Lindungi Anak di Dunia Digital, Tapi di Mana Aturannya?


author photo

12 Des 2025 - 20.04 WIB


*Oleh : Rohimah Arsyifa Aktivis Muslimah Tamansari*

Perlindungan anak di ruang digital kembali menjadi sorotan melalui terbitnya PP 17/2025 (PP TUNAS). Regulasi ini hadir dengan semangat mulia memastikan anak-anak Indonesia memiliki ruang digital yang aman dan sehat. Namun, sebagaimana tergambar dalam laporan CNBC Indonesia, aturan ini justru menyisakan kebingungan, terutama karena ketidakjelasan klasifikasi risiko platform, penyerahan tanggung jawab kepada orang tua, hingga minimnya standar teknis soal pengelolaan data anak.

Jika dicermati, masalah utamanya bukan semata-mata pada PP TUNAS, tetapi pada kerangka tata kelola digital kita yang masih reaktif dan parsial. Ada beberapa akar masalah mendasar diantaranya 

Pertama, regulasi berjalan lebih lambat dibanding perkembangan teknologi. Platform terus berubah, fitur berganti, namun aturan hadir belakangan dan sering kali tidak memberikan panduan operasional yang jelas.

Kedua, negara menyerahkan sebagian besar tanggung jawab kepada orang tua dan industri digital. Padahal, orang tua tidak selalu memiliki kapasitas teknis, sementara perusahaan digital bergerak dengan orientasi bisnis.

Ketiga, minimnya standar nilai yang kokoh dalam menilai konten. Tanpa fondasi nilai moral yang jelas dan disepakati, klasifikasi “berbahaya”, “berisiko rendah”, atau “risiko tinggi” menjadi kabur dan relatif.

Keempat, potensi pelanggaran privasi anak. Verifikasi usia tanpa standar teknis bisa membuka pintu bagi pengumpulan data sensitif yang justru mengancam keamanan anak.

Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya teknis, tetapi juga normatif dan filosofis. Apa standar etika yang digunakan negara dalam mengatur ruang digital bagi anak? Siapa yang bertanggung jawab menjaga moralitas publik?

Islam memiliki konsep tata kelola masyarakat yang menempatkan perlindungan akal, kehormatan, dan generasi sebagai tujuan syariat (maqaṣid al-syari'ah). Prinsip ini melahirkan beberapa solusi

Pertama, negara wajib menjadi penjaga moral publik (ḥisbah). Dalam tradisi Islam, negara tidak menyerahkan urusan perlindungan moral generasi kepada individu atau korporasi. Negara bertugas memastikan ruang publik including digital bebas dari konten yang merusak akal dan perkembangan anak. Ini memberikan kepastian regulasi dan mencegah platform berlindung di balik mekanisme “evaluasi mandiri”.

Kedua, adanya standar nilai yang objektif dan tidak dikendalikan kepentingan industri. Islam menetapkan batasan moral yang jelas terkait pornografi, kekerasan, penipuan, eksploitasi, dan manipulasi. Dengan demikian, klasifikasi konten tidak perlu berubah-ubah mengikuti tren politik atau tekanan pasar.

Ketiga, perlindungan data sebagai amanah. Dalam Islam, menjaga amanah adalah kewajiban. Data anak tidak boleh dikumpulkan secara berlebihan, apalagi dijadikan aset komersial. Standar ini lebih tegas daripada pendekatan regulasi modern yang sering bergantung pada “komitmen perusahaan”.

Keempat, peran keluarga tetap kuat, namun negara tidak lepas tangan. Islam menempatkan keluarga sebagai pendidik utama, tetapi rambu-rambu publik tetap ditetapkan secara jelas oleh otoritas yang memiliki legitimasi moral.

Sering kali kata khilafah menimbulkan kesalahpahaman karena dikaitkan dengan gerakan politik kontpemporer. Namun dalam konteks ilmiah dan historis, khilafah merujuk pada prinsip tata kelola Islam yang menegakkan keadilan, amanah, dan perlindungan generasi.

Dalam perspektif itu, nilai-nilai Khilafah relevan untuk menjawab problem perlindungan anak, yaitu konsistensi nilai moral, kejelasan otoritas, ketegasan hukum, dan prioritas perlindungan umat di atas kepentingan korporasi.

Kita tidak sedang berbicara tentang perubahan sistem negara secara praktis, tetapi tentang adopsi nilai dan mekanisme etis Islam dalam kebijakan publik.

PP TUNAS adalah langkah awal, namun belum cukup. Tanpa fondasi nilai yang kuat, standar moral yang jelas, dan keberpihakan tegas pada perlindungan anak, regulasi digital selalu tertinggal dari ancaman yang berkembang.

Di sinilah prinsip-prinsip tata kelola Islam yang menekankan amanah, maslahah, dan penjagaan generasi memberi inspirasi penting. Dengan nilai-nilai tersebut, negara dapat menghadirkan sistem perlindungan digital yang bukan hanya teknis, tetapi juga bermartabat dan holistik.
Bagikan:
KOMENTAR