Aktivisme Digital yang Ditakuti Kekuasaan: Mengapa Gen Z Jadi Ancaman?


author photo

12 Des 2025 - 17.26 WIB




Oleh: Sarah Ainun

Sulit memungkiri kenyataan bahwa generasi muda Indonesia hari ini tumbuh dalam dunia yang lebih hidup di layar gawai ketimbang di ruang-ruang sosial nyata tempat generasi sebelumnya berinteraksi. Media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi foto atau bercengkerama; ia telah berubah menjadi ruang sosial, ruang belajar, dan ruang pembentukan identitas yang sangat menentukan arah berpikir dan perilaku. 

Khusus bagi Gen Z—generasi yang lahir sejak internet telah menjadi arsitektur kehidupan modern—ruang digital adalah “rumah besar” tempat mereka tumbuh dan melihat dunia. Sering mereka dicap sebagai generasi rapuh, mudah cemas, dan haus validasi. 

Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Di balik citra tersebut, Gen Z justru menyimpan potensi besar sebagai generasi yang kritis, peduli, dan mampu menggerakkan perubahan publik hanya melalui satu unggahan atau satu video pendek yang viral. Pertanyaannya: apakah mereka generasi lemah atau generasi yang sedang diperebutkan oleh kekuatan ideologi global?

Indonesia hari ini adalah negara yang sangat digital. Laporan terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 jumlah pengguna internet mencapai 229,4 juta jiwa. Angka ini bukan sekadar menunjukkan tingginya penetrasi digital, tetapi juga menggambarkan perubahan besar dalam pola hidup masyarakat—terutama generasi mudanya (CloudComputing, 12/08/2025).

Bagi Gen Z, ruang digital bukan dunia kedua—tetapi dunia pertama. Mereka belajar, bekerja, berdiskusi, berkarya, bahkan berjuang melalui layar. Kemudahan yang ditawarkan ruang digital memang luar biasa: akses pengetahuan tak terbatas, peluang ekonomi baru, jaringan global, ruang berekspresi kreatif, dan kemampuan memengaruhi opini publik tanpa harus masuk ke struktur formal kekuasaan.

Namun, bersamaan dengan itu, dunia digital membawa tantangan besar: distraksi, tekanan sosial, krisis identitas, sekaligus arus ideologi sekuler-kapitalistik yang begitu deras menyusup melalui algoritma yang tak terlihat. Kemudahan tersebut pun hadir bersama racunnya sendiri, sebab ruang digital adalah arena pertarungan nilai yang tidak netral, tidak polos, dan tidak pernah bebas dari kepentingan.

Menariknya, meski sering dicap rapuh, Gen Z adalah generasi yang justru paling aktif bersuara mengenai isu publik. Kita bisa melihat bagaimana gelombang kritik dan aktivisme yang lahir dari media sosial sering dipimpin oleh anak muda. Salah satu contoh paling jelas adalah gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019, ketika ribuan mahasiswa dan pelajar SMA turun ke jalan memprotes revisi UU KPK dan sejumlah aturan bermasalah. Gerakan itu tidak lahir dari organisasi formal, tetapi dari koordinasi digital: Twitter, Instagram, dan grup WhatsApp yang dikelola oleh anak-anak muda. 

Begitu pula dalam aksi-aksi solidaritas untuk Palestina sepanjang 2023–2024, Gen Z menjadi aktor paling vokal di TikTok dan Twitter, memproduksi konten edukatif, infografik, dan kampanye donasi yang viral secara nasional. Dalam isu lingkungan, banyak kampanye digital terkait penolakan tambang, kritik terhadap deforestasi, dan advokasi penyelamatan sungai atau hutan juga dimotori oleh komunitas anak muda, misalnya gerakan pemuda di Wadas atau kampanye “#SaveAru” beberapa tahun lalu yang kembali digaungkan oleh anak-anak muda.

Di tingkat lokal, kita juga bisa melihat bagaimana Gen Z memodernisasi tradisi Aksi Kamisan, menghadirkan narasi digital melalui video, thread, dan poster digital yang mereka sebarkan setiap minggu. Bahkan isu kekerasan seksual dan kesehatan mental, yang dulu sangat tabu dibicarakan, kini menjadi wacana publik karena keberanian Gen Z bersuara.

Aktivisme mereka bersifat “glokal”: terinspirasi dari gerakan global, tetapi diolah menjadi gerakan lokal. Energi ini besar dan penuh potensi, namun juga mudah melenceng jika tidak punya fondasi ideologis yang jelas.

Masalahnya, kita sering lupa bahwa media sosial—ruang tempat Gen Z bertumbuh—bukanlah ruang yang netral. Ruang digital dibangun di atas fondasi nilai sekuler-kapitalistik yang bertujuan memaksimalkan konsumsi, perhatian, dan profit, bukan membentuk akhlak atau kesadaran sosial. 

Setiap aplikasi dirancang agar penggunanya bertahan selama mungkin, mengikuti alur konten sesuai algoritma yang memprioritaskan hal-hal sensasional dan dangkal. Algoritma inilah yang pelan-pelan membentuk kesadaran, keyakinan, dan nilai Gen Z: apa yang dianggap benar, penting, atau layak diperjuangkan. Nilai-nilai liberal—seperti kebebasan tanpa batas, relativisme moral, gaya hidup hedonis, dan laju konsumerisme—menjadi dominan, seolah-olah itulah standar nilai generasi modern.

Tidak jarang hal ini berujung pada pandangan bahwa agama adalah otoritas lama yang membatasi kebebasan. Banyak anak muda mulai melihat ajaran Islam sebagai sesuatu yang kaku atau tidak relevan, bukan karena mereka memahami substansi ajaran tersebut, tetapi karena mereka terpapar pada arus narasi digital yang sangat bias kepada nilai-nilai Barat.

Ini adalah bentuk hegemoni paling halus: penguasaan melalui budaya dan narasi. Gen Z mungkin merasa bebas, tetapi sesungguhnya cara berpikir mereka telah diarahkan oleh algoritma yang bekerja atas nama kepentingan ekonomi global. 

Tidak heran jika krisis identitas menjadi fenomena besar di kalangan Gen Z. Mereka tumbuh dengan nilai yang cair: mudah beradaptasi namun mudah kehilangan jati diri. Mereka memperjuangkan isu-isu sosial, tetapi sering terjebak pada aktivisme pragmatis yang orientasinya viral, bukan perubahan struktural. Gerakan besar bisa lahir dalam semalam, tetapi menghilang seminggu kemudian. Mereka peduli, tetapi kepedulian itu sering terfragmentasi oleh banjir informasi yang datang tanpa henti.

Namun ruang digital tidak melulu buruk. Justru di sisi lain, kita melihat fenomena meningkatnya minat anak muda terhadap kajian Islam, konten dakwah kreatif, komunitas hijrah, hingga ruang diskusi yang membahas isu-isu Islam secara mendalam. Ribuan anak muda mengikuti kajian online, belajar bahasa Arab, mendalami tafsir, dan berdiskusi tentang politik Islam. Mereka memproduksi konten-konten dakwah dalam bentuk video pendek, poster digital, hingga podcast. 

Artinya, ruang digital bukan hanya alat hegemoni kapitalisme global, tetapi juga medan perebutan ide dan nilai. Dan selama kita membiarkan ruang digital dimainkan oleh kepentingan kapitalistik, nilai Islam akan tetap menjadi minoritas dalam arus besar konten global.

Karena itu, menyelamatkan Gen Z bukan berarti menjauhkan mereka dari internet. Itu mustahil dan tidak realistis. Yang harus dilakukan adalah menyelamatkan cara berpikir mereka, mengarahkan potensi aktivisme mereka, dan membangun paradigma yang kuat agar mereka tidak hanyut dalam arus sekuler-kapitalistik yang menelan kesadaran mereka. 

Ruang digital harus dihadapi dengan paradigma Islam—bukan sekadar sebagai agama ritual, tetapi sebagai cara berpikir yang membentuk bagaimana mereka memahami dunia, menilai budaya, menentukan pilihan, dan memperjuangkan perubahan.

Dengan paradigma Islam, Gen Z akan memiliki standar nilai yang kokoh. Mereka akan memahami bahwa kebebasan harus tunduk pada halal-haram, keadilan harus berakar pada hukum Allah, kreativitas harus berorientasi pada kebaikan, dan aktivisme harus bersifat sistemik, bukan sekadar simbolik. 

Aktivisme berbasis Islam tidak berhenti pada kampanye viral, tetapi menuntut perubahan yang menyentuh akar struktural masyarakat. Mereka tidak sekadar memprotes ketidakadilan, tetapi memahami bahwa ketidakadilan itu lahir dari sistem kapitalisme, dan karenanya membutuhkan solusi sistemik dari Islam.

Potensi Gen Z yang besar hanya dapat diarahkan jika ada ekosistem yang mendukungnya. Di sinilah pentingnya sinergi keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga harus menjadi benteng pertama yang menanamkan nilai Islam sebagai filter utama sebelum anak terjun ke dunia digital. 

Masyarakat harus menghadirkan lingkungan yang mendukung, membuka ruang diskusi, aktivitas, dan pembelajaran berbasis Islam agar anak muda memiliki atmosfer intelektual yang sehat. 

Negara pun memegang peran besar: regulasi media, kurikulum pendidikan, sistem informasi publik, hingga budaya digital harus diarahkan untuk melindungi generasi dari hegemoni sekuler-kapitalistik global. Negara tidak boleh netral, sebab netralitas hanya membuat generasi muda menjadi mangsa empuk ideologi luar.

Pada akhirnya, Gen Z bukan generasi lemah. Mereka adalah generasi yang sedang diperebutkan—oleh kapitalisme global, oleh budaya liberal, oleh algoritma, dan oleh siapa pun yang mampu mendominasi narasi digital. 

Jika kita membiarkan mereka dibentuk oleh algoritma, mereka akan tumbuh sebagai generasi yang kehilangan akar nilai, kehilangan jati diri, dan kehilangan potensi perubahan yang seharusnya mereka miliki. Namun kemenangan sebuah generasi tidak ditentukan oleh sejauh apa mereka menguasai teknologi, melainkan oleh seberapa kuat keterikatan mereka pada kebenaran yang diturunkan Allah SWT. 

Generasi yang hidup di tengah “fitnah layar” ini hanya akan selamat jika mereka kembali pada petunjuk Ilahi. Allah telah memperingatkan:

"Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan” (QS. Al-Baqarah: 208), dan langkah itu hari ini menjelma dalam hegemoni narasi, algoritma, dan budaya sekuler yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Namun Islam juga memberi janji: 

“Barang siapa menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya” (QS. Muhammad: 7). 

Karena itu, ketika paradigma Gen Z diarahkan kepada Islam—sebagai sistem berpikir dan sistem solusi—energi, kreativitas, dan keberanian mereka dapat berubah menjadi kekuatan dahsyat untuk perubahan sosial yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih sistemik. 

Jika keberanian digital mereka dibimbing oleh wahyu, maka aktivisme mereka tidak sekadar viral, tetapi menjadi jihad intelektual yang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Sebagaimana sabda Nabi:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” 

Inilah saatnya menyelamatkan generasi—not dengan mematikan gawai mereka, tetapi dengan menyalakan kesadaran mereka. Agar jempol-jempol mereka tidak hanya menciptakan gelombang digital, tetapi juga menyalakan kembali peradaban yang dulu pernah menjadi cahaya bagi dunia—melalui penerapan sistem Islam dalam sebuah negara yang menjaga, melindungi, dan membimbing generasinya dengan aturan Islam yang sempurna.
Bagikan:
KOMENTAR