Oleh : Hikmah Abdul Rahim, S.Pd
(Aktivis Dakwah Kampus)
Bencana besar yang melanda Sumatra mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat kembali membuka mata publik bahwa kerusakan alam hari ini bukan sekadar peristiwa alam atau ujian biasa, tetapi merupakan akumulasi panjang dari kejahatan struktural yang dilegitimasi negara dalam sistem kapitalisme. Longsor, banjir bandang, rusaknya infrastruktur, hingga jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, semua ini menunjukkan bahwa krisis ekologis Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Ledakan Korban & Respons Pemerintah
Data terbaru BNPB menunjukkan bahwa korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah mencapai 604 orang, sementara 464 orang masih hilang dan ribuan warga harus mengungsi karena rumah serta fasilitas umum rusak parah. Jumlah korban ini menegaskan bahwa tragedi ini bukan bencana kecil, melainkan bencana hidrometeorologi besar yang dampaknya luas dan melumpuhkan banyak wilayah.(detiknews)
Di saat bersamaan, Kementerian Keuangan menyatakan telah menyiapkan dana awal sekitar Rp 500 miliar untuk penanganan dampak bencana, dan menyebut kemungkinan penambahan dana jika situasi terus memburuk. Meski demikian, publik tetap mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak menetapkan status bencana nasional, meski perlakuan penanganannya disebut sudah “berskala nasional”. Polemik ini menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan dan minimnya orientasi pada keselamatan rakyat. (ANTARANews)
---
Bencana Ini Bukan Sekadar Fenomena Alam
1. Kerusakan akibat kejahatan ekologis yang dilegitimasi kebijakan negara
Bencana yang terjadi hari ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan jangka panjang yang merusak alam. Pembukaan hutan massif, pemberian konsesi perusahaan sawit, pertambangan terbuka, izin tambang ormas, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja telah menjadi pintu lebar bagi eksploitasi alam tanpa batas. Semua ini berkontribusi pada menurunnya daya tampung hutan, hilangnya resapan air, kekeringan tanah, serta meningkatnya potensi banjir bandang dan longsor.
Dengan kata lain, kerusakan lingkungan bukan terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil kesengajaan, bukan kecelakaan.
2. Sistem kapitalisme sekuler melahirkan kolusi penguasa-pengusaha
Sistem demokrasi kapitalisme menjadikan kekuasaan sebagai komoditas politik. Akibatnya, penguasa dan pengusaha saling membutuhkan: pengusaha butuh izin, penguasa butuh dukungan. Dari sinilah lahir rezim perizinan yang tidak memikirkan maslahat publik, tetapi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme yang mengejar profit.
Dalam sistem ini, alam menjadi objek yang dapat ditukar dengan investasi. Ketika hutan ditebang dan gunung digali, kerugian ekologis dianggap wajar. Namun ketika bencana datang, justru rakyat yang harus memikul akibatnya.
3. Bencana Sumatra adalah bukti nyata kegagalan tata kelola lingkungan
Musibah ini menunjukkan bahaya mengerikan dari pembukaan hutan besar-besaran tanpa perhitungan ekologis yang matang. Bukit gundul, alih fungsi lahan, dan minimnya kawasan konservasi menjadikan wilayah-wilayah di Sumatra sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Alam sejatinya memiliki mekanisme pertahanan. Namun ketika sistem ekologinya dihancurkan, alam kehilangan daya dukung, dan bencana menjadi keniscayaan.
4. Ketika hukum Allah ditinggalkan, yang zalim justru berkuasa
Kerusakan sosial, ekologis, hingga politik adalah konsekuensi dari negara yang meninggalkan hukum Allah. Dalam sistem kapitalisme, pengusaha meraih keuntungan, penguasa meraih legitimasi, tetapi masyarakatlah yang menanggung azab ekologis. Gradasi ketidakadilan ini hanya mungkin terjadi ketika hukum Allah digantikan aturan buatan manusia.
---
Islam Menawarkan Tata Kelola Lingkungan yang Benar
1. Islam menegaskan kerusakan terjadi karena ulah tangan manusia.
Al-Qur'an telah menjelaskan,
Telah tampak kerusakan di darat
Dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan Manusia..." (Q.S Ar-Rum : 41)
Ayat ini menunjukkan bahwa penyebab utama bencana adalah manusia, bukan alam itu sendiri. Maka sikap beriman menuntut kita untuk menjaga, merawat, dan mengelola alam dengan tanggung jawab yang besar.
2. Negara dalam sistem Islam wajib menjaga kelestarian alam
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara wajib menerapkan hukum Allah dalam seluruh urusan, termasuk pengelolaan lingkungan. Hutan, tambang, air, dan sumber alam lainnya dikategorikan sebagai milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang tidak boleh diberikan kepada swasta atau kelompok tertentu.
Negara mengelola sumber daya secara langsung demi kepentingan publik, bukan demi kepentingan korporasi.
3. Negara Islam mengalokasikan anggaran pencegahan bencana
Pencegahan banjir, longsor, serta mitigasi bencana bukan program reaktif, tetapi kewajiban struktural. Negara akan mengundang ahli lingkungan, ahli geologi, dan para pakar untuk merancang kebijakan ruang dan konservasi alam berdasarkan ilmu, bukan kepentingan bisnis.
4. Dengan hukum Allah, sistem Islam mampu menekan potensi bencana
Seorang khalifah memiliki mandat untuk memastikan keselamatan manusia dan kelestarian alam. Ia akan merancang blueprint tata ruang komprehensif, memetakan wilayah sesuai fungsi alaminya, dan menata pemukiman serta industri tanpa merusak ekosistem. Dalam Islam, konsep “pembangunan” selalu terikat dengan syariat dan maslahat, bukan hanya pertumbuhan ekonomi.
---
Khatimah : Saatnya Bangkit dari Ilusi Pembangunan Kapitalisme
Tragedi besar di Sumatra seharusnya menjadi alarm keras bagi bangsa ini: bahwa kita hidup dalam sistem yang tidak memihak rakyat dan tidak memihak alam. Setiap tahun bencana datang, laporan kerusakan bertambah, korban terus meningkat. Namun akar masalahnya tidak pernah disentuh.
Kapitalisme telah gagal menjaga manusia dan gagal menjaga bumi. Ia hanya melahirkan eksploitasi yang tak berkesudahan.
Sebaliknya, Islam menghadirkan tata kelola yang bersih, adil, dan berpihak pada kemaslahatan publik. Sistem Islam menjadikan pemimpin sebagai penjaga, bukan pedagang. Alam sebagai amanah, bukan komoditas. Hutan sebagai penyangga kehidupan, bukan bahan bakar investasi. Dan rakyat sebagai pihak yang harus dilindungi, bukan dikorbankan.
Karena itu, kembali pada hukum Allah bukan sekadar romantisme, tetapi kebutuhan nyata untuk menyelamatkan manusia dan bumi. Bencana Sumatra adalah bukti bahwa kita membutuhkan sistem alternatif, sistem yang tidak menjadikan keuntungan di atas nyawa, dan tidak memaksakan pembangunan sambil menghancurkan masa depan.
Pada akhirnya, solusi nyata hanya akan terwujud ketika kita kembali pada jalan yang Allah tetapkan. Sebab hanya hukum-Nya yang mampu memastikan keberlanjutan hidup, keadilan ekologis, dan keselamatan umat manusia dari kerusakan yang lebih dahsyat.
Wallahu a’lam bishshawab.