Banda Aceh — Jika ukuran keberhasilan lembaga reintegrasi sosial diukur dari megahnya acara seremonial dan tebalnya honorarium, maka Badan Reintegrasi Aceh (BRA) patut diberi penghargaan tertinggi. Rabu (15 Oktober 2025).
Namun sayangnya, angka-angka dalam dokumen anggaran 2025 justru mengisyaratkan hal sebaliknya lembaga yang seharusnya menata luka lama pascakonflik itu tampak lebih sibuk menata daftar belanja internal.
Dari catatan yang beredar, BRA mengantongi anggaran fantastis dengan porsi mencolok: perjalanan dinas Rp573 juta, belanja makanan dan minuman rapat Rp125 juta, serta lembur Rp156 juta. Tak lupa, tradisi meugang yang semestinya jadi momen kebersamaan rakyat ikut menelan Rp561 juta uang publik.
Namun, bintang utamanya ada pada dua pos jumbo jasa tenaga administrasi Rp5,07 miliar dan jasa tenaga ahli Rp7,18 miliar. Hanya dua item itu saja sudah menyedot lebih dari Rp12 miliar, seolah urusan birokrasi lebih mendesak daripada nasib eks kombatan dan korban konflik yang seharusnya direintegrasikan.
Belum cukup, masih ada honor pengelola keuangan Rp421 juta, jasa keamanan Rp331 juta, kebersihan dan sopir masing-masing Rp132 juta. Bahkan penyuluhan yang seharusnya jadi garda depan pemberdayaan masyarakat hanya kebagian Rp30 juta, atau kurang dari biaya satu kali rapat koordinasi.
Berbicara soal rapat, BRA menyiapkan Rp2 miliar untuk acara seremonial dan Rp188 juta khusus untuk rapat koordinasi tahunan. Tak ketinggalan, pakaian dinas Rp190 juta dan pemeliharaan kendaraan pejabat Rp207 juta melengkapi pesta anggaran yang kian jauh dari ruh reintegrasi.
Dengan komposisi semacam ini, publik wajar bertanya. Apakah BRA masih lembaga rekonsiliasi, atau sudah berubah menjadi kantor event organizer bersubsidi negara?
Ironinya, di tengah derasnya miliaran rupiah untuk tenaga ahli dan seremoni, suara para eks kombatan dan korban konflik yang dulu menjadi alasan lahirnya lembaga ini justru kian tenggelam di balik meja-meja rapat berpendingin ruangan.
Reintegrasi yang dulu dijanjikan kini tampak seperti ilusi mahal. Yang tersisa hanyalah seremonial, honorarium, dan rasa sinis rakyat terhadap lembaga yang seharusnya menyejukkan, bukan menyesakkan.
Saat wartawan media ini mencoba melakukan konfirmasi dengan pihak terkait sampai berita ini dilayangkan belum ada respon apa pun dari pihak terkait. (Ak)