Pedofilia Ancaman bagi Generasi Muda


author photo

14 Des 2025 - 11.59 WIB



Oleh: dr.hj.Sulistiawati, MAP

Masyarakat Kabupaten Berau dihebohkan dengan penangkapan seorang pemuda yang diduga kuat melakukan tindak asusila terhadap sejumlah anak laki-laki (pedofil). Masyarakat terkejut sebab pemuda tersebut  dikenal cerdas dan berprestasi. Sejauh ini baru ada 2 korban yang melapor, pelaku sudah diamankan di Mapolres Berau. Diduga masih banyak korban lainnya. Dalam waktu dekat jajaran MUSPIDA akan segera berkoordinasi menindak lanjuti dugaan masih ada korban lainnya. https://infoterkiniberau.com/viral-pejuang-sigap-di-giring-ke-mapolres-berau-tersandung-kasus-pedofil/ 

Kasus kekerasan seksual yang diungkap Polres Berau disebut sebagai salah satu kasus terbesar di wilayah ini.  Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Berau menemukan setidaknya 17 korban, kebanyakan berusia 15–17 tahun.  Beberapa korban bahkan telah menjadi mahasiswa. Sejumlah korban ini berasal dari Tanjung Redeb, Sambaliung, dan Tabalar. Pelaku sudah melakukan aksi ini sejak tahun 2021. https://poskotakaltimnews.com/read/16988/ungkap-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-polisi-sebut-ini-kasus-terbesar-yang-pernah-terjadi-di-berau

Rekam jejak pelaku pedofil cukup cemerlang. Pernah menjadi Duta Budaya Berau, aktivis pemuda, dan pembina pramuka. Reputasi yang sangat baik membuat banyak remaja dan orang tua menaruh kepercayaan yang kini justru disesali. Tak ada yang menyangka pemuda cerdas berprestasi itu ternyata pelaku pedofil. 

Dunia pendidikan pun tercoreng dengan mencuatnya kasus pelecehan oleh publik figur pendidikan. Kasus semacam ini sebenarnya ibarat fenomena gunung es. Banyak korban pelecehan yang enggan melapor karena malu, trauma, dan takut identitasnya tersebar.

Pedofil jelas perilaku menyimpang. Perilaku ini umumnya mulai muncul di masa remaja atau dewasa muda dan berlangsung setidaknya 6 bulan. Pelaku pedofil biasanya memiliki fantasi dan dorongan seksual terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun. Blum jelas apakah ini terkait faktor genetik atau pola perilaku yang diturunkan. 

Banyak dampak yang akan timbul akibat pelecehan seksual. Pertama, gangguan stress pasca trauma. Korban kekerasan dan pelecehan seksual rentan mengalami trauma dan stress berkepanjangan yang mengganggu konsentrasi, hubungan sosial, dan kualitas hidup anak. Kedua, resiko depresi. Korban pelecehan seksual bisa mengalami depresi yang menurunkan minatnya beraktivitas. Depresi juga bisa menimbulkan keputusasaan, gangguan pola tidur, hingga rasa keinginan bunuh diri. 
Ketiga, dampak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak menjadi faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan, hingga kerusakan organ internal, bahkan kematian. Keempat, dampak sosial. Dalam kasus pelecehan seksual, korban seringkali dikucilkan di kehidupan sosial. Padahal seharusnya korban mendalat dukungan moral untuk bangkit dari keterpurukan. 

Salah satu sebab utama tingginya kasus pelecehan seksual adalah  mudahnya akses internet. Anak-anak hinga orang dewasa bebas mengakses situs-situs porno. Konten-konten berbau pornografi dan pornoaksi pun beredar bebas melalui media sosial tanpa kontrol.

Pola asuh dalam keluarga juga berpengaruh cukup besar. Banyak keluarga yang tak memberi perhatian cukup pada pendidikan moral dan agama bagi anak. Padahal, pondasi kuat dari keluarga sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak agar tercegah menjadi pelaku dan korban pelecehan. 

Menurut data Pusiknas per Juni 2025 jumlah kasus persetubuhan atau cabul terhadap anak yang ditangani Polri sejak Januari hingga Juni 2025 yaitu sebanyak 2.648 kasus dimana 1.139 kasus berlokasi di rumah. Entah rumah pelaku, rumah korban, atau rumah lainnya. (Pusiknas, 20/07/2025)
https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/kasus_persetubuhan_pada_anak_paling_banyak_dilaporkan_terjadi_di_rumah

Menyedihkan, rumah tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak. Pendidikan moral dan seksual yang diberikan di sekolah-sekolah pun belum menunjukkan efektivitas yang signifikan. Bagaimana tidak, lingkungan pergaulan sudah sedemikian bebas. Nilai-nilai pergaulan bergeser ke arah sekulerisme dan liberalisme yang menggaungkan kebebasan, tanpa mengindahkan moral dan agama. 

Sanksi hukum pun belum menimbulkan efek jera. Pada Pasal 82 ayat 1 Perppu 1/2016 (UU 17/2016) tentang pencabulan terhadap anak, pelaku dijerat  dengan ancaman  5–15 tahun penjara dan denda hingga  Rp 5 miliar. Tapi realitanya banyak pelaku dihukum dan didenda ringanm belum lagi kasus-kasus yang berhenti di tengah jalan atau tidak terlaporkan, membuat pelaku pelecehan melanggeng bebas tanpa rasa bersalah. 

Hukum Islam bagi Pedofil 

Islam menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak sebagai langkah pencegahan (zawajir) dan penebus (jawabir) agar tak ada yang melakukan perbuatan keji serupa.

Pedofilia bukan sekedar kesalahan individu, tapi pengaruh sistem kapitalisme yang menyuburkan tindak-tindak kriminal. Sistem yang menjauhkan peran agama dari kehidupan. Atas nama HAM, sanksi pun tidak tegas kepada pelaku. Padahal memberantas pedofil perlu ketegasan dan hukuman menjerakan yang mustahil lahir dari sistem sekuler liberal.     

Maraknya penyimpangan seksual adalah bukti rusaknya tatanan hidup hari ini. Sekularisme dan liberalisme membentuk indiviu-individu rusak yang menghancurkan masa depan anak, masa depan generasi muda. Kerusakan sistem hidup tatanan sosial hari ini dapat terlihat jelas dari beberapa  hal yaitu: Pertama, individu yang berpandangan bahwa ia bebas melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya, termasuk dalam urusan seksualnya. Tidak ada ketaqwaan diri dan rasa takut terhadap azab Allah. Kedua, masyarakat yang minim aktivitas amar makruf nahi mungkar. Penyimpangan mulai dinormalisasi, bahkan diapresiasi, diberi ruang untuk eksis diri. Ketiga, negara membiarkan kemaksiatan. Tidak ada hukuman tegas bagi pezina sebagaimana aturan  syariat. 


Islam memiliki konsep pencegahan perilaku penyimpangan dengan melakukan edukasi dan menanamkan pemahaman  sejak dini sehingga terbentuk pola perilaku yang benar sesuai tuntunan Islam. Pendidikan Islam disampaikan di rumah, sejalan dengan kurikulum sistem pendidikan formal yang turut berperan mencetak generasi muda bertaqwa dan berakhlak mulia. Serta didukung media yang turut menjaga suasana kondusif bagi keimanan dan ketaqwaan individu di ruang-ruang maya. 

Sebagai langkah kuratif, wajib diberikan nasihat tentang tobat nasuha agar para pelaku kemaksiatan berhenti total sebelum Allah menurunkan azabNya. Pelaku juga diberikan hak membersihkan diri sebelum dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan. Hukum Islam pada dasarnya menjadi penghapus dosa bagi pelaku perbuatan tersebut. 

Ada beberapa jenis hukuman bagi pelaku pedofil. Jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan. Adapun jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain. Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93)
Jenis dan kadar ta'zir  di tentukan oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Dengan ketegasan hukum Islam, kehormatan manusia terjaga termasuk dari ancaman pelecehan seksual. Allah SWT. berfirman:
Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36).
Wallahu a’lam.
Bagikan:
KOMENTAR