(Ainayyah Nur Fauzih, S.Pd.)
Normalisasi hubungan dengan Israel kembali didorong sebagai “jalan damai” oleh Amerika Serikat, seolah-olah genosida yang berlangsung di Gaza hanya dapat diakhiri dengan menerima Israel sebagai mitra sah. Narasi ini terus dipromosikan di tengah meningkatnya kecaman dunia terhadap agresi Zionis, sehingga menciptakan kesan bahwa menjalin hubungan dengan Israel adalah pilihan realistis yang harus ditempuh negara-negara Muslim. Padahal, di balik kampanye damai itu, terdapat skema geopolitik besar yang sesungguhnya bertujuan mempertahankan hegemoninya dan melanggengkan penjajahan atas Palestina.
Ketegangan diplomatik kembali memanas setelah Turki menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu beserta sejumlah pejabat Israel atas kejahatan perang yang terjadi di Gaza (tvonenews.com, 6 November 2025). Di sisi lain, Turki juga mengkritik keras penolakan Israel terhadap rencana pengerahan pasukan perdamaian Turki ke Gaza yang sebelumnya diusulkan untuk menghentikan eskalasi (cnnindonesia.com, 6 November 2025). Meski demikian, langkah-langkah tersebut belum disertai kebijakan strategis yang benar-benar menekan Israel secara politik, ekonomi, maupun militer.
Sementara itu, Kazakhstan menyatakan bergabung dalam kerangka Abraham Accords, inisiatif normalisasi yang dibentuk pada 2020. Langkah ini memperkuat hubungan diplomatik Kazakhstan–Israel yang telah terjalin sejak 1992, sekaligus memperluas jangkauan diplomasi Israel di kawasan Asia Tengah. Bergabungnya Kazakhstan menunjukkan bagaimana normalisasi terus digulirkan sebagai strategi geopolitik yang sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya (antaranews.com, 15 November 2025).
Melihat dua perkembangan ini—Turki yang bersuara keras tanpa tindakan nyata, dan Kazakhstan yang justru memperdalam kerja sama—kita perlu membaca pola besarnya. Ke mana arah kebijakan negara-negara Muslim didorong? Siapa yang diuntungkan? Dan bagaimana normalisasi ini kembali menjadi instrumen politik AS untuk membentuk opini global bahwa keberadaan Israel harus diterima sekalipun Palestina terus ditindas?
Pertama, normalisasi hubungan dengan Israel adalah perangkap yang dipasang oleh Amerika Serikat untuk melegalkan penjajahan Zionis atas Gaza. Di tengah kecaman dunia, Washington justru memaksa negara-negara Muslim menerima Israel sebagai mitra, bukan sebagai penjajah. Agenda ini pada akhirnya memperkuat posisi Israel dan menghapus tuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang terang benderang.
Kedua, penguasa negeri-negeri Muslim menunjukkan pengkhianatan nyata terhadap Gaza, termasuk Turki yang meski mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu, tetap mempertahankan hubungan penting dengan Israel. Kecaman tanpa langkah politik tegas—seperti pemutusan hubungan, sanksi ekonomi, atau penghentian kerja sama militer—tidak mengubah apa pun di lapangan. Umat hanya disuguhi retorika, sementara penjajahan terus berjalan.
Ketiga, selama keputusan mengenai Palestina tunduk pada kepentingan Barat dan terkurung oleh nasionalisme, penjajahan tidak akan pernah berakhir. Nasionalisme membuat negeri-negeri Muslim bergerak sendiri-sendiri, tanpa persatuan politik dan militer. Selama kebijakan luar negeri mereka berada di orbit Barat, Palestina akan selalu menjadi korban dari kompromi para penguasa.
Melihat bahwa normalisasi justru memperkuat Israel, sementara kecaman tidak menghentikan agresi, jelas bahwa umat membutuhkan solusi yang mampu menutup pintu penjajahan hingga tuntas. Persoalan Gaza bukan hanya isu kemanusiaan, tetapi persoalan politik dan militer yang menuntut solusi politik dan militer pula.
Pertama, solusi tuntas atas persoalan Gaza adalah jihad dan tegaknya Khilafah sebagai institusi politik yang memimpin jihad tersebut. Realitas penderitaan Palestina selama lebih dari tujuh dekade menunjukkan bahwa seluruh mekanisme internasional—mulai dari PBB, perundingan damai, hingga normalisasi—tidak pernah menghadirkan keadilan. Semua jalan diplomasi itu justru memperkuat legitimasi penjajah dan membungkam hak umat Islam untuk membela saudara-saudaranya. Islam menetapkan bahwa pembebasan negeri yang dirampas tidak cukup dengan kecaman, boikot parsial, atau mediasi. Ia menuntut kekuatan negara yang memiliki otoritas syar’i untuk mengerahkan pasukan, memutus hubungan dengan musuh, dan menyatukan potensi umat. Tanpa kekuatan ini, jihad tidak akan pernah terinstitusionalisasi dan penjajahan tidak akan pernah berakhir.
Kedua, Khilafah sebagai junnah (perisai) menjadi satu-satunya institusi yang mampu mencabut penjajahan hingga ke akar-akarnya dari bumi Palestina. Sebagai negara yang menyatukan kaum Muslim dalam satu kepemimpinan, Khilafah memiliki perangkat komprehensif—militer, politik, ekonomi, dan diplomasi—yang bekerja terintegrasi untuk menjaga kehormatan umat. Tidak hanya mampu membebaskan wilayah yang diduduki, Khilafah juga menjamin stabilitas pasca-pembebasan, mengelola wilayah dengan hukum Allah, serta menghalangi intervensi asing. Sejarah membuktikan bahwa hanya Khilafah-lah yang mampu menjaga Palestina selama berabad-abad dari ambisi salibis maupun penjajah modern. Dengan hilangnya Khilafah, Palestina pun terjerumus dalam kolonialisasi yang tak berkesudahan.
Ketiga, umat harus menyadari pentingnya berjuang mengembalikan kehidupan Islam dengan mengikuti metode dakwah Rasulullah ﷺ. Perubahan yang diinginkan tidak lahir dari emosi sesaat atau solidaritas yang meledak ketika tragedi terjadi. Ia lahir dari kesadaran politik yang mendalam bahwa umat membutuhkan institusi pemersatu. Metode dakwah Rasulullah—membangun tsaqafah Islam di tengah umat, membentuk opini umum yang kuat, lalu meraih kekuasaan secara syar’i—adalah satu-satunya jalan yang telah terbukti menghasilkan perubahan sistemik. Tanpa mengikuti metode ini, perjuangan akan terpecah, emosional, dan tidak menghasilkan kekuatan politik yang mampu menandingi hegemoni penjajah. Karena itu, kesadaran umat harus diarahkan untuk kembali menjadikan Islam sebagai asas kehidupan, bukan sekadar identitas spiritual atau seruan moral.