Pajak Dalam Kacamata Islam


author photo

6 Sep 2025 - 12.16 WIB



Oleh: Ferdina Kurniawati 
(Aktivis Dakwah Muslimah) 

Kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang terjadi di beberapa daerah saat ini juga dirasakan di Balikpapan. Namun tak disangka lonjakan tagihan begitu tinggi alias signifikan.
Salah satunya dialami warga Balikpapan, Arif Wardhana. Dia setiap tahun mengurus pembayaran tanah milik sang ibu di Jalan Batu Ratna KM 11 Balikpapan Utara.
Dia kaget melihat nominal tagihan PBB–P2. Arif bercerita biasanya dia membayar pajak sekitar Rp 306 ribu per tahun. Ini untuk tanah seluas sekitar 1 hektare.
“Terakhir bayar pajak tahun lalu, 2024. Saya selalu bayar pajak rutin setiap tahun,” katanya. Begitu pula tahun ini, sebagai warga negara yang baik, Arif ingin menjalankan tanggung jawabnya.
Ketika itu, ketua RT menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). “Saat saya lihat SPPT, ternyata jumlah tagihan Rp 9,5 juta. Saya kaget sekali karena biasanya hanya Rp 306 ribu,” imbuhnya.
Arif baru menyadari tagihan PBB tahun ini meningkat drastis. Walau sebenarnya soal kenaikan PBB sudah diberitahu oleh ketua RT.
“Tapi saya pikir paling naik jadi Rp 500 ribu atau Rp 1 juta,” ungkapnya. Dia menambahkan, lahan ini seperti perkebunan. Meski faktanya sekarang hanya lahan tidur.
Lalu ada satu bangunan sederhana untuk menjaga tanah tersebut. Kini karena ada kenaikan tersebut, tagihan PBB milik sang ibu hingga kini belum dibayarkan.
Dia melaporkan hal ini kepada orangtuanya sebagai pemilik aset tersebut. Keluarganya yang berstatus pensiunan ini merasa keberatan dengan kenaikan pajak.
" Kalau cuma Rp 300 ribu masih bisa dibayar. Tapi Rp 9,5 juta jelas berat bagi kami,” imbuhnya. Padahal dia selama ini rutin membayar pajak. Sebab ini turut menyumbang terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Arif berpendapat, adanya kenaikan sekitar 3.000 persen sangat membebani masyarakat. “Jadi dasar kenaikannya apa, kami benar-benar tidak tahu,” tegasnya.
Tak sampai disitu, Arif juga mencoba mencari tahu dasar kenaikan PBB. Sayangnya hingga kini, dia belum mendapat penjelasan resmi dari Pemkot Balikpapan.
Menurutnya penjelasan pemerintah sangat penting dalam kondisi seperti ini. “Apakah ini ada kesalahan administrasi atau memang ada dasar hukumnya. Tapi sampai sekarang belum ada klarifikasi,” ungkapnya.
Dia berharap pemerintah segera muncul dengan penjelasan kepada masyarakat. Sehingga warga tidak bingung dengan kenaikan PBB selama ada kejelasan dan dasar hukum yang jelas.
Arif menyinggung kasus serupa yang sempat ramai di Pati, Jawa Tengah. Kasusnya PBB naik 250 persen. Lalu bupati langsung memberikan klarifikasi dan dibatalkan.
“Tapi kalau di Balikpapan ini justru tidak ada penjelasan. Sosialisasi pun tidak ada, tahu-tahu pajak naik drastis,” pungkasnya. 

Pajak dari Rakyat Kecil
Peningkatan kenaikan pajak yang ini sejatinya menunjukan peningkatan pungutan atas rakyat. Sudahlah penghasilan tidak menentu, rakyat masih harus dibebani pungutan pajak yang makin hari nominalnya makin besar, dan jenisnya makin banyak. Namun demikian, pemerintah tetap saja bersikukuh dengan narasinya bahwa pungutan pajak adalah demi kemajuan bangsa. Kalimat “Orang Bijak Taat Pajak” menjadi slogan yang terus dipersuasikan agar terbentuk di benak rakyat bahwa orang yang baik adalah orang yang peduli akan nasib bangsa dan wujud kontribusi nyatanya dengan membayar pajak.
Sedangkan di sisi lain, rakyat merasa tidak mendapatkan timbal balik apa pun dari pembayaran pajak. Faktanya, sebagian besar infrastruktur dibangun di perkotaan dan pusat-pusat ekonomi. Sebaliknya di daerah terpencil, jembatan reyot yang membahayakan nyawa tidak diperhatikan. Ketakmerataan pembangunan benar-benar terjadi secara kasat mata.
Tidak hanya itu, rakyat pun lebih sering disuguhi gambaran gaya hidup mewah para pejabat. Sementara itu, terus bermunculannya pejabat pajak yang tersandung korupsi seolah menjadi hal biasa. Belum lagi saat pemerintah menetapkan tax amnesty (pengampunan pajak) kepada orang-orang kaya dengan alasan optimalisasi pungutan pajak. Sungguh kondisi ini semakin mengikis rasa keadilan karena rakyat yang serba kekurangan malah terus “dipalak”.

Pajak dalam Demokrasi
Beban berat rakyat dalam memenuhi pungutan pajak merupakan konsekuensi atas diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Sistem pemerintahan ini menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam pendapatan negara. Dengan begitu, berjalannya roda pemerintahan pada akhirnya membutuhkan pemasukan yang sangat besar dari pajak.
Mirisnya, sudahlah rakyat dibebani pajak, belanja negara nyatanya tidak mengenal skala prioritas. Pembangunan infrastruktur terus dilakukan di pusat ekonomi, sedangkan di pelosok desa masih banyak yang belum terjangkau oleh pembangunan serupa. Begitu pula gaji dan fasilitas mewah para pejabat terus saja dinaikkan anggarannya di tengah banyaknya guru honorer yang tidak mendapatkan gaji layak.
Inilah potret buram pemerintahan demokrasi kapitalisme. Besarnya pungutan pajak atas rakyat merupakan bentuk kezaliman yang nyata. Pemerintah yang seharusnya mengurusi umat dan memberikan fasilitas hidup yang layak, nyatanya malah sebaliknya.

Pajak dalam Islam
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pajak atau dharibah adalah pajak yang dipungut hanya kepada warga kaya laki-laki saja. Warga yang tidak memiliki kelebihan harta, yang dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja pas-pasan, tidak akan ditarik pajak.
Selain itu, pungutan pajak bersifat temporer dan hanya diberlakukan jika baitulmal (kas negara) kosong. Artinya, jika sudah kas baitulmal sudah terpenuhi, maka pungutan akan dihentikan. Penggunaan dana dari dharibah, misalnya untuk jihad, gaji tentara, maupun industri militer, yang itu semua sangat urgen dipenuhi.
Contoh lainya adalah pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jembatan atau jalan. Jika infrastruktur tersebut urgen untuk dibangun, sedangkan baitulmal kosong, maka negara akan memberlakukan pajak. Namun, jika pembangunan itu tidak urgen, misal sudah ada jembatan atau jalan alternatif, maka negara tidak akan memaksakan pembangunan tersebut. Dengan begitu, alokasi anggaran baitulmal benar-benar tepat sasaran dan menurut skala prioritas.
Sumber Utama Baitulmal
Dharibah atau pajak bagi negara Islam (Khilafah) bukanlah sumber pemasukan utama, bahkan negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai sumber pendapatan baitulmal. Penerimaan baitulmal yang begitu besar dan banyak berasal dari sumber selain pajak, dan jika dioptimalkan jumlahnya akan sangat melimpah.
Adapun sumber pemasukan Khilafah, pertama dari anfal, ganimah, fai dan khumus. Anfal dan ganimah adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir melalui perang di medan pertempuran. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata artileri, barang dagangan, bahan pangan dan lainnya.
Harta fai adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari orang kafir tanpa pengerahan pasukan dan tanpa kesulitan, atau tanpa melalui peperangan. Khumus adalah seperlima yang diambil dari ganimah. Seluruh harta ini dapat diperoleh jika terjadi peperangan dengan negara kafir harbi.
Kedua, kharaj, yaitu hak atas tanah bagi kaum muslim yang diperoleh dari orang kafir baik lewat peperangan, maupun perjanjian damai. Status tanah kharaj ini tetap berlaku walaupun pemiliknya menjadi muslim.
Ketiga, jizyah yaitu hak kaum muslim yang diberikan Allah Swt dari orang-orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka kepada Islam. Jizyah berhenti dipungut saat orang kafir tersebut masuk Islam.
Keempat, harta milik umum, yaitu harta yang ditetapkan kepemilikannya oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya bagi kaum muslimin dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum muslimin. Individu boleh mengambil manfaatnya tetapi tidak boleh memilikinya secara individu. Hasil dari kepemilikan umum inilah yang menjadi andalan utama pemasukan baitulmal.
Harta milik umum ini meliputi minyak bumi, gas alam, tambang emas, uranium, timah, batu bara, bijih besi, hutan, laut, perairan, dan kekayaan alam hayati lainnya. Semua itu telah Allah Swt anugerahkan kepada negeri-negeri muslim.
Masih banyak sumber pemasukan lain bagi Khilafah, seperti usyr, harta milik negara, harta tidak sah dari para penguasa dan pegawai negara, harta hasil usaha yang terlarang dan denda, khumus dari barang temuan dan barang tambang, harta orang murtad, harta yang tidak ada ahli warisnya, serta zakat. Semua itu bisa ditetapkan sebagai pemasukan negara, jika negara tersebut menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Wallahualam bissawab
Bagikan:
KOMENTAR