Tidak Tetapkan Bencana Sumatera Berstatus Bencana Nasional. Negara Terancam Melanggar Kemanusiaan Skala Besar?


author photo

18 Des 2025 - 13.13 WIB




(Oleh : Juliana Najma, Pegiat Literasi)

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) pada akhir November 2025 lalu telah meluluhlantakkan 52 kabupaten/kota dan menyebabkan 3,3 juta penduduk merasakan dampak yang mengerikan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis total korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor (bansor) di Sumatera hingga Rabu (17/12/2025) mencapai 1.059 jiwa, 192 orang hilang, 2.600 luka luka, dan 544.600 orang tinggal di pengungsian.

Banjir bandang dan tanah longsor terjadi karena kombinasi curah hujan ekstrem dan menurunnya daya tampung wilayah akibat kerusakan lingkungan —deforestasi yang masif, illegal logging dan alih fungsi lahan secara ugal-ugalan, penyumbatan sungai oleh sedimen dan sampah, serta struktur tanah yang tidak stabil— membuat air hujan tidak terserap optimal dan mengalir deras ke sungai, meluap cepat, membawa serta material longsor ke pemukiman warga. 

Bencana Sumatera Penuhi Indikator Berstatus Bencana Nasional 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sekretariat Aceh, Sepriady Utama, di Banda Aceh, pada Selasa (16/12/2025), menyatakan dalam konteks undang-undang nasional, bencana ekologi di tiga provinsi di Sumatera telah memenuhi indikator sebagai bencana nasional sebagaimana Pasal 7 ayat (2) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi jumlah korban, kerugian harta benda;
kerusakan prasarana dan sarana;
cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. 

Menurut sekretaris LBH AP Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, bencana ekologi di Sumatera secara yuridis sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai bencana nasional. Ada lima kriteria: jumlah korban, luas wilayah terdampak, nilai kerugian dan kemampuan daerah dibandingkan tingkat bencana. 

Bila kriteria-kriteria tersebut sudah ada tetapi tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, menurutnya pemerintah sendiri yang melanggar UU Nomor 24 tahun 2007 Jo. PP Nomor 21 tahun 2008 Jo. Perpres Nomor 17 tahun 2018. "Perlu diingat keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, karena itu Presiden harus menjadikan upaya penyelematan itu sebagai hal yang paling utama," katanya 

Dampak bencana di Sumatera sangat signifikan. Lebih lanjut dia mengungkapkan peristiwa yang terjadi di ketiga daerah di Sumatera itu bukan saja disebabkan faktor alam. Tetapi ada kerusakan lingkungan dan kebijakan negara, sehingga negara punya tanggungjawab. 

Banjir dan longsor menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur secara masif. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendata per Minggu, (14/12/2025) total rumah rusak ringan, sedang, rusak, berat, dan hanyut akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera total 139.485 unit. Total jalan rusak 76 ruas jalan nasional sepanjang 2.085 km dan 31 jembatan nasional sepanjang 2.537 meter, serta 108 ruas jalan daerah dan 49 jembatan daerah. Sebanyak 973 sekolah, 562 madrasah, 53 pasar, 212 pondok pesantren, 308 fasilitas kesehatan, 360 rumah ibadah, hancurnya infrastruktur (seperti jembatan, jalan, jaringan telekomunikasi, listrik) dan dukungan kebutuhan dasar terputus, serta banyak keluarga hidup dalam situasi pengungsian serba terbatas.

Untuk itu, Warga di tiga provinsi mendesak Presiden untuk menetapkan Status Bencana Nasional, mengingat banyaknya korban, lambatnya distribusi logistik, dan potensi warga selamat yang justru meninggal akibat keterlambatan penanganan. Penetapan Status Bencana Nasional dinilai penting untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat mobilisasi helikopter dan alat berat, serta memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. 

Paradoks Penanganan Bencana Sumatera

Sudah memasuki hari ke-22 sejak bencana melanda tiga provinsi tersebut, namun penanganan pemerintah lamban dan tidak memadai, pemerintah tidak bisa membaca situasi faktual di lapangan. Batas maksimal kedaruratan adalah 14 hari, kini sudah lewat dan masih banyak wilayah terisolir. 

Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk, presiden Prabowo dalam sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025) lalu, kembali menekankan bahwa bencana hanya terjadi pada tiga dari 38 provinsi di Indonesia dan situasinya masih terkendali. Presiden juga memuji kinerja pejabatnya dalam penanganan bencana yang justru bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi warga di wilayah terdampak.

Minimnya respon pemerintah pusat membuat warga di berbagai lokasi mendirikan hunian sementara secara swadaya. Pernyataan pemerintah bahwa seluruh listrik di Aceh sudah menyala juga bertentangan dengan temuan lapangan: listrik padam, internet terbatas, dan banyak wilayah masih terisolir. 

Feri Amsari dari Themis Indonesia menyebut Presiden telah melakukan pelanggaran konstitusional karena mengabaikan keselamatan dan hak dasar warga. Potret ini menunjukkan betapa ironisnya menjadi warga negara ketika pengurus negara sibuk pencitraan namun gagal menyelamatkan dan melindungi rakyatnya. 

Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono mengungkapkan, lambannya penanganan banjir juga terkait instruksi efisiensi Presiden yang berdampak pada BMKG dan BNPB, termasuk perawatan alat deteksi dan sistem siaga. Konsentrasi Presiden pada PSN, terutama proyek Makan Bergizi Gratis, disebut membuka ruang perburuan rente.

Status bencana nasional mendesak agar logistik dan peralatan dapat segera didistribusikan untuk membuka akses. Bencana Sumatera yang terjadi memiliki daya rusak luar biasa dan seharusnya mendapat alokasi anggaran besar, bukan dipinggirkan demi proyek yang menghamburkan uang negara.

Sementara pemerintah masih sibuk dengan jargon nasionalisme dan harga diri bangsa. Solidaritas “rakyat bantu rakyat” kembali menjadi penyelamat tercepat bagi warga terdampak. Namun keadaan seperti ini tentu tidak bisa berlangsung lama. Sekretaris LBH AP PP Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, pada Rabu (17/12/2025) mengungkapkan testimoni dari para relawan yang terjun ke 3 provinsi tersebut, banyak wilayah yang terputus akses dan komunikasi tidak dapat dijangkau relawan, hanya bisa ditangani dengan peralatan yang dimiliki Negara seperti helikopter, alat-alat berat, dan lain-lain.

Korban Bencana Sumatera Butuh Dukungan Bukan Pencitraan 

Kepercayaan publik kepada Negara sepertinya benar-benar tergerus. Tagar #RakyatBantuRakyat pun menggema di berbagai platform media sosial. Beragam komentar dan kritik yang menggambarkan kegeraman dan kemarahan warganet atas eksistensi Negara di tengah bencana membanjiri lini masa. Diantaranya tuntutan publik atas penetapan status “Bencana Nasional", yang terkesan diabaikan.

Di tengah kesulitan sinyal dan daya listrik, warganet tidak saja disuguhi informasi terkait kondisi terkini di tiga daerah terdampak bencana Sumatera. Video dan foto para politisi pun “hadir” di sana. Mereka terlihat cukup meyakinkan, bahkan kadang terlihat berlebihan. Atensi dan empati publik pun “sengaja” disusupi atau diganggu untuk kepentingan elektoral dan keuntungan politik.

Narasi dan pernyataan Negara memang hampir selalu berseberangan dengan pendapat publik. Unggahan warganet yang memberitakan soal keadaan sebenarnya pasca bencana Sumatera mendapatkan “tandingan” dari konten-konten pencitraan para pejabat negeri ini. kehadiran para pejabat dan politisi dengan segala pencitraannya disebut-sebut sebagai upaya bersih-bersih atas pertanggungjawaban mereka terhadap kerusakan alam akibat keputusan, tandatangan, dan kebijakan yang yang ditengarai sebagai penyebab bencana, termasuk di Aceh hingga Sumatera Barat ini.

Masyarakat saat ini harus jeli menilai apakah pemimpin benar-benar mampu mengerahkan sumber daya, mengatur bantuan, dan melakukan tindakan nyata di lapangan. Kehadiran yang berfokus pada dokumentasi dan penampilan di media sosial saja tidak cukup, apalagi tanpa tindak lanjut yang dijalankan setelahnya. Ini semakin menunjukkan rendahnya kapabilitas pemimpin dalam menyikapi suatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.

Bencana di Sumatera mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang tulus dan efektif adalah yang menempatkan hasil nyata sebagai prioritas. Kepemimpinan saat krisis bukan soal popularitas, melainkan keberpihakan pada rakyat lewat langkah-langkah yang jelas dan berkelanjutan.

Kepemimpinan tidak seharusnya menjadi tontonan semata dalam masa sulit, melainkan ladang pengabdian yang bertanggung jawab. Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat, di atas segala kepentingan pribadi dan politik.

Pemimpin sebagai Perisai Umat

Konsep kepemimpinan di dalam Islam adalah cerminan dari Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Aturan Islam yang komprehensif mencakup solusi untuk seluruh problematika kehidupan termasuk bagaimana sebuah negara menanggulangi bencana. Dalam ajaran Islam, seorang pemimpin memiliki peran krusial sebagai junnah atau perisai yang melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman dan kesulitan. 

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, terjadi sebuah peristiwa banjir bandang yang dahsyat di kota Makkah. Banjir ini begitu besar hingga menggenangi area sekitar Ka’bah di Masjidil Haram. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan “banjir Ummu Nashal”. Nama ini diabadikan untuk mengenang salah seorang korban jiwa dalam peristiwa tersebut, seorang wanita mukminah bernama Ummu Nashal binti Ubaidah bin Said.

Menghadapi tantangan ini, Khalifah Umar tidak hanya memberikan bantuan darurat, tetapi langsung mengambil langkah strategis dengan membangun infrastruktur pelindung. Dua kontribusi utamanya adalah : (1) tanggul bagian atas dengan tujuan strategis dibangun untuk memecah dan membelokkan arus air yang deras. Hingga air tidak menerjang dan merusak bangunan suci Ka’bah serta area Masjidil Haram. (2) tanggul bagian bawah dengan tujuan strategis dibangun di area yang lebih rendah sebagai lapisan pelindung kedua untuk mencegah genangan meluas ke pemukiman penduduk.

Kepemimpinan Khalifah Umar tidak hanya terbatas pada solusi fisik. Respon beliau menunjukkan dimensi kepemimpinan spiritual yang utuh. Saat gempa bumi pernah mengguncang Madinah, beliau segera keluar dan menyeru kepada penduduk, menanyakan apakah ada di antara mereka yang telah berbuat maksiat. Beliau memahami bencana sebagai pengingat dari Allah, dan ajakannya menggerakkan umat untuk berintrospeksi dan beristigfar bersama, yang seketika itu menghentikan guncangan.

Penanggulangan bencana dalam sejarah Islam memiliki pola yang menjadi standar dalam pemerintahan Islam: respon Khalifah yang cepat dan terpusat, pemanfaatan kas negara dari Baitul Mal secara khusus untuk keadaan darurat, pembangunan infrastruktur preventif, mobilisasi aparatur negara dan umat, serta keterbukaan negara terhadap kepedulian dimensi global. Sebagai contoh, pada masa Khilafah Utsmaniyah, tercatat sejarah pengiriman bantuan senilai 25.000 keping emas untuk korban bencana banjir di Batavia (sekarang Jakarta), dan juga bantuan yang dikirim oleh Sultan Abdul Hamid II untuk para korban letusan dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang berdampak pada Banten dan Lampung. Ini menunjukkan kepedulian seorang pemimpin kepada kaum Muslim di manapun mereka berada..

Hikmah Dibalik Musibah

Berdasarkan cara para pemimpin Islam memandang dan menangani bencana, kita dapat mengambil beberapa hikmah atau pelajaran. 

Pertama, bencana adalah teguran sebagai peringatan. Setiap musibah dipandang sebagai teguran dari Allah SWT agar manusia senantiasa berintrospeksi dan kembali pada jalan ketaatan.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Bencana Sumatera bukan semata karena faktor cuaca. Bencana yang sedahsyat ini adalah buah dari sistem kapitalisme-sekuler yang menjadikan seluruh sektor sebagai ladang meraup pundi-pundi keuntungan pribadi. Ratusan gelondongan kayu dari hulu sungai telah sampai ke pemukiman, ribuan data deforestasi hutan Sumatera yang dialihkan menjadi lahan sawit terkuak ke permukaan, izin tambang dan mudah pemberian izin atas pengerukan SDA yang tidak memikirkan dampak lingkungan. Sungguh negara ini telah melakukan dosa besar terhadap lingkungan yang dampaknya harus ditanggung rakyat.

Kedua, bencana sebagai ujian keimanan dan kesabaran. Bencana adalah ujian untuk mengukur dan meningkatkan kualitas kesabaran serta keimanan seorang hamba kepada Rabb-nya. 

Ketiga, bencana sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan. Selain dimensi spiritual, Islam menekankan pentingnya ikhtiar dan tindakan nyata. Melakukan upaya preventif, membangun infrastruktur, dan mengelola alam secara bijaksana adalah bagian dari amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi. 

Seluruh poin ini tidak akan terwujud pada sebuah negara yang menerapkan sekulerisme —yakni ketika aturan agama dipisahkan dari kehidupan. Negara tidak lagi menjadikan hukum Allah sebagai aturan yang dijalankan dalam menyelenggarakan urusan umat. Konsep ini membebaskan para pemimpin untuk menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya. Satu-satunya harapan bagi umat untuk mewujudkan negara yang memprioritaskan kemaslahatan umat hanyalah dengan menegakkan sistem Islam yang menerapkan syari'at secara kaffah.

Wallahu a'lam bishshawab.
Bagikan:
KOMENTAR