Oleh: Sarah Ainun
Di era media sosial, manusia hidup dalam dunia yang penuh dengan notifikasi. Setiap hari kita dihujani pesan instan, banjir unggahan di Instagram, hingga aliran video pendek di TikTok. Seakan-akan semua orang terkoneksi, semua orang hadir dalam ruang digital yang tak pernah tidur. Namun, di balik keramaian itu, ada realitas yang justru ironis: semakin banyak orang merasa kesepian.
Fenomena ini tidak sekadar anekdot atau perasaan pribadi belaka. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bahkan meneliti hal ini melalui riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.
” Mereka menemukan bahwa dunia digital menciptakan hiperrealitas, di mana representasi audiovisual di media sosial kerap lebih terasa nyata dibanding realitas itu sendiri. Akibatnya, emosi yang dibentuk oleh media bisa memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang lebih dalam daripada interaksi sehari-hari (detikedu, 18/09/2025).
Maka, pertanyaan penting pun muncul: apakah kita benar-benar terkoneksi, atau justru semakin terasing?
Ilusi Koneksi, Realitas Kesepian
Meski media sosial menjanjikan “kedekatan tanpa batas”, kenyataannya justru banyak orang mengeluh kesepian. Generasi Z, yang disebut sebagai “digital natives”, adalah kelompok yang paling terdampak.
Survei internasional menunjukkan bahwa Gen Z termasuk generasi paling merasa terisolasi, penuh rasa insecure, bahkan mengalami masalah kesehatan mental.
Kesepian digital ini tidak berhenti pada individu. Ia juga menggerus relasi paling mendasar dalam hidup manusia: keluarga. Makan bersama di meja makan sering tergantikan oleh masing-masing anggota keluarga yang sibuk menatap layar.
Percakapan hangat berubah menjadi hening yang hanya diisi oleh suara ketikan jari. Dengan kata lain, orang bisa sangat aktif di dunia maya, tetapi miskin interaksi nyata.
Inilah wajah nyata dari lonely in the crowd—kesepian di tengah keramaian digital.
Akar Masalah dan Dampak Sosial
Sering kali masalah kesepian digital disederhanakan sebagai kurangnya literasi media atau manajemen waktu penggunaan gawai. Namun, persoalannya jauh lebih dalam. Kesepian yang dialami generasi hari ini adalah hasil dari sistem sekuler-liberal yang melahirkan industri digital berbasis kapitalisme.
Industri media sosial dibangun dengan logika attention economy, yakni menjadikan perhatian manusia sebagai komoditas. Setiap detik tatapan mata di layar adalah keuntungan miliaran bagi korporasi.
Karena itu, algoritma dirancang bukan untuk mendidik atau memperkuat ikatan sosial, melainkan untuk membuat pengguna betah berlama-lama, terjebak dalam banjir konten.
Akibatnya, dunia digital memang terasa “ramai” tetapi interaksi yang terjadi bersifat dangkal, instan, dan artifisial. Hubungan antarmanusia direduksi menjadi sekadar klik, like, atau komentar.
Dalam jangka panjang, arus kapitalisme digital ini menimbulkan dampak sosial yang serius: manusia menjadi asosial. Pertama, masyarakat semakin kesulitan membangun kedekatan nyata. Pertemuan tatap muka dianggap melelahkan atau tidak penting.
Kedua, dalam keluarga, ikatan emosional antaranggota menjadi renggang. Anak-anak lebih mengenal “influencer” favorit di TikTok daripada mendengarkan cerita orang tuanya.
Ketiga, hubungan sosial dalam masyarakat pun melemah; kepedulian pada lingkungan sekitar menurun drastis.
Dengan kata lain, media sosial yang seharusnya menjadi sarana memperkuat ikatan justru memperparah isolasi.
Lebih jauh, fenomena kesepian digital ini melahirkan generasi yang rapuh. Gen Z, yang sejatinya memiliki potensi besar dalam kreativitas dan produktivitas, justru terjebak dalam lingkaran kesepian, self-centeredness, dan konsumsi hiburan yang dangkal.
Padahal, generasi muda adalah tulang punggung peradaban. Jika mereka kehilangan arah, melemah mentalnya, dan teralienasi (tersingkir/terbuang/tersisih) dari realitas umat, maka masa depan masyarakat pun menjadi suram. Energi yang seharusnya diarahkan untuk membangun solusi bagi problem bangsa malah habis untuk menggulir layar tanpa akhir.
Kesepian ini pada akhirnya bukan hanya persoalan pribadi, melainkan kerugian kolektif bagi umat.
Islam Sebagai Jalan Keluar
Langkah pertama adalah kesadaran individu bahwa media sosial bukan sekadar hiburan yang netral. Ia adalah ruang yang bisa menjebak, mengasingkan, dan merusak relasi manusia.
Karena itu, masyarakat perlu mengelola penggunaannya dengan bijak, tidak membiarkan diri hanyut dalam banjir hiperrealitas yang dangkal.
Islam menawarkan solusi mendasar. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya ukhuwah, saling menolong, dan berinteraksi secara nyata. Al-Qur’an bahkan mengingatkan:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (QS. Ali Imran: 103).
Ayat ini menegaskan bahwa ikatan yang kokoh bukan dibangun di atas like atau follow, melainkan pada kesadaran iman dan ukhuwah yang nyata. Dengan menjadikan Islam sebagai identitas utama, masyarakat tidak akan larut menjadi korban sistem sekuler-liberal yang individualistik.
Namun, kesadaran individu saja tidak cukup. Negara memiliki peran strategis untuk mengatur dan mengendalikan pemanfaatan dunia digital. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban menjaga masyarakat dari kerusakan moral dan sosial yang diakibatkan arus kapitalisme.
Negara seharusnya: membatasi dominasi industri digital kapitalis yang merusak generasi, mengarahkan teknologi untuk mendukung produktivitas, pendidikan, dan kepedulian sosial, serta menyediakan ruang-ruang interaksi nyata bagi generasi muda agar potensi mereka berkembang optimal.
Dengan begitu, media sosial bisa ditempatkan pada posisi yang benar: sekadar alat bantu, bukan penentu arah hidup manusia.
Dari Kesepian Menuju Kebangkitan
Fenomena lonely in the crowd menunjukkan bahwa manusia modern tidak otomatis bahagia hanya karena dikelilingi oleh koneksi digital. Bahkan, semakin terkoneksi secara maya, semakin besar pula risiko terjebak dalam kesepian yang sunyi.
Ini bukan persoalan sepele. Kesepian digital telah menggerus ikatan keluarga, melemahkan produktivitas generasi muda, dan mengikis kepedulian umat. Jika dibiarkan, ia akan melahirkan generasi lemah yang kehilangan arah.
Islam menawarkan jalan keluar yang jelas: memperkuat ukhuwah, menjadikan iman sebagai ikatan utama, serta menempatkan negara sebagai pengatur pemanfaatan teknologi demi kemaslahatan umat.
Hanya dengan cara ini masyarakat bisa keluar dari kesepian digital dan kembali menemukan makna sejati dalam kebersamaan. Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita jawab adalah: apakah kita akan terus menjadi korban kesepian dalam keramaian digital, atau memilih jalan Islam yang menyelamatkan?
Wallahu a'lam bishawab