Masalah pengangguran terus menjadi perhatian besar belakangan ini. Konteks beritanya sudah bukan kelas regional, melainkan global. Beberapa negara yang disebut-sebut mengalami krisis tenaga kerja diantaranya Inggris, Prancis, Amerika, Cina dan Indonesia. Tingginya angka pengangguran di negara-negara tersebut telah memicu reaksi dan aksi protes, khususnya di kalangan muda. Bahkan di Cina telah muncul perusahaan jasa yang menawarkan "kerja fiktif" bagi anak muda yang ingin hidup santai tanpa tekanan namun tetap ingin dianggap produktif. Mereka berpura-pura bekerja dengan fasilitas sebagaimana layaknya kantor. Bahkan mereka rela membayar perusahaan jasa tersebut sebesar 30 Yuan (sekitar Rp 68.000) per hari demi sebuah pengakuan semata. (CNBC Indonesia, 17/08/2025)
Sedangkan di Indonesia, menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) anak muda Indonesia pada Februari 2025 mencapai 16,16%. Bahkan menurut IMF, dalam World Economic Outlook April 2025 tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5% pada 2025 yang menjadikan Indonesia berada di peringkat kedua di Asia dan pertama di Asia Tenggara dengan pengangguran tertinggi. (tempo.co, 22/05/2025)
Tingginya angka pengangguran di berbagai negara menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme yang diusung oleh negara-negara di dunia saat ini. Beberapa fakta menunjukkan hal itu. Diantaranya adalah meniadakan peran negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat nya. Negara lebih memprioritaskan teknologi otomatisasi sehingga yang lebih banyak digunakan adalah tenaga kerja mesin dibanding tenaga manusia. Sehingga berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Di Indonesia sendiri, program-program seperti job fair hanyalah tameng bagi negara untuk menutupi kelemahan dalam penyelenggaraan lapangan pekerjaan. Hadirnya sekolah-sekolah vokasi juga tidak banyak memberikan harapan nyata bagi generasi muda karena faktanya lapangan pekerjaannya yang sulit.
Sementara itu, kapitalisme telah menjadikan dominasi korporatoktasi di dunia ini. Alhasil hampir seluruh kekayaan di dunia ini hanya beredar pada segelintir manusia atau komunitas saja. Atas nama liberisasi ekonomi, maka kekayaan alam di banyak negara bisa diperjual belikan sesuka hati oleh dan kepada para pemilik modal, hal ini juga terjadi di Indonesia. Rakyat dipaksa mandiri memenuhi kebutuhan hidup mereka sementara negara berlepas tangan dari tanggung jawab mengurus rakyat.
Hal ini berbeda dengan konsep kepemimpinan yang diselenggarakan dalam sistem negara khilafah, dimana negaranya berasaskan akidah Islam. Khilafah Islam akan menaungi negara-negara di dunia tanpa dibatasi oleh perbedaan agama, suku dan lain sebagainya, untuk menetapkan aturan yang bersumber dari sang Pencipta, yakni Allah SWT. Dalam negara khilafah, seorang pemimpin akan bertanggung jawab merealisasikan politik ekonomi Islam, yakni menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang luas bagi para laki-laki dewasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Begitupula dengan pendidikan, wajib bagi negara menyediakannya secara gratis bagi rakyat. Karena tujuan pendidikan dalam Islam mencetak peserta didik yang berkepribadian Islam serta menguasai berbagai ilmu terapan dan teknologi, maka di manapun seseorang berada, ilmunya akan bisa bermanfaat.
Begitu juga dengan sektor industri dan pertanian, perluasan lahan dan pengembangan alat-alat industri semua diperuntukkan bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sementara sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum akan dikelola secara mandiri oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat, karena di dalam Islam haram hukumnya menguasai harta milik umum apalagi sampai diserahkan kepada pihak asing atau diswastanisasi. Itulah sebagian pengaturan sistem Islam yang diterapkan dalam negara khilafah. Jika khilafah tegak maka akan semakin mudah bagi pemimpinnya untuk menerapkan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh).