebarkan. Inilah pola sejati imperialisme global saat ini. Target besar penjajahan oleh ideologi kapitalisme adalah visi materiel. Tidak heran, semuanya berkelindan dengan kebijakan yang rakus dan serakah pesanan para kapitalis.
Sejalan dengan hal itu, beragam pemikiran dan peraturan kehidupan diproduksi dalam berbagai lajur sekularisasi dan liberalisasi, sebagai wujud upaya serius untuk meniadakan porsi agama (Islam) di dalam kehidupan sekaligus strategi penyebaran paham kebebasan di tengah-tengah umat. Ini telah menjadi bagian dari grand design untuk membajak potensi umat dalam rangka mengukuhkan sistem sekuler kapitalisme.
Pada saat yang sama, muncul istilah-istilah yang tampak ramah, tapi sejatinya merusak dan berbahaya. Semuanya dijejalkan ke dalam benak masyarakat melalui sistem pendidikan, seperti Islam moderat, moderasi beragama, deradikalisasi, dialog antarumat beragama, dll.. Istilah-istilah itu adalah bagian dari pemikiran yang dibiarkan menjajah umat hari ini sehingga mereka tidak bisa berpikir sahih. Di sisi lain, ada pula istilah-istilah yang dinarasikan tidak ramah untuk selanjutnya dialienasi dan dijadikan musuh bersama (common enemy), seperti radikalisme, Khilafah, dan Islam kafah, karena istilah-istilah itu tidak disukai oleh rezim penguasa.
Sudah jelas negeri kita berpenduduk mayoritas muslim, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Namun, ide asing yang bukan dari Islam justru bercokol di negeri ini dan menjauhkan masyarakat muslim dari ajaran Islam. Ide-ide yang berasal dari luar Islam itulah yang sebenarnya memecah belah umat. Kita tentu paham benar, konsep pecah belah (divide et impera) adalah narasi utama yang mewarnai penjajahan di setiap waktu dan tempat. Sebaliknya, salah satu seruan yang bersumber dari aturan Islam adalah persatuan umat, bukan perpecahan.
Jelas sudah, meski merdeka dari penjajahan fisik, Indonesia masih terjajah secara hakiki. Kemerdekaan seharusnya terwujud pada kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar tiap-tiap individu rakyat. Ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, esensinya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan juga semestinya terealisasi ketika umat Islam dapat berpikir sesuai dengan Islam. Namun, tentu saja penerapan sistem sekuler kapitalisme tidak akan berpihak pada kesejahteraan rakyat, tapi melayani kepentingan kapitalis. Akibatnya, para kapitalis makin kaya, sedangkan rakyat makin miskin.
*Penerapan Islam Kafah, Solusi Kemerdekaan Hakiki*
Penerapan sistem Islam kafah adalah kebutuhan dan solusi hakiki atas kemerdekaan negeri ini. Di dalam negara Islam (Khilafah), Islam diterapkan sebagai ideologi negara dan penguasa berperan sentral sebagai pelaksana syariat Islam secara kafah. Penguasa juga sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat.
Rasulullah saw. bersabda di dalam hadis,
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Juga di dalam hadis,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengan dirinya.” (HR Muslim).
Keberadaan Islam sebagai ideologi adalah legalitas mendasar yang tidak akan membuat negara membebek pada negara lain karena ideologi Islam akan membuat negara yang mengembannya akan menjadi negara adidaya. Dengan ideologi Islam itu, penguasa negara Islam akan mengambil dan melaksanakan berbagai kebijakan politik di dalam negeri dalam wujud ri’ayatusy syu’un al-ummah (mengurusi urusan umat), serta politik luar negeri berupa dakwah dan jihad.
Khilafah juga menerapkan al-maqashid asy-syari’ah (pokok-pokok syariat) untuk menjaga umat. Penerapan syariat Islam kafah berperan penting untuk menjaga pemikiran umat agar tetap selaras dengan ketentuan syariat, hidup dalam ketaatan kepada Allah, dan tidak terkontaminasi pemikiran dari luar Islam.
Sepanjang sejarah emasnya, Khilafah mampu menyejahterakan rakyat di seluruh wilayah kekuasaannya. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi harta secara adil dan merata di tengah-tengah masyarakat. Khilafah mengelola harta kepemilikan umum dan mengalokasikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, sekaligus mengharamkan penguasaan oleh individu/swasta (privatisasi). Khilafah menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) secara individu per individu dengan cukup dan makruf.
Khilafah juga melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan. Khilafah memberikan tanah bagi rakyat yang mampu menghidupkan/mengelolanya. Bagi fakir miskin, Khilafah menjamin distribusi zakat untuk delapan golongan (ashnaf) serta memberikan santunan dari baitulmal.
Terwujudnya kemerdekaan hakiki melalui tegaknya Khilafah membutuhkan aktivitas yang mengakomodasi perubahan hakiki. Saat ini sudah ada geliat perubahan di tengah masyarakat, seperti fenomena bendera One Piece, juga aksi massa fenomenal di Pati, Jawa Tengah. Namun, hal itu masih sekadar sikap kritis terhadap kezaliman dan belum menyentuh akar permasalahan, yaitu keberadaan sistem kapitalisme. Untuk itu, cita-cita perubahan hakiki memerlukan kehadiran jemaah dakwah Islam ideologis yang akan membina, mengantarkan, membebaskan, dan memimpin umat untuk bangkit dari sistem kufur yang menjajah menuju Islam kafah yang memerdekakan.
Wallahualam bissawab