Banjir Melanda, Fenomena Alam atau Ulah Manusia?


author photo

30 Mei 2023 - 06.57 WIB


Oleh: Maulina Rufaida, S. Pd (Pemerhati Masalah Sosial)

Desa Bumi Etam SP 1 dan Desa Kadungan Jaya, dua desa di Kecamatan Kaubun, Kutai Timur di landa banjir besar. Bahkan dari musibah tersebut telah dilaporkan satu orang meninggal dunia. Salah seorang warga Kaubun, Yohanes Richardo Nanga Wara menjelaskan banjir kali ini merupakan yang terparah. Memang terjadi hujan tetapi debit air cepat sekali naik. 

Lebih jauh Richardo menjelaskan, kendati sebelumnya hujan melanda Kecamatan Kaubun, namun ini bukanlah faktor tunggal penyebab banjir. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, kecamatan ini tak pernah dilanda banjir seganas ini. Richardo mengemukakan bahwa banjir terjadi lantaran daya dukung lingkungan di Kecamatan Kaubun yang lemah. Pasalnya, daerah ini sudah lama dikepung aktivitas perusahaan, baik pertambangan batu bara maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit. Aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut dinilai merusak keseimbangan lingkungan. (kaltimtoday.co, 08/05/2023) 
Banjir juga melanda Berau di Kecamatan Kelay, Segah, Teluk Bayur, dan Sambaliung. Imbas banjir yang terjadi beberapa hari terakhir, membuat seluruh layanan umum di Kampung Tumbit Dayak dihentikan sementara. Hal itu diutarakan Kepala Kampung Tumbit Dayak, Maspri, kemarin (10/5).

Layanan umum itu di antaranya Puskesmas Pembantu (Pustu), Sekolah Dasar (SD), dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). “Banjir sejak Senin (8/5) siang hari. Saat ini ketinggian sudah mencapai 1 meter,” ujarnya. (berau.prokal.co 11/05/2023)
Curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya banjir. Alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam. Terdapat banyak sekali kajian ilmiah yang menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perubahan iklim terjadi karena komposisi atmosfer global yang terpengaruh aktivitas manusia. Penebalan lapisan atmosfer menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer makin banyak. Peningkatan konsentrasi gas inilah yang mengakibatkan efek rumah kaca, yakni proses peningkatan suhu bumi.

Kondisi ini meningkatkan jumlah air di atmosfer sehingga curah hujan meningkat. Saat curah hujan besar dengan intensitas padat turun tanpa adanya lahan yang menampung debit air tersebut, jelas akan meluap dan mengakibatkan banjir.
Sementara alih fungsi lahan karena pembangunan masif dan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan, membuat debit air tidak tertampung secara normal. Hal ini wajar terjadi saat hutan banyak ditebangi untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), luas tutupan hutan Indonesia sudah berkurang 956.258 hektare (ha) selama periode 2017-2021. Penurunan luas tutupan hutan paling banyak terjadi di Kalimantan, yakni berkurang 654.663 ha atau 1,2% dari luas daratan pulaunya.

Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian liar. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran sungai.

Wajar jika Global Footprint Network menyebut bahwa tahun 2020 Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Artinya, konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan berdampak pada berkurangnya daya dukung alam. (ipb.ac.id, 08/02/2022)
Pembangunan yang kapitalistik ini dikejar sebagai turunan dari kebijakan-kebijakan kapitalistik pula. Alih fungsi lahan banyak terjadi tatkala materi menjadi orientasi para penguasa. Alih fungsi lahan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang terjadi secara masif. Diperparah dengan ekosistem perkotaan berubah menjadi hutan beton untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai “pertumbuhan ekonomi”. Rencana tata ruang wilayah pun mudah diutak-atik sesuai kepentingan pemodal. Analisis dampak lingkungan dalam pembangunan pun seakan formalitas yang mengikuti kepentingan para pemilik modal.

Jika sistem sekuler kapitalis terus bercokol di bumi nusantara ini jangan heran jika masalah banjir tidak akan selesai, bahkan bisa jadi semakin bertambah, karena sifat dari kapitalisme yang sangat haus akan materi (uang) tidak akan memperdulikan keseimbangan dan kelestarian alam, walhasil alam akan memberikan balasan yang setimpal atas perbuatan manusia, berupa banjir dan bencana lainnya.  

Untuk menyelamatkan dunia saat ini, butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Allah pencipta manusia dan alam semesta.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan keselarasan dan kelestarian. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapapun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.
Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus rakyat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur yang boleh dan terlarang hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh semua.

Islam misalnya, menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara berlebihan sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekarang.

Saat sistem Islam ditegakkan, tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya benar-benar sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia terhadap lingkungan.

Seharusnya musibah seperti ini justru memberi hikmah yang banyak, terutama membuat umat manusia makin dekat kepada Allah Taala. Bukan malah menambah jauh umat manusia dari syariat Rabbnya. Juga membuat penguasa lebih bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencegah terjadinya bencana serta melakukan mitigasi sebaik-baiknya saat bencana tidak terhindarkan. Sebagaimana tampak ketika Sayyidina Umar ra. begitu khawatir akan Allah tanya ketika ada kambing yang terperosok akibat jalan berlubang sedikit saja.

Sungguh umat Islam hari ini harus segera bertaubat kepada Allah SWT. Kedurhakaan mereka sudah sedemikian parah hingga Allah menurunkan bencana sebagai bentuk peringatan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar Ruum ayat 41 yang artinya sebagai berikut, 

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Taubatnya dengan serius berjuang mengembalikan sistem kepemimpinan Islam. Yakni dengan jalan dakwah membangun kesadaran di tengah umat tentang rusaknya sistem kapitalisme sekaligus tentang urgensi hidup di bawah naungan syariat Islam. Wallahualam bissawab.
Bagikan:
KOMENTAR