Ketika air bah menenggelamkan desa-desa di Sumatra, pemerintah buru-buru menyajikan narasi usang: 'bencana alam' akibat 'curah hujan ekstrem'. Namun, mari kita buang kacamata kuda itu. Bencana longsor dan banjir bandang yang kini berulang tragis bukanlah semata-mata 'ujian alam', melainkan sebuah surat dakwaan keras atas kejahatan lingkungan yang telah lama dilegitimasi oleh kebijakan penguasa—sebuah warisan pahit dari obral konsesi dan izin tambang berdarah.
Setiap kali lumpur tebal menimbun korban di kaki bukit Sumatra, kita menyaksikan kembali tontonan ironis: rakyat yang menderita, sementara para elite politik dan pengusaha menikmati hasil jarahan. Ini bukan soal teknis tata ruang; ini adalah wajah nyata sistem sekuler-kapitalisme yang telah merusak akal sehat. Dalam sistem ini, nyawa manusia dan kelestarian hutan selalu menjadi komoditas paling murah, dikorbankan demi fatwa suci keuntungan dan pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaannya bukan lagi 'mengapa banjir dan longsor terjadi?', melainkan 'siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya daya tampung bumi Sumatra?' Jawabannya terpampang jelas di balik kebijakan penguasa. Musibah ini adalah efek domino dari legalisasi kehancuran, dimana Undang-Undang Minerba dan Ciptaker menjadi alat sah bagi segelintir konglomerat untuk menjarah kekayaan alam, sementara rakyat kecil harus membayar mahal dengan nyawa, harta, dan air mata.
Bencana ini bukan sekadar insiden meteorologi, tetapi dampak kumulatif dari kejahatan lingkungan yang dilegitimasi oleh kebijakan penguasa dalam bingkai sistem sekuler-kapitalis. Bencana ini adalah akibat ulah manusia, bukan takdir. Telah terjadi transisi dari natural changing ke man-made disaster.
Seperti telah dijelaskan dalam QS Ar-Rum ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat mempertuhankan hawa nafsu. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, baik kota maupun desa, disebabkan karena perbuatan tangan manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan jauh dari tuntunan fitrah. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan buruk mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar dengan menjaga kesesuaian perilakunya dengan fitrahnya.
Berikut beberapa faktor pemicunya, kebijakan yang telah dilakukan pemerintah saat ini, yang secara eksplisit jenis-jenis izin yang merusak :
1. Hak Konsesi Lahan Besar-besaran (Terutama HGU perkebunan sawit monokultur).
2. Izin Tambang Terbuka (Termasuk pemberian jatah tambang untuk ormas/pihak tertentu).
Pemerintah juga telh mengeluarkan Undang-Undang yang menambah mulusnya penyebab bencana. Kedua UU yang dimaksud adalah UU Ciptaker (Omnibus Law), UU ini menyederhanakan izin dan melemahkan pengawasan lingkungan dan UU Minerba; kebijakan yang lebih memihak pada eksploitasi mineral.
Kebijakan di atas berdampak langsung terhadap kerusakan alam. Bahaya nyata dari pembukaan hutan besar-besaran adalah hilangnya fungsi resapan, erosi, dan kerentanan wilayah.
Sikap penguasa yang mengorbankan rakyat demi investasi adalah konsekuensi logis dari sistem yang dianut, yaitu sistem Sekuler yang memisahkan etika/agama dari politik dan pengelolaan sumber daya dan Kapitalisme yakni sistem yang mengutamakan maksimalisasi keuntungan pribadi/korporasi sebagai tujuan tertinggi. Kedua sistem ini menciptakan siklus kolusi (korupsi dan praktik legalisasi perusakan). Penguasa memberi izin, pengusaha memberi keuntungan. Hak milik rakyat atas lingkungan yang sehat dijarah atas nama pembangunan atau "pertumbuhan ekonomi," sebuah konsep yang mendewakan modal.
Penderitaan masyarakat karena banjir yang terjadi adalah akibat langsung dari negara yang meninggalkan hukum Allah dalam pengelolaan lingkungan. Sungguh menyedihkan, masyarakat, korban longsor dan banjir, di sisi lain pengusaha dan penguasa (elite) yang menikmati hasil hutannya.
Sejarah mencatat bahwa penanganan banjir di masa Daulah Abbasiyah mencakup strategi preventif (pencegahan) seperti perencanaan tata kota dengan drainase dan daerah resapan air, mitigasi saat bencana melalui pengerahan logistik dan bantuan warga, serta perbaikan infrastruktur pasca-bencana, didukung sistem keuangan Baitulmal untuk dana darurat, termasuk penggunaan teknologi hidrolik kuno dan keterlibatan ahli untuk pembangunan tanggul dan saluran air, sambil tetap menekankan aspek spiritual seperti doa dan tausiyah untuk ketabahan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, terjadi sebuah peristiwa banjir bandang yang dahsyat di kota Makkah yang menggenang di sekitar Ka’bah Masjidil Haram. Banjir ini dikenal dengan sebutan “banjir Ummu Nashal” dinamakan demikian untuk mengenang seorang korban jiwa peristiwa tersebut, seorang mukminah bernama Ummu Nashal binti Ubaidah bin Said.
Untuk mengatasinya, Khalifah Umar tidak sekedar memberikan bantuan darurat, tetapi langsung mengambil langkah strategis dengan membangun infrastruktur pelindung. Dua kontribusi utamanya adalah: membangun tanggul bagian atas untuk memecah dan membelokkan arus air yang deras dan tanggul bagian bawah (Rodam Al-Usaid) sebagai lapisan pelindung kedua. Sebuah solusi cerdas di masa itu.
Syariat Islam merupakan solusi tuntas pengelolaan lingkungan. Sumber daya alam seperti hutan adalah milik umum (baitul mal), pengelolaannya wajib menjamin kemaslahatan rakyat. Negara sebagai Pelindung (Ra'in), yang mana Penguasa (Khalifah) wajib menjaga lingkungan, bukan mengeksploitasinya. Untuk itu adanya sanksi syar'i yang keras terhadap perusak lingkungan, tanpa pandang bulu (pengusaha maupun pejabat) sepatutnya diberlakukan. Solusi ini hanya bisa diterapkan jika daulah khilafah tegak kembali. Marilah kita sama-sama berjuang menegakkan kembali kehidupan Islam secara kaffah agar bencana alam yang sama tidak terulang kembali. Wallahu A'lam bishawab.