Oleh: Indah Sari, S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)
Sering kali publik hanya mengetahui gaji pokok anggota DPR, tanpa menyadari bahwa mayoritas penghasilan mereka berasal dari berbagai tunjangan yang bisa mencapai Rp100 juta per bulan. Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar menyatakan perbedaan penerimaan para anggota DPR periode lalu dengan saat ini karena adanya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Kebijakan tunjangan rumah yang berdasarkan surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 ini mendapat kritik dan ditolak banyak pihak. (BBC News Indonesia, (19/08/2025)
Besaran penghasilan ini terungkap ketika anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi pertanyaan mengenai sulitnya mencari uang yang halal di parlemen. Hasanuddin kemudian membuka penghasilan resmi yang diterimanya melalui gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya yang melebihi Rp100 juta.
Adapun rincian tunjungan yang didapatkan setiap bulannya. Gaji pokok kurang lebih Rp7 juta, dan kenaikan tunjungan seperti tunjangan beras naik menjadi Rp12 juta dari Rp10 juta, tunjangan transportasi (bensin) menjadi Rp7 juta dari Rp4-5 juta. (Detiknews, 19/08/2025)
Adies menjelaskan anggota dewan periode 2024-2029 tidak lagi mendapatkan rumah jabatan. Sehingga, sebagai gantinya, setiap anggota dewan mendapatkan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan.
Tiap-tiap anggota DPR juga mendapatkan tunjangan sami/istri 10% dari gaji pokok, tunjangan anak sebesar 2% dari gaji pokok maksimal dua anak. Perhitungan itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000 dan Surat Edaran (SE) Setjen DPR tahun 2010.
Selain itu masih terdapat tunjangan jabatan Rp9 juta, tunjangan PPh Pasal 21: kurang lebih Rp2 juta, tunjangan kehormatan Rp5 juta, tunjangan komunikasi Rp15 juta, tunjangan fungsi pengawasan dan anggaran Rp3 juta, termasuk uang sidang/piket Rp2 juta. Dengan komponen gaji dan tunjangan tersebut maka setiap anggota DPR bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp90-100 juta per bulan. Jumlah penghasilan anggota DPR semakin besar jika terlibat dalam banyak persidangan. (Nasional Kontan, 21/08/2025)
Budaya Boros dalam Sistem Kapitalisme
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi upaya pengalihan rumah jabatan anggota (RJA) DPR RI periode 2024-2029 itu menjadi tunjangan perumahan. ICW menilai, langkah itu akan mempersulit pengawasan yang pada akhirnya tidak hanya berdampak pada pemborosan anggaran, tetapi juga potensi penyalahgunaan.
Ditengah persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat dapat ditotal pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar Rp1,36—2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Terlebih tunjangan tersebut ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan.
Sungguh miris akan kebijakan ini sebab masih banyak masyarakat sampai hari ini belum memiliki tempat tinggal, bahkan ada yang harus tidur depan ruko beralaskan tikar dari kardus. Masih banyak kepala keluarga yang memiliki keinginan rumah yang layak bagi keluargan namun, masih tetap tinggal di rumah yang atap bocor dan dinding mudah rapuh.
Sistem kapitalisme telah menjadikan harta sebagai standar kebahagiaan sehingga melahirkan para pejabat yang tamak akan harta. Perilaku aji mumpung pun tidak kalah membudaya. Mumpung menjabat dan berkuasa, sehingga ada upaya memperkaya diri dan keluarga, termasuk mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas. Mirisnya lagi mereka bersikap acuh dengan kondisi rakyat, termasuk persoalan halal-haram.
Inilah salah satu upaya mengembalikan dana yang dikucurkan, mahalnya biaya demokrasi tampak pada setiap tahap pelaksanaan. Untuk menjadi seorang caleg, harus menyediakan dana yang besar untuk mendapat kursi pada salah satu parpol. Ditambah praktik jual beli suara (money politic) yang digadang bisa mencapai miliaran.
Hingga munculnya tren pamer kekayaan para pejabat dan keluarganya sehingga bisa dikatakan politik hari ini menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Maka tidak heran jika terjadi kesenjangan sosial antara masyarakat dan pejabat dalam sistem demokrasi. Disatu sisi ada yang sangat kaya disisi lain ada yang untuk makan saja tidak bisa.
Kekuasaan dalam Sistem Islam
Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Jabatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengaturan urusan umat, mengandung tanggung jawab yang makin besar. Pernah suatu ketika Abu Dzar al-Ghifari ra. meminta kepada Rasulullah saw. agar diberi jabatan, Rasul pun bersabda,
“Wahai Abu Dzar, sungguh engkau lemah. Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah, dan sungguh ia menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.” (HR Muslim).
Seorang pejabat dalam Islam diangkat dan dipilih untuk melayani dan mengurusi umat, bukan sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam ketaatan sekaligus teladan terbaik dalam kezuhudan. Mereka adalah orang yang pertama merasakan kelaparan dan yang terakhir merasakan kenyang.
Dalam Khilafah terdapat struktur bernama Majelis Umat, yaitu majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan.
Adapun penetapan tunjangan bagi penguasa dalam Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme. Kesederhanaan hidup para pejabat pada masa Kekhilafah Islam bukan berarti negara gagal memberikan kesejahteraan. Sejatinya, itulah bukti dari kekuatan karakter seorang muslim yang cinta dunia. Bagi mereka, standar kebahagiaannya yakni mendapatkan keridhaan Allah.
Khilafah memberikan perhatian yang besar bagi terpenuhinya kebutuhan hidup para pejabatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah (dinikahkan); jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barangsiapa mengambil selainnya (untuk diri sendiri), itulah kecurangan (ghulul).” (HR Ahmad, disahihkan Syeikh Ahmad Syakir).
Pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid, Kharaj (pajak hasil bumi) merupakan bagian pemasukan baitulmal terbesar. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Islam, banyak kharaj dari daerah-daerah Islam yang berdatangan ke Baghdad. Sebagian pakar sejarah memperkirakan kekayaan kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad saja mencapai empat ratus juta dirham dan semuanya masuk ke baitulmal yang dijaga oleh khalifah.
Para hakim, wali kota, dan pejabat negara hanya fokus melaksanakan tugas sebaik-baiknya tanpa berpikir untuk mencari tambahan penghasilan, karena seluruh tunjangan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya telah dipenuhi oleh negara, tidak lebih dari itu. Hal ini karena kebijakan Khalifah Harun ar-Rasyid yang me-riayah seluruh warga, siapa pun ia, dan apa pun kedudukannya, tentu sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Pada masa Abu Bakar ia hanya mengambil sedikit dari gajinya, sekadar cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang sangat sederhana. Sekadar mencukupi kebutuhan pokok beliau dan keluarganya. Bahkan ketika wafat, beliau mewasiatkan agar sapi perah, selimut, dan mangkuk milik negara dikembalikan ke Baitul Mal.
Pada masa Umar sebagai kepala negara hanya mengambil tunjangan sebagaimana kebutuhan orang biasa. Umar meminta para sahabat untuk menilai berapa tunjangan yang pantas untuk dirinya. Diputuskan bahwa gajinya hanya cukup untuk makan roti dan minyak zaitun. Umar menolak menerima makanan mewah dari gubernur atau bawahannya, bahkan ketika putranya menyalahgunakan fasilitas negara, Umar tidak segan menghukumnya. Serta gubernur atau pejabat yang terlihat kaya akan diaudit hartanya. Jika tidak masuk akal, kelebihan hartanya akan diambil untuk negara.
Pada masa Utsman tidak mengambil gaji dari Baitul Mal, karena kekayaannya dari hasil bisnis sudah sangat cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Ia menafkahi istri dan anak-anaknya, serta orang di sekelilingnya dengan uang pribadinya.
Pada masa kepemimpinan Ali Hidup sangat sederhana. Pakaiannya tambalan, makannya sangat biasa. Beliau berkata: "Apakah pantas aku memenuhi perutku dengan makanan lezat, sedangkan di negeri Islam masih ada rakyat yang lapar?" Sehingga gajinya sama seperti rakyat biasa, hanya cukup untuk keperluan pokok.
Melihat teladan dari para penguasa dalam sistem Islam tentu sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Gaji pokok masih belum cukup ditambah tunjungan berkali lipat. Pada masa kekhilafahan para penguasa hanya berfokus pada tanggung jawabnya dan tidak diperkenankan memiliki pekerjaan atau usaha yang akan membuat mereka lalai dari amanahnya. Sehingga, sistem Islam sangat memperhatikan para penguasa dengan memberikan tunjangan sesuai dengan kebutuhan dasar dan kebutuhan keluarganya yang pas, wajar dan tidak berlebihan dan bergelimang harta sebagaimana sistem kapitalisme.
Rakyat harus menyadari bahwa sistem sekuler telah memisahkan agama dari politik, sehingga menghasilkan pemimpin yang tidak merasa wajib takut kepada Allah dalam urusan publik. Termasuk penetapan tunjangan fantastis jadi simbol kedekatan pada kekuasaan, bukan pelayanan pada rakyat.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya amanah itu adalah penyesalan dan kehinaan di akhirat, kecuali bagi orang yang menunaikannya dengan benar.” (HR. Muslim)
Wallahualam bissawab