Oleh: Indah Sari, S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)
Maraknya kasus bullying di lingkungan pendidikan memberi dampak yang sangat memprihatinkan bagi psikologis seseorang yang mendorong untuk bertindak diluar batas kendali. Salah satu korban bullying asrama Putra Dayah (Pesantren) Babul Maghfirah di Aceh membakar dua bangunan asramaa sekitar pukul 03.00 WIB. (KumparanNEWS, 7/11/2025)
Santri mengaku mengalami tekanan secara mental akibat bullying hingga melakukan aksinya dengan maksud barang-barang milik temannya (pelaku bullying) habis terbakar.
Korban bullying lainnya juga berasal dari SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Murid yang dikenal selalu menyendiri dan gemar menggambar ekstremisme serta menonton video perang diduga pelaku peledakan di SMA 72. Akibatnya banyak korban luka-luka terbakar yang dilarikan ke rumah sakit. (CNN Indonesia, 8/11/2025)
Miris menyaksikan kian hari bertambahnya jumlah korban bullying yang masih sangat disepelekan sebagian orang yang menjadi saksi bisu luka batin para korban hingga melakukan hal ekstrem terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Bullying Kejahatan Yang Disepelekan
Kasus yang dilakukan oleh kedua pelaku akibat bullying tidak dapat sepelekan. Bukan hanya berdampak bagi pelaku bahkan membahayakan orang lain. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya pengaruh yang merusak pemikiran bahkan kepribadian usia anak remaja. Hal ini mungkin saja berawal dari hanya hiburan hingga melakukan kekerasan.
Ada beberapa bentuk bullying yang dinormalisasikan:
1. Berkedok Candaan, tindakan ini sering didapati dalam keseharian menjadikan bentuk fisik, status sosial, kebiasaan dll sebagai bentuk candaan yang dilakukan secara berulang-ulang hingga membuat korban merasa tidak nyaman dan takut berinteraksi berlebihan dengan orang lain. Akibatnya korban merasa tidak percaya diri.
2. Ancaman, Fitnah, Mengucilkan, Mengabaikan, semua ini bentuk tindakan yang dapat menekan mental korban bullying yang menimbulkan rasa takut, merasa sendiri, tidak mempercayai orang lain, sulit tidur, hingga merasa tidak berharga dan sulit komunikasi dengan baik. Aktivitas itu bermula dari tidak mengajak korban bermain/berkelompok, menyebarkan rumor agar korban dijauhi, menggunakan kata-kata ancaman dan kebencian, menyebar informasi pribadi dan sebagainya.
3. Kekerasan Secara Fisik, tindakan ini biasanya melukai korban dengan memukul dan sejenisnyaa, mendorong korban hingga jatuh, merampas barang milik korban, mengurung dan menghalangi korban di suatu tempat. Pengaruh paling besar bullying ini menjadikan korban gemetaran hingga ketakutan dalam keramaian, melukai diri sendiri dan hingga berhalusinasi untuk melakukan balas dendam kepada pelaku.
Dari banyaknya bentuk bullying yang ada hari ini semua berawal dari rusaknya sistem yang diterapkan hari ini. Mulai dari krisis adab di dunia pendidikan, pengaruh lingkungan toxic, media sosial, kurikulum yang tidak mampu membentuk karakter yang baik, pendidikan keluarga, hingga pengaturan sistem yang tidak memberikan efek jera bagi para pelaku bullying.
Salah satu ungkapan ‘children see children do’ atau roll model merupakan yang sering terjadi yakni anak melakukan apa yang dilihat. Jika anak sering menyaksikan orang tua melakukan kekerasan dalam rumah anak akan meniru karena sejatinya ini berawal dari tidak mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, terpuji maupun tercela.
Kondisi ini makin parah akibat dari penerapan sistem pendidikan sekuler, yakni tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam kehidupan termasuk dalam ranah pendidikan. Sistem ini menjadikan setiap orang bebas melakukan sesuatu yang hanya memperoleh keuntungan tanpa melihat dampak baik dan buruk yang ditimbulkan.
Akibat penerapan sistem pendidikan sekuler melahirkan murid yang bermasalah. Bahkan penanganan kasus ini belum benar-benar mampu menuntaskan yang ada hanya semakin bertambah.
Cendikiawan muslim ustadz Ismail Yusanto mengatakan “menanamkan keimanan kepada Allah Swt harus diajarkan sejak kecil hingga hadirnya rasa ketundukan kepada Islam”. Sayangnya, sistem ini memandang dengan curiga yang dianggap sebagai bibit radikalisme dan banyaknya upaya pengawasan sekolah-sekolah Islam, masjid, hingga Rohis di sekolah hingga melarang murid untuk mengikuti pengajian.
Maka sudah sewajarnya hari ini karakter atau kepribadian murid mengikuti sistem hari ini yang bebas jauh dari pemahaman agama yang tidak memiliki adab dan semakin rusak.
Pembentukan Kepribadian dalam Islam
Islam agama yang sempurna bukan hanya mengatur aspek ibadah saja melainkan memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam mencegah terjadinya bullying sudah dari sejak awal memiliki pembentukan kepribadian Islam dalam diri setiap muslim.
Islam mengajarkan Al Ummu Madrasatul Ula, ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ibu memiliki peran dalam memberikan pemahaman Islam kepada anaknya yakni mengajarkan tujuan hidup di dunia, dan tujuan akhirnya setelah kehidupan dunia. Menjadikan ketaatan kepada Allah di atas segalanya dan senantiasa menjauhi larangannya, serta memahami dan patuh terhadap syariatnya, sehingga akan mampu memahami bagaiman seharusnya seorang muslim bersikap.
Dengan adanya proses didikan ini akan terbentuk kepribadiaan Islam (syakhsiyah Islam) seorang muslim melalui pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafisyah) sesuai dengan tuntunan Islam. Tentu semua ini butuh konsistensi melalui pembinaan yang intensif dari orang tua, lingkungan, masyarakat bahkan negara.
Syakhsiyah Islam lahir hanya semata-mata karena ingin mendapatkan keridhaan Allah Swt. bukan mendapatkan nilai materi semata sebagaimana tuntutan sistem sekuler kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan.
Perlu adanya dukungan negara dalam menciptakan kurikulum yang berbasis aqidah Islam yang menjadikan adab sebagai dasar pendidikan sehingga umat dan generasi jauah dari perbuatan yang dzalim.
Hingga masyarakat terbentuk pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka. Kondisi ini membuat mereka tidak asing dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak akan bersikap individualis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. Masyarakat juga tempat terlaksananya sistem pendidikan, yang tentu saja harus sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga menghasilkan generasi berkepribadian Islam.
Terakhir, yakni negara yang menerapkan aturan Islam kafah (Khilafah) sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya. Sistem Khilafah inilah yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi warga negaranya dari berbagai tindak kejahatan.
Allah Taala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kalian dan supaya mereka bertakwa.’ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya. Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kalian kera yang hina.’”
Wallahualam bissawab