Gertak Mobil Aceh, Biarkan Koruptor Sumut Berpesta: Pandangan Robert Mundir Syah


author photo

29 Sep 2025 - 09.49 WIB


Aceh --- Razia plat BL di Medan yang digagas Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, bukan sekadar penertiban pajak kendaraan. Bagi Aceh, ini bisa dibaca sebagai bentuk provokasi halus yang mengusik marwah daerah. Sebagai anggota DPRK Aceh Utara, saya, Robert Mundir Syah, melihat fenomena ini bukan masalah administratif semata, melainkan simbol politik yang salah alamat.

Plat BL bukan sekadar nomor polisi. Ia adalah identitas Aceh. Ia menandakan asal daerah, sejarah, dan harga diri masyarakat yang sejak dulu telah berjuang mempertahankan marwahnya. Ketika pemerintah provinsi tetangga, Sumut, melakukan razia terhadap mobil-mobil BL yang sah, seolah-olah orang Aceh adalah pencuri pajak yang merugikan Sumut. Ini bukan hanya salah alamat, tapi juga menyakitkan hati rakyat Aceh.

Mari kita telisik fakta yang sesungguhnya: APBN Regional Sumut 2024 defisit Rp28,38 triliun. Awal 2025 saja sudah minus Rp3,78 triliun, dan per April 2024 defisit tembus Rp8,30 triliun. Realisasi pendapatan Sumut tahun 2023 hanya 77,79% dari target, artinya ada potensi kebocoran lebih dari Rp8,6 triliun. Lalu, apakah defisit ini gara-gara mobil BL parkir di Medan? Tentu tidak. Defisit ini lahir dari manajemen fiskal yang lemah, pungutan pajak yang kacau, dan korupsi yang merajalela.

Kasus korupsi proyek di Sumut sudah menjadi rahasia umum. Proyek pembangunan jalan senilai Rp231,8 miliar diseret KPK karena permainan fee proyek. Direktur Dalihan Natolu Group bahkan mengaku membagi-bagikan Rp2 miliar kepada pejabat agar tender lancar. Belum lagi pemotongan Dana Desa di Padangsidimpuan, Sumut, yang merugikan negara Rp5,96 miliar. Itu semua uang rakyat Sumut sendiri, yang dirampok oleh pejabat Sumut sendiri.

Sementara itu, mobil-mobil BL Aceh yang melintas di Medan dianggap sebagai “ancaman” PAD. Ini adalah pengalihan isu yang sangat murahan. Pajak kendaraan Aceh tidak ada apa-apanya dibanding triliunan rupiah yang lenyap karena kebocoran fiskal dan korupsi pejabat Sumut. Lubang fiskal itu bukan digali oleh mobil BL, tetapi oleh tangan-tangan yang seharusnya bertanggung jawab atas PAD.

Yang ironis, orang Aceh justru ikut menopang ekonomi Medan. Setiap minggu ribuan warga Aceh berbelanja di pasar, mal, dan pusat perbelanjaan Medan. Rumah sakit di Medan penuh pasien asal Aceh yang membayar tunai. Kontrakan, kos-kosan, hotel, hingga kafe—semua hidup karena aliran uang dari Aceh. Miliaran hingga triliunan rupiah masuk ke ekonomi Medan setiap bulan. Lalu sekarang, mereka diperlakukan seperti pencuri pajak? Ini bukan sekadar ketidakadilan, tetapi penghinaan terhadap rakyat Aceh.

Razia plat BL jelas bukan solusi, melainkan panggung politik. Lebih mudah bagi Bobby Nasution untuk berteriak soal plat BL daripada mengurusi mafia tambang, korporasi raksasa, atau pejabat yang memakan fee proyek dan merampok PAD Sumut. Mobil Aceh dijadikan kambing hitam, karena Aceh dianggap target empuk.

Jika Bobby benar-benar ingin menegakkan ketertiban dan PAD, ia harus mulai dari rumah sendiri: bongkar mafia tambang, buka laporan setoran perusahaan perkebunan, tindak pejabat yang makan fee proyek. Itu baru pemimpin. Menggebuk mobil Aceh adalah aksi murah dan salah sasaran.

Razia ini juga berimplikasi pada marwah Aceh. Plat BL bukan sekadar identitas kendaraan, tapi simbol harga diri. Mengusik BL berarti mengusik Aceh. Jika Sumut ingin adil, mari bicara jujur: kenapa ribut soal BL, tapi diam ketika hasil migas Aceh di Arun, Blok B, dan perairan utara lebih banyak mengalir keluar ketimbang kembali ke rakyat Aceh? Kenapa pajak perusahaan besar yang beroperasi di Aceh justru tercatat di Jakarta atau Medan?

Aceh bukan pencuri pajak. Aceh adalah saudara yang ikut menghidupi Medan. Tapi jika terus diperlakukan sewenang-wenang, jangan salahkan rakyat Aceh bila suatu saat berpikir ulang: apakah masih perlu berbelanja di Medan atau lebih baik memutar roda ekonomi sendiri di Aceh?

Sebagai wakil rakyat Aceh Utara, saya menegaskan: pemerintah Aceh dan DPR harus bersuara tegas, mengirim nota protes resmi ke Pemprov Sumut. Ini bukan sekadar soal pajak, tapi soal harga diri dan marwah Aceh. Rakyat Aceh layak dihormati, bukan dijadikan kambing hitam untuk menutupi kegagalan tata kelola PAD di provinsi tetangga.

Razia plat BL mungkin terlihat kecil, tapi efeknya besar. Ia menyasar identitas, menyasar harga diri, dan menyasar solidaritas antarprovinsi. Jika Bobby Nasution serius ingin dihormati, urus dulu kebocoran raksasa di rumahnya sendiri. Jangan jadikan Aceh sebagai korban politik murahan dan sekadar alat pertunjukan.

Aceh telah cukup lama memberi kontribusi bagi Medan dan Sumut. Sekarang saatnya Sumut belajar menghormati Aceh. Jika tidak, jangan heran bila hubungan ekonomi dan sosial antar daerah mulai diuji oleh ketegangan yang bisa dihindari jika rasionalitas dan rasa hormat dikedepankan.

Razia mobil BL? Itu kecil. Lubang PAD yang bocor dan koruptor yang berpesta? Itu yang nyata. Bobby Nasution sebaiknya berhenti bermain politik murahan dan mulai bekerja untuk rakyat Sumut, bukan menyinggung marwah Aceh untuk pencitraan semu.(**)
Bagikan:
KOMENTAR