Warga Lhokseumawe Suarakan Kekecewaan atas Warisan Pengelolaan Hutan di Aceh


author photo

19 Des 2025 - 00.04 WIB



Jakarta - Keluhan keras kembali terdengar dari warga Lhokseumawe dan wilayah sekitarnya terkait persoalan lahan, banjir, dan kerusakan lingkungan yang mereka nilai sebagai warisan panjang dari kebijakan masa lalu. Dalam berbagai percakapan publik, warga menyampaikan kemarahan dan rasa frustrasi terhadap apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan ekologis yang terus membayangi Aceh hingga hari ini.

Salah satu keluhan yang paling menonjol adalah terkait kepemilikan dan pengelolaan lahan seluas sekitar 120 hektare di Bener Meriah, yang menurut warga setempat seharusnya dikembalikan kepada negara untuk dijadikan hutan lindung. Mereka menilai bahwa kawasan tersebut memiliki fungsi ekologis vital sebagai daerah tangkapan air bagi Aceh Tengah, Bener Meriah, hingga Aceh Utara dan Lhokseumawe. Ketika kawasan itu tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, warga merasa dampaknya langsung mereka rasakan dalam bentuk banjir yang semakin sering dan semakin parah.

Kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, seorang warga Lhokseumawe yang tempatnya terdampak banjir bandang, menyampaikan bahwa persoalan ini tidak muncul tiba-tiba. Warga ini, sebut saja namanya Dayat, menjelaskan bahwa akar masalahnya hingga ke era 1960–1970-an, ketika pemerintah Orde Baru memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada sejumlah pihak yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Salah satu nama yang sering disebut warga adalah Bob Hasan, tokoh bisnis yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana. Melalui PT. APPI, perusahaan tersebut disebut memperoleh izin untuk membabat hutan di kawasan Aceh.

Kayu-kayu berkualitas tinggi dari hutan Aceh kala itu ditebang dan diekspor ke luar negeri. Setelah pembabatan besar-besaran, kawasan tersebut kemudian ditanami pohon pinus. Penanaman pinus ini bukan tanpa tujuan: pohon-pohon tersebut menjadi pemasok bahan baku bagi PT Kertas Kraft Aceh (KKA) yang beroperasi di Krueng Geukueh, Aceh Utara.

“Syahdan di tahun 60-70 an pemerintah kolonial Suharto memberi ijin HPH hak pembababtan hutan kepada kerabat Cendana, Bob Hasan untuk PT. APPI. Kayu bagus dibabat dibawa ke luar negeri lalu ditanami pinus. Pinus itu dipasok sebagai bahan baku untuk PT KKA (Kertas Kraft Aceh) di Krueng Geukuh Aceh Utara,” tulis Dayat melalui pesan WhatsApp-nya, Kamis, 18 Desember 2025.

Warga Lhokseumawe ini mengingat masa itu sebagai periode ketika industri besar masuk ke Aceh dengan janji pembangunan, namun meninggalkan jejak panjang berupa kerusakan ekologis. Mereka menilai bahwa hutan alam yang hilang tidak pernah benar-benar dipulihkan.

Ketika Orde Baru berakhir dan Soeharto lengser, banyak proyek dan konsesi yang sebelumnya berjalan di bawah perlindungan politik mulai terbengkalai. PT KKA, yang pernah menjadi kebanggaan industri Aceh, akhirnya bangkrut. Lahan-lahan bekas garapan pun ditinggalkan tanpa pemulihan yang memadai.

Rakyat Aceh kemudian mempertanyakan status Hak Guna Usaha (HGU) yang sebelumnya terkait dengan Bob Hasan. Mereka menyebut bahwa lahan tersebut kini dikelola oleh pihak lain yang disebut-sebut terkait dengan Presiden Prabowo Subianto. Hal inilah yang memicu tuntutan agar kawasan itu dikembalikan menjadi hutan lindung. Bagi warga, pemulihan ekologis jauh lebih penting daripada kepentingan bisnis apa pun.

“Suharto lengser, lahan garapan ditinggalkan, dan PT KKA bangkrut. Ternyata HGU milik Bob Hasan sekarang dikelola oleh Prabowo, dia punya 120 Ha lahan di Bener Meriah,” tambah Dayat dengan nada kecewa.

Dalam beberapa tahun terakhir, banjir besar melanda Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, hingga Aceh Timur. Warga menilai bahwa kerusakan hutan di Aceh Tengah dan Bener Meriah berperan besar dalam memperparah bencana tersebut. Air yang seharusnya tertahan oleh hutan kini mengalir deras ke dataran rendah, merendam rumah, sawah, dan fasilitas umum.

“Air dari Aceh Tengah dan Bener Meriah merendam Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe hingga Aceh Timur,” kata pria aktivis lingkungan di Lhokseumawe itu. 

Bagi warga, banjir bukan sekadar bencana alam, tetapi konsekuensi dari kebijakan masa lalu yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan. Mereka merasa bahwa generasi sekarang harus menanggung “utang ekologis” yang ditinggalkan oleh para penguasa dan pengusaha di masa lalu.

Di berbagai media dan platform media sosial, warga menyuarakan tuntutan yang sama: kawasan hutan yang dulu dibabat harus dikembalikan kepada negara dan direstorasi menjadi hutan lindung. Mereka menilai bahwa langkah ini bukan hanya soal keadilan lingkungan, tetapi juga soal keselamatan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Sebagian warga bahkan menyebut bahwa “Besar sekali dosa Cendana untuk Aceh,” sebuah ungkapan yang mencerminkan betapa dalamnya luka ekologis dan sosial yang mereka rasakan. Bagi mereka, kerusakan hutan bukan sekadar statistik, tetapi pengalaman hidup yang nyata, banjir yang merendam rumah, mata pencaharian yang hilang, dan ketidakpastian masa depan.

Keluhan warga Lhokseumawe dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa persoalan lingkungan di Aceh tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang pengelolaan sumber daya alam yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Suara warga ini menjadi pengingat bahwa pemulihan lingkungan bukan hanya tugas teknis, tetapi juga proses keadilan historis. Mereka berharap pemerintah hari ini mampu mengambil langkah tegas untuk memulihkan hutan Aceh dan memastikan bahwa kesalahan masa lalu tidak terus diwariskan kepada generasi berikutnya. (APL/Red)
Bagikan:
KOMENTAR