Oleh: Khairunnisa, M.Pd (akademisi)
Seringkali berita dari luar negeri tentang kekerasan di sekolah yang berujung tragedi seperti penembakan di sekolah yang dilakukan seorang pelajar, tampaknya bukan lagi hanya berita internasional saja. Di sini di negeri kita perkara serupa sudah menjadi fakta. Heboh kasus SMAN 72 Jakarta Utara sebuah ledakan terjadi di masjid sekolah usai pelaksanaan ibadah salat Jumat. Pelaku peledakan adalah siswa di sekolah itu yang diduga merupakan korban bullying, meski motif sebenarnya kini sedang didalami. Berselang satu pekan, di Aceh besar juga terjadi luapan emosi seorang santri yang berujung membakar asrama pondok pesantren tempatnya nyantri/belajar selama ini. Hasil interogasi dinyatakan bahwa pelaku mengaku sakit hati karena sering diejek dan dibully dengan kata-kata tidak baik. Meski berita di atas cukup fantastis dengan drama balas dendamnya, data-data sebelumnya juga telan menunjukkan banyaknya kekerasan dan bullying di kalangan pemuda yang berakibat luka fisik dan trauma bahkan tidak sedikit sudah memakan korban jiwa. Sebagaimana kasus terbaru yang dialami anak berusia 13 tahun (MH) di SMPN 19 Tangerang Selatan yang ramai disorot publik karena mengalami bullying sejak awal masa pengenalan sekolahnya (https://news.detik.com/. 17/11/2025)
Bullying terus menghantui lingkungan tempat belajar termasuk sekolah. Selain sekolah di berbagai lingkungan juga tidak terelakan lagi saat ini, terutama lingkungan remaja. Berbagai bentuk bullying seakan menjadi hal yang biasa. Perkataan kasar dan lisan yang tidak terjaga dan candaan menghina serta perlakuan kasar berujung kekerasan telah membuat trauma pada banyak remaja. Pada sebagian remaja yang bertindak sebagai pelaku, sedangkan sebagiannya lagi menjadi korban.seakan seperti siklus, korban pun menyimpan akumulasi dendam yang selanjutnya membalas secara emosional dan dramatis penuh kebencian. Konten-konten kekerasan yang gampang dilihat dari berbagai media semakin memupuk besarnya rasa dendam sebagaimana kejadian peledakan di SMAN 72 Jakarta. Tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya atau ruang digital pun sering kita dapati cyberbullying melalui komentar, meme, atau unggahan yang menghina dapat menghancurkan kepercayaan diri seseorang tanpa harus berhadapan langsung. Meski Kekerasan semacam ini dianggap ringan karena tidak meninggalkan luka fisik, padahal efek psikologisnya jauh lebih berat. Media sosial yang seharusnya menjadi alat edukasi justru menjadi ruang untuk memproduksi kekerasan verbal. Kemudian ketidakpedulian lingkungan sosial sekitarnya pun begitu terasa, sehingga korban seringkali seakan menanggung sendiri beban kekerasan yang diterima tanpa tahu kemana tempat yang tepat untuk menceritakannya.
Siklus pelaku dan korban bullying besar dipengaruhi karena sistem pendidikan yang diterapkan saat ini masih belum mampu mengcounter munculnya kekerasan di tengah anak didik. Adab yang minim dimiliki meski mereka pelajar menunjukkan rapuhnya Pendidikan sekuler kapitalistik saat ini. Nihilnya peran agama tecermin pada visi, misi, kurikulum, program, metodologi pengajaran, hingga indikator output dan outcome sekolah. Keseluruhan komponen itu hanya dikaitkan dengan orientasi kehidupan duniawi semata serta mengabaikan tujuan kehidupan ukhrawi. Orientasi Pendidikan lebih mengedepankan nilai dan berorietasi kerja. Pendidikan dipandang sebagai bagian aspek komoditas saja dan sekolah tempat mencetak tenaga kerja. Akibatnya pembinaan aspek berakhlak dan kepribadian mulia terabaikan. Dengan kata lain negara telah gagal mencetak generasi berkepribadin mulia yang tentunya paham posisinya di muka bumi adalah sebagai hamba Allah. Negara pun gagal menyediakan lingkungan pendidikan yang menumbuhkan karakter mulia karena kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada pencapaian angka dan prestasi ekonomi, bukan pada pembentukan manusia yang bertakwa. Begitu juga negara telah gagal menjaga rakyatnya terkhusus remaja dari konten-konten kekerasan dan bermuatan bullying. Akibatnya remaja bisa mengakses hal negative tersebut tanpa saringan kuat dari negara.
Masalah bullying adalah masalah sistematis yang juga memerlukan solusi sistematis dan shahih. Kemana lagi kita mencari solusi tersebut selain kepada Islam sebagai agama dan pandangan hidup yang memiliki aturan berbagai aspek kehidupan. Sub sistem yang paling berkaitan dengan bullying ini adalah sistem Pendidikan. Dalam sistem Pendidikan Islam bertujuan membentuk kepribadian Islam yang memiliki pola berfikir dan bersikapnya disandarkan pada Islam. Akidah Islam sebagai landasan bagi pembentukan pola pikir akan membentuk pemahaman yang benar yang akan menjadi standar saat seseorang melakukan perbuatan. Akidah Islam mengajarkan bahwa apa pun yang kita perbuat akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala. Rasulullah saw. mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah akan melihat hati dan amal kalian.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan lainnya). Kurikulum dan metode pembelajarannya disetting agar penguasaan ilmu pada hakikatnya adalah amal untuk beribadah kepada Allah. Pembentukan kepribadian yang takut kepada Allah menjadikan para pembelajar termasuk para remaja untuk menjaga lisan dan perbuatannya dari hal yang dilarang agama seperti bullying. Landasan ajaran Islam yang ditanamkan mengajarkan mereka saling peduli dan menyayangi sesama.
Tentu saja semua hal tersebut bisa dilaksanakan karena ada peran besar negara sebagai perisai. memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan, termasuk bullying. Sanksi akan diberikan ketika pelaku sudah balig dan berakal. Demikianlah sistem Islam dalam menuntaskan masalah bullying. Akidah Islam yang menjadi fondasi bagi keluarga, masyarakat, dan negara dalam mendidik generasi memastikan generasi berkepribadian Islam sehingga akan menbentengi diri untuk melakukan hal-hal yang dilarang syariat, termasuk bullying. Walhasil bullying hanya benar-benar bisa tuntas melalui penerapan Islam bernegara yang memiliki perlindungan berlapis dan saling mendukung untuk menuntaskan semua persoalan, juga mendapat rida Allah Taala.