Lhokseumawe – Nama besar Palang Merah Indonesia (PMI) kini tercoreng di Aceh Utara. Sebuah isu memalukan menyeruak dari balik dinding Unit Donor Darah (UDD) PMI Aceh Utara dugaan pelecehan seksual yang melibatkan enam pekerja pria terhadap seorang pekerja wanita. Ahad (31 Agustus 2025).
Kasus ini bukan sekadar gosip murahan. Publik terbelalak ketika isu tersebut berhembus, apalagi jawaban resmi dari pihak terkait justru kian menambah bara kemarahan masyarakat.
Saat dikonfirmasi, dokter Nadya dari UDD PMI Aceh Utara hanya melemparkan kalimat singkat “Sudah diselesaikan secara kekeluargaan.” Namun, ketika diminta penjelasan lebih lanjut, ia memilih bungkam. Diam seribu bahasa.
Pernyataan yang terkesan enteng itu sontak membuat publik geram. Apakah pelecehan seksual sebuah tindakan serius yang menyentuh harga diri korban layak hanya diredam dengan kalimat “kekeluargaan”?
Pertanyaan Publik yang Menggantung:
1. Benarkah enam pekerja pria PMI Aceh Utara telah melecehkan rekan kerja wanitanya?
2. Apakah kasus ini pernah menyentuh meja aparat penegak hukum, atau justru dikubur hidup-hidup secara internal?
3. Jika benar, sanksi apa yang dijatuhkan? Atau para terduga pelaku masih bebas berkeliaran tanpa konsekuensi?
4. Bagaimana sebenarnya sikap resmi PMI Aceh Utara atas kasus yang mencoreng wajah lembaga kemanusiaan ini?
Citra PMI Dipertaruhkan
PMI bukanlah lembaga sembarangan. Ia berdiri atas nama kemanusiaan, menjadi garda terdepan dalam pelayanan publik. Namun, jika benar ada praktik pelecehan seksual di dalam tubuhnya, lalu ditutup dengan alasan “kekeluargaan”, publik berhak menilai: Apakah PMI masih layak dipercaya?
Skandal ini bukan hanya soal martabat seorang pekerja wanita yang diduga menjadi korban, melainkan juga soal integritas institusi kemanusiaan. Jika dibiarkan kabur tanpa transparansi, publik khawatir kasus ini akan menjadi preseden buruk bahwa pelecehan bisa dibungkam dengan kata manis bernama “damai kekeluargaan”.
Menunggu Sikap Tegas
Hingga kini, wartawan belum berhasil menghubungi terduga korban. Sementara itu, publik terus mendesak agar aparat penegak hukum turun tangan. Sebab, jika kasus ini benar adanya, diam sama artinya dengan berpihak pada pelaku.
Skandal PMI Aceh Utara kini bukan lagi sekadar isu internal, melainkan alarm bahaya bagi reputasi PMI nasional. Publik menunggu apakah PMI akan membuktikan diri sebagai lembaga yang berpihak pada kemanusiaan, atau justru menjadi organisasi yang menutup rapat aib di dalam tubuhnya sendiri? (A1)