Publik Aceh patut bertanya, bagaimana mungkin dividen sebesar Rp88 miliar yang dihasilkan PT PGE—anak usaha PT Pembangunan Aceh (PEMA)—hanya tercatat Rp26,7 miliar yang masuk ke kas Pemerintah Aceh?
Perbedaan angka yang begitu mencolok ini jelas bukan sekadar kekeliruan administrasi. Ini persoalan serius yang menyangkut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Sebagai perusahaan daerah, PEMA seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi sekaligus penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, fakta yang terungkap dalam sidang paripurna DPR Aceh justru menunjukkan indikasi adanya aliran dana yang tidak jelas arah dan peruntukannya.
Jika benar Rp88 miliar yang dihasilkan “mengecil” menjadi hanya Rp26,7 miliar di kas pemerintah, maka rakyat Aceh jelas dirugikan.
Pertanyaan yang Harus Dijawab
1. Ke mana sisa Rp61,3 miliar itu mengalir?
2. Mengapa laporan keuangan tidak terbuka soal dividen sebenarnya?
3. Apakah ada praktik penyembunyian keuntungan yang mestinya menjadi hak rakyat Aceh?
Lebih parah lagi, PEMA saat ini memiliki 14 anak usaha, tetapi sebagian besar keberadaannya pun publik nyaris tidak tahu-menahu. Kondisi ini hanya memperkuat dugaan bahwa PEMA tidak dikelola dengan prinsip transparan dan akuntabel, melainkan berpotensi menjadi “pasar gelap” kepentingan tertentu.
Saatnya Audit Independen
Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh tidak boleh tinggal diam. Standar tata kelola perusahaan yang baik harus ditegakkan. Audit independen wajib dilakukan, bukan sekadar formalitas, melainkan untuk memastikan setiap rupiah dividen benar-benar masuk ke kas daerah.
Tanpa langkah tegas, PEMA hanya akan menjadi beban dan tempat bernaung para bandit berpenampilan necis, bukan aset strategis daerah.
Rakyat Aceh berhak tahu dan menuntut kejelasan. Dividen Rp88 miliar itu bukan angka kecil. Itu adalah hasil dari pengelolaan sumber daya yang seharusnya kembali kepada rakyat, bukan menguap entah ke mana.
Umar Membe
Mantan kombatan GAM Wilayah Pase