Menakar Posisi Pajak Dalam Islam


author photo

6 Sep 2025 - 02.59 WIB



Oleh: Sarini (Pemerhati sosial)

Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) di Balikpapan,Kalimantan Timur terbilang cukup tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Maha Sakti Esa Jaya,ketua cabang GMNI Balikpapan bahwa kenaikan PBB-P2 setiap orang berbeda-beda. Salah satu warga dari kelurahan Karang Joang yang memiliki sebidang tanah 1 hektar,tahun ini dikenai pembayaran sekitar Rp 9,2 juta naik sekitar sekitar 3000% dibandingkan tahun lalu sekitar RP 306 ribu.

Walaupun Pemkot Balikpapan melakukan penundaan dan memberikan stimulus dengan pengurangan PBB-P2 hingga 90% dari ketetapan pokok. Tetap kebijakan tersebut menimbulkan kritik keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang mana mereka menilai langkah pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil. Apalagi kenaikan pajak makin memberikan beban pada rakyat ketika tidak dibarengi dengan kesejahteraan yang layak.

Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Untuk itu, warga negara akan mendapatkan kompensasi secara tidak langsung dalam bentuk hasil-hasil pembangunan dan pembiayaan untuk kepentingan umum yang menjadi prioritas negara.

Dalam sistem kapitalisme, pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. BPS 2024 mencatat ada 82,4% disumbang dari Pajak dan sisanya dari non Pajak. Padahal Indonesia memiliki kekayaan SDAE yang besar tetapi tidak jadi tumpuan pendapatan negara. Pemerintah justru selalu mencari objek pajak baru, misalnya pajak hiburan,pajak karbon,rumah ketiga dan lain sebagainya. Sementara itu, pajak lama seperti PBB dinaikkan berkali-kali lipat. Ironisnya, di saat rakyat makin dicekik, sumber daya alam (SDA) justru diserahkan kepada swasta maupun asing.

Kondisi ini membuat rakyat makin terhimpit dan jatuh ke jurang kemiskinan. Sebaliknya, para kapitalis semakin kaya karena memperoleh fasilitas dan regulasi yang berpihak kepada mereka. Bahkan, kebijakan perpajakan justru sering menguntungkan kelompok pemilik modal, seperti dalam program tax amnesty.

Pajak dalam Pandangan Islam

Pajak dalam Islam berbeda dengan pajak yang ada pada sistem Kapitilisme. Pajak dalam Islam hanya dapat dipungut dari lelaki muslim yang kaya, bersifat temporer dan hanya diberlakukan ketika kas negara(Baitul Maal) kosong. 

Dalam Islam ada beberapa ketentuan-ketentuan sehingga negara menarik pajak:
1. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib Baitu Maal, semisal untuk fakir miskin,ibnu sabil,serta melaksanakan kewajiban jihad.
2. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran bagi Baitul Maal sebagai suatu kompensasi,semisal pengeluaran-pengeluaran untuk gaji para pegawai,gaji tentara dan sebagainya.
3. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib Baitul Maal demi keperluan dan kemanfaatan tertentu ,selain kompensasi,semisal pembukaan jalan-jalan;penggalian air;Pembangunan masjid,sekolah,rumah sakit;serta keperluan -keperluan lain yang keberadaannya dianggap sebagai masalah urgen,dan umat akan menderita,jika tidak ada.
4. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib Baitul Maal karena suatu keterpaksaan ,semisal ada paceklik,angin topan,gempa bumi,serangan musuh atau apa saja yang menimpa kaum Muslim.
5. Untuk melunasi utang-utang negara dalam rangka melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum Muslim, yaitu hal-hal yang termasuk dalam salah satu dari keempat keadaan di atas,atau yang menjadi cabang dari keadaan-keadaan tersebut,serta keadaan apapun yang telah diwajibkan oleh syariah atas kaum Muslim. 

Pengaturan Islam berkaitan dengan pos- pos penerimaan negara telah ditetapkan secara terperinci. Dalam kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa di antara pos penerimaan negara adalah pos anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj, jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara; harta usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus, harta orang yang tidak memiliki harta waris, harta orang murtad, pajak, dan zakat. Secara keseluruhan terdapat dua belas pos penerimaan negara dan pajak tidak menjadi komponen utama apalagi andalan.

Dengan pengelolaan keuangan berbasis syariah, negara memiliki pos penerimaan yang sangat banyak. Sebagai contoh, pemanfaatan pos harta kepemilikan umum saja. Jika SDA dikelola sendiri oleh negara, tidak diserahkan pada asing dan swasta, tentu hasil yang kembali kepada negara dapat digunakan secara optimal, bahkan berlebih. Indonesia memiliki kekayaan alam yang jumlahnya terbesar di dunia, seperti hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan sebagainya.

Demikianlah kesejahteraan sejati hanya dapat diwujudkan melalui penerapan sistem ekonomi Islam dibawah sistem Islam secara menyeluruh. Sistem ini tidak hanya menyejahterakan manusia, tetapi juga membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Wallahu a’lam.[]
Bagikan:
KOMENTAR