Program Sekolah Rakyat sudah mulai berjalan. Presiden RI Prabowo Subianto meluncurkan program ini sebagai salah satu upaya memutus rantai kemiskinan. Sekolah Rakyat diharapkan menjadi langkah strategis untuk memberikan akses pendidikan berkualitas kepada anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Sekolah Rakyat hadir dengan tiga prinsip, yaitu memuliakan wong cilik, menjangkau yang belum terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin. (Kompas.com/ 21 July 2025)
Berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat 227.000 anak usia sekolah dasar (SD) di Indonesia yang belum pernah sekolah atau putus sekolah. Juga ada 499.000 anak usia sekolah menengah pertama (SMP) dan 3,4 juta anak usia sekolah menengah atas (SMA) yang putus sekolah. (Kompas.com/21 july 2025)
Pemerintah menjaring peserta Sekolah Rakyat dari keluarga miskin dan miskin ekstrem berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Per 14 Juli 2025, ada 63 Sekolah Rakyat yang beroperasi. Sisanya, 37 sekolah akan dibuka pada Agustus 2025. Saat ini sudah ada 9.705 anak yang belajar di Sekolah Rakyat. Mereka tinggal di asrama dan mendapatkan fasilitas berupa seragam, sepatu, makanan, perlengkapan mandi, pemeriksaan kesehatan, dan pemetaan bakat.(Pikiran Rakyat.com/17 July 2025)
Berbagai catatan kritis dialamatkan pada program Sekolah Rakyat. Yang pertama, keberadaan program ini dianggap bertentangan dengan konsep pendidikan inklusif karena anak-anak dari keluarga miskin dikumpulkan jadi satu di Sekolah Rakyat, tidak membaur dengan anak-anak lainnya. Seharusnya anak dari berbagai latar belakang ekonomi bisa mengakses pendidikan di sekolah yang sama, tidak perlu dibeda-bedakan.
Kedua, Sekolah Rakyat diluncurkan pada saat banyak sekolah negeri kekurangan murid hingga hanya menerima satu atau dua murid baru. Alih-alih disekolahkan di sekolah negeri sebagai solusi kekurangan murid, anak-anak dari keluarga miskin justru dimasukkan Sekolah Rakyat.
Ketiga, penyelenggara Sekolah Rakyat adalah Kementerian Sosial, hal ini bertentangan dengan sistem pendidikan nasional yang seharusnya satu pintu.
Keempat, anggaran tidak proporsional dan integratif. Anggaran Sekolah Rakyat mencapai Rp5 triliun untuk 50 ribu siswa, yaitu hanya mencakup 0,1 persen dari total siswa yang mencapai 50 juta.
Benarkah Pengentasan Kemiskinan
Peluncuran Sekolah Rakyat terkait erat dengan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, realitas menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, yaitu terjadi karena pemberlakuan sistem kapitalisme. Yang terjadi adalah pemiskinan struktural melalui penyerahan kekayaan alam oleh negara pada korporasi sehingga rakyat tidak bisa menikmatinya.
Karena kekayaan alam dikuasai asing, pemerintah kapitalistik menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Akibatnya, rakyat makin menderita. Sudahlah susah mencari penghidupan, masih juga dibebani pajak tinggi. Jadi, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di Indonesia, pemiskinan struktural akan terus terjadi dan akses pendidikan akan selalu sulit.
Sekolah Rakyat juga diharapkan menjadi solusi atas tingginya angka pengangguran. Namun, harapan ini akan bertabrakan dengan realitas bahwa justru banyak kebijakan pemerintah yang menyebabkan pengangguran meningkat. Pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja dan justru banyak terjadi PHK akibat minimnya dukungan pemerintah terhadap industri dalam negeri. Akibatnya, lulusan SMA/SMK maupun kampus banyak yang menganggur.
Tampak bahwa Sekolah Rakyat hanya kebijakan populis yang bersifat tambal sulam, tidak efektif menyelesaikan sengkarut dunia pendidikan. Program ini sama saja dengan program populis lainnya, seperti Makan Bergizi Gratis yang tidak menyentuh akar masalah sebenarnya. Inilah kebijakan hasil sistem kapitalisme. Tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Oleh karenanya, kita butuh solusi dari luar kapitalisme, yaitu solusi Islam.
Sistem Islam Solusi Konkret
Persoalan mendasar terkait akses pendidikan oleh rakyat miskin adalah posisi pendidikan di dalam sistem yang berlaku. Kapitalisme memosisikan pendidikan sebagai komoditas sehingga hanya orang berduit yang bisa menikmatinya. Makin bagus kualitas pendidikan yang dikehendaki, makin besar biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan orang miskin yang tidak punya duit terpaksa tidak bisa mengakses pendidikan, atau bisa mengakses, tetapi ala kadarnya.
Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang memosisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw. bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”(HR Ibnu Majah).
Untuk melaksanakan kewajiban ini, negara wajib menyediakan layanan pendidikan bagi seluruh rakyat (yang kaya maupun miskin) secara gratis. Syekh Abu Yasin menjelaskan di dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah (Strategi Pendidikan Negara Khilafah) hlm. 9 bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang terdiri dari dua jenjang, yakni pendidikan dasar (ibtidaiah) dan pendidikan menengah (sanawiah). Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.
Di dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw. membebaskan tawanan Badar yang bisa membaca dan menulis dengan syarat mereka mau mengajarkan baca tulis pada umat Islam atau anak-anak ansar. Dalilnya adalah riwayat Ibnu Abbas, “Beberapa tawanan perang Badar ada yang tidak memiliki uang untuk tebusan maka Rasulullah menjadikan tebusannya dengan mengajar anak-anak ansar.”
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) menyediakan layanan pendidikan tidak ala kadarnya, tetapi dengan kualitas terbaik. Hal ini demi meraih tujuan pendidikan, yaitu pertama, membangun kepribadian islami, pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Pendidikan yang berkualitas ini terwujud dari kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam dan didukung pendanaan yang tidak terbatas dari baitumal. Negara menjamin pemenuhan seluruh biaya pendidikan, berapa pun yang dibutuhkan.
Baitumal memiliki sumber pemasukan dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Anggaran untuk pendidikan diperoleh dari pemasukan bagian pertama dan kedua, yakni fai dan kharaj serta pengelolaan kepemilikan umum.
Bagian pertama, fai dan kharaj meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, anfal, fai, dan khumus), kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah (pajak). Sedangkan bagian kedua, pemilikan umum meliputi seksi minyak dan gas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan dan mata air; hutan dan padang (rumput) gembalaan; dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Dengan demikian, sumber dana untuk pendidikan sangat besar sehingga negara tidak akan kekurangan anggaran untuk menyediakan pendidikan gratis berkualitas bagi seluruh rakyat.
Jika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan untuk pendidikan yang bersifat urgen, misalnya pembayaran gaji guru, negara akan memungut dharibah (pajak temporer) dari laki-laki dewasa muslim yang kaya. Sambil menunggu pemungutan dharibah, jika dana dibutuhkan segera, negara bisa melakukan pinjaman dana nonriba dari rakyat untuk kemudian dilunasi dari hasil pemungutan dharibah. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan dharibah dihentikan..
Selain menjamin layanan pendidikan gratis berkualitas bagi seluruh rakyat, negara juga mewujudkan kesejahteraan rakyat secara paripurna, yaitu dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keamanan). Semua ini hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam kafah di seluruh bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, pertanahan, dll. dalam institusi Khilafah. Hanya dalam sistem Islam (Khilafah) penguasa benar-benar berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai pelindung rakyat) sehingga kebutuhan pendidikan bisa terpenuhi secara paripurna. Dengan demikian, permasalahan akses pendidikan bisa diselesaikan secara konkret.
Wallahualam bissawab.