Aceh Utara – Anggaran tahun 2024 RSUD Cut Mutia menimbulkan gelombang sorotan tajam. Rumah sakit kebanggaan Kabupaten Aceh Utara itu disebut-sebut menghabiskan dana hingga ratusan miliar rupiah, namun kualitas layanan kepada pasien dinilai tak sebanding dengan besarnya belanja publik yang dikelola. Minggu (19 Oktober 2025).
Dari data yang berhasil dihimpun, terkuak sejumlah pos pengeluaran dengan nilai fantastis dan menimbulkan tanda tanya besar soal transparansi, efisiensi, dan orientasi penggunaan dana publik.
Belanja Raksasa, Manfaatnya Kabur
Anggaran Bahan Habis Pakai (BHP) mencapai Rp37,3 miliar angka yang mencengangkan untuk ukuran rumah sakit daerah. Publik mempertanyakan, apakah benar sebesar itu digunakan untuk kebutuhan medis pasien, atau ada kebocoran dalam rantai pengadaan?
Sementara untuk obat-obatan, tercatat Rp22,1 miliar. Namun, efektivitas distribusinya dinilai masih buram. Beberapa pasien bahkan mengeluhkan sulitnya mendapatkan obat tertentu, menimbulkan paradoks antara besarnya dana dan realita di lapangan.
Yang paling mengundang polemik adalah belanja jasa pelayanan dan pengelolaan praktik klinik mahasiswa serta instruktur klinik yang mencapai Rp90,1 miliar. Angka jumbo ini menimbulkan pertanyaan keras apakah benar dana sebesar itu mengalir ke peningkatan mutu layanan, atau justru tersedot ke kegiatan internal yang minim dampak bagi masyarakat?
Ketimpangan dan Dugaan Pemborosan
Pos honorarium senilai Rp1,1 miliar terlihat jomplang dibandingkan pos belanja lainnya, menandakan adanya ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran.
Sementara belanja makanan dan minuman mencapai Rp3,2 miliar, dianggap berlebihan di tengah keluhan publik terhadap mutu layanan dasar dan fasilitas pasien yang masih jauh dari ideal.
Untuk pemeliharaan alat kedokteran dan komputer, dana Rp2,1 miliar justru menimbulkan tanda tanya lain mengapa dengan anggaran sebesar itu, banyak alat medis disebut sering rusak atau tak berfungsi optimal?
Tak kalah mencengangkan, belanja alat tulis dan cetak mencapai Rp2,8 miliar ironis di tengah upaya digitalisasi pelayanan publik.
Selain itu, perjalanan dinas sebesar Rp679 juta dan publikasi media Rp1,5 miliar juga dinilai tak mencerminkan prioritas layanan kesehatan masyarakat.
Minim Transparansi, Rakyat Menanggung Akibat
Sumber internal rumah sakit yang enggan disebut namanya menyebut, sebagian besar anggaran belum sepenuhnya terbuka untuk publik. Celah transparansi ini diyakini menjadi ruang abu-abu yang memungkinkan alokasi dana tidak proporsional, bahkan berpotensi tak berdampak langsung pada pelayanan pasien.
“Anggarannya besar, tapi pasien tidak merasakan perbaikan signifikan,” ujar salah satu sumber yang mengetahui sistem anggaran RSUD tersebut.
Publik pun kini menuntut audit independen dan pengawasan ketat dari lembaga terkait. Masyarakat ingin tahu ke mana sesungguhnya miliaran rupiah uang rakyat itu mengalir dan siapa yang benar-benar diuntungkan.
Pihak RSUD Cut Mutia Buka Suara
Dikonfirmasi terpisah oleh tim Radaraceh.com, dr. Harry Laksamana, Humas RSUD Cut Mutia, menjelaskan bahwa pos belanja jasa pelayanan dan praktik klinik memang mencakup dua kegiatan yang melibatkan pihak eksternal.
“Belanja jasa pelayanan berasal dari klaim BPJS, sedangkan jasa praktik klinik mahasiswa bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh serta institusi pendidikan lain seperti Poltekkes dan STIKES,” ujarnya.
Harry juga menegaskan bahwa penggunaan anggaran tersebut telah diaudit oleh BPK RI tahun 2025, dengan hasil tidak ditemukan kerugian negara, hanya terdapat rekomendasi terkait maladministrasi.
Namun, meski hasil audit formal tidak menyebut adanya pelanggaran finansial, publik tetap menuntut akuntabilitas moral dan transparansi faktual.
Karena di balik laporan keuangan yang “bersih”, masih tersisa pertanyaan yang lebih besar:
Apakah RSUD Cut Mutia benar-benar menjadi benteng kesehatan rakyat, atau justru mesin pemboros miliaran rupiah tanpa manfaat nyata bagi pasien? (Ak).