Keracunan MBG Massal, Akibat Negara Abai


author photo

5 Sep 2025 - 21.01 WIB


Keracunan MBG kembali terjadi di berbagai daerah. Berdasarkan perkembangan kasus hingga 9 Mei 2025, tercatat 210 orang diduga keracunan akibat mengonsumsi MBG di kota Bogor. Jumlah tersebut merupakan korban dari delapan sekolah diantaranya 34 orang menjalani rawat inap, 47 orang menjalani rawat jalan dan 129 orang mengalami keluhan ringan. Sejak Januari 2025, sejumlah kasus keracunan massal mewarnai pelaksanaan program MBG yang menjadi program prioritas pemerintahan Prabowo Subianto.
Program MBG sedianya bertujuan untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak - anak. Hanya saja, dalam pelaksanaanya pemerintah telah melupakan hal penting dari program MBG yakni kualitas makanan yang dimasak benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan anak-anak. Diantara sebab keracunan tersebut kebanyakan berasal dari makanan yang kurang higienis dan basi.

Banyaknya kasus keracunan massal adalah bukti pemerintah mengabaikan poin penting tersebut. Dari sini lahirlah ide untuk mengasuransikan program MBG. Belum selesai urusan keracunan dan dapur MBG yang bermasalah kini muncul ide mengasuransikan MBG untuk mengurangi potensi risiko keracunan bagi penerima MBG. Ini artinya peran negara dari sisi kontrol, pengawasan dan penjamin gizi rakyat patut dipersoalkan. Padahal tiga tugas penting tersebut adalah wewenang dan kewajiban negara, tetapi pemerintah malah membuka peluang pihak ketiga dalam memjalankan program ini.

Patut diduga ada bisnis gurih dibalik program makan gizi gratis.
Melihat potensi bisnis yang cukup menggiurkan, berharap bukan hanya menjamin gizi anak - anak, tetapi juga membuka peluang Industrialisasi agrikultur di tanah air.
MBG telah menjadi program prioritas hingga membuat anggaran negara di sektor lain harus dipangkas dari program ini. Saking prioritasnya kritik dan masukan yang mengiringi pelaksanaan program ini seakan tidak mempengaruhi keputusan pemerintah. Keracunan massal di anggap hanyalah "bumbu pemanis" sebagai risiko program baru yang dicanangkan. Bahkan presiden menyebut korban keracunan hanyalah sebagian kecil orang di bandingkan dengan jutaan penerima MBG. Mungkin dimata penguasa, ratusan korban keracunan MBG adalah kewajaran yang dianggap biasa saja, padahal peristiwa keracunan massal sudah berulang terjadi. Ini artinya program MBG harus dievaluasi dan ditinjau ulang demi keselamatan dan keamanan anak-anak.

Ada hubungan mutualisme yang terjadi antara penguasa dan pihak asuransi. Negara hanya berperan sebagai regulator dan pihak asuransi memperoleh profit dari dana MBG yang di setorkan unruk tiap anak. Meski sumber dana MBG dari APBN, siapa lagi yang akan menanggung beban biaya MBG jika bukan rakyat? Agar pemasukan negara bertambah, negara menarik uang rakyat melalui pajak dan berbagai tarif. Namun, aneka tarikan pajak tersebut tidak berbanding lurus dengan pelayanan publik yang seharusnya di rasakan masyarakat. Beginilah jika MBG tidak steril dari unsur bisnis. Industrialisasi pangan dan gizi di legalisasi melalui kebijakan negara bernama MBG. Alhasil kualitas pangan dan gizi anak terabaikan, pengawasan program tidak berjalan dan lag - lagi Kapitalis yang di untungkan. Negara dalam konsep Sistem Kapitalisme tidak akan bisa melakukan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat karena kebijakannya tersandera oleh banyak kepentingan, terutama kepentingan pemilik modal.

Dalam Sistem Islam setiap kebijakan mengacu pada Syariat Islam, semata-mata untuk kemaslahatan rakyat sehingga akan menutup celah bagi individu atau swasta meraih keuntungan. Sistem Islam juga tidak akan membiarkan program untuk rakyat beraroma bisnis. Semua kebijakan negara harus mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Islam mampu menjamin kesejahteraan semua rakyatnya karena memiliki sumber pemasukan yang besar sesuai ketentuan Syara di kelola dengan Sistem ekonomi Islam. Dengan jaminan kesejahteraan Sistem Islam disertai edukasi tentang gizi maka kasus Stunting akan dapat dicegah lainnya.
Bagikan:
KOMENTAR