Oleh: Mutiara Putri Wardana
KPK membongkar kronologi kasus dugaan suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kaltim yang menyeret beberapa pejabat pemerintah. Ketua Kadin Kaltim (almarhum ayahnya mantan gubernur juga tersangka tapi dihentikan karena meninggal), Eks Kadistamben (berinisial Amr) bahkan selain IUP, dia tambahan kasus dugaan tipikor yang diusut oleh Kejati Kaltim. Selanjutnya bos tambang dari 6 perusahaan. (https://kaltim.tribunnews.com/tribun-etam/1116078/tak-hanya-donna-faroek-dan-rudy-ong-dalam-korupsi-izin-iup-tambang-eks-kadistamben-kaltim-terseret)
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, kini seolah menjadi hal yang lumrah. Dari tahun ke tahun, daftar nama pejabat yang tersandung kasus korupsi terus bertambah, seakan korupsi sudah menjadi budaya yang menggurita. Rakyat pun sebenarnya sudah muak melihat fenomena ini, namun setiap kali hanya berujung pada pergantian orang, bukan pergantian sistem. Persoalan utamanya bukan sekadar siapa yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan sistem yang memungkinkan praktik korupsi tetap hidup subur.
Akar masalahnya terletak pada sistem kapitalisme yang saat ini menjadi fondasi kehidupan bernegara. Dalam sistem ini, orientasi hidup seseorang bertumpu pada materi semata, bukan lagi pada standar halal dan haram. Jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyat, melainkan sebagai peluang emas untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Inilah mengapa banyak pejabat yang rela menghalalkan segala cara demi meraih dan mempertahankan jabatan.
Korupsi semakin menggila karena sistem demokrasi kapitalistik ini juga gagal memberikan efek jera. Hukuman bagi koruptor sering kali tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, bahkan tidak jarang mereka justru bisa hidup nyaman di balik jeruji. Berbagai regulasi pun justru membuka celah korupsi. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, misalnya, tak kunjung disahkan, sementara komitmen penguasa untuk memberantas korupsi terkesan setengah hati. Alih-alih menutup celah, regulasi yang ada justru memudahkan para koruptor untuk lolos dan mengulangi perbuatannya.
Dalam Islam, motivasi menjadi penguasa bukanlah untuk mencari kekayaan ataupun kehormatan duniawi, melainkan semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. dengan mengurus urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
"Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR. Abu Dawud).
Artinya, jabatan adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan, bukan peluang untuk memperkaya diri. Penguasa dalam Islam wajib kapabel dan amanah, karena tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Allah SWT. kelak.
Memberantas korupsi pun tidak cukup dengan tambal sulam regulasi, melainkan hanya mungkin dengan penerapan Islam kaffah. Islam memiliki pilar yang kokoh dan support system yang menyeluruh. Salah satunya adalah sistem sanksi yang bersifat jawabir (menebus dosa pelaku di akhirat) dan jawazir (memberi efek jera bagi masyarakat).
Dalam sistem Islam, pejabat pemerintah tidak menerima gaji besar sebagaimana praktik dalam sistem kapitalisme-demokrasi hari ini. Mereka hanya diberi tunjangan sesuai kebutuhan hidup yang wajar. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, dan kami beri upah, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah ghulul (harta haram)." (HR. Abu Dawud).
Keteladanan para khalifah juga menjadi bukti nyata bagaimana sistem Islam menutup peluang korupsi. Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, hidup dalam kesederhanaan meski memimpin wilayah yang sangat luas. Ia bahkan pernah ditegur karena mengambil dua helai kain dari baitul mal, hingga kemudian menjelaskan bahwa satu helai berasal dari jatah putranya. Hal ini menunjukkan transparansi dan akuntabilitas yang ketat, sehingga sulit bagi pejabat untuk menyalahgunakan jabatan.
Demikian pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sangat zuhud. Ia pernah mematikan lampu minyak milik negara ketika berbicara urusan pribadi, lalu menyalakan lampu miliknya sendiri. Sikap ini menunjukkan bahwa amanah kekuasaan dalam Islam benar-benar dijalankan dengan kesadaran penuh bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Dengan demikian, jelaslah bahwa korupsi tidak akan bisa diberantas selama sistem kapitalis-demokrasi tetap dijadikan landasan. Solusi sejati hanyalah dengan kembali pada Islam kaffah, yang menempatkan kekuasaan sebagai amanah, menerapkan sanksi yang adil, serta membangun keteladanan penguasa dan pejabatnya. Inilah jalan yang terbukti dalam sejarah mampu mencetak pemimpin jujur, rakyat sejahtera, dan peradaban mulia.
Wallahu a’lam bish-shawab.