Intoleransi di Indonesia, Merusak Hak Umat Beragama Lain?


author photo

16 Okt 2024 - 02.15 WIB


Oleh : Nurul Rahmah, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)

Permasalahan intoleransi kembali mencuat di Indonesia. Terbaru, terjadi penolakan atas pendirian Sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, oleh sekelompok masyarakat sekitar. Peristiwa ini dinilai sebagai tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia (Barometer, 26/9/2024)

Hal ini semakin diperkuat saat beredar video mengamuk seorang perempuan di sebuah kompleks perumahan di Kota Bekasi, Jawa Timur. Perempuan itu tidak terima dengan tetangganya umat Kristiani yang beribadah di salah satu rumah. Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan publik. Lagi, ASN Pemerintah Kota Bekasi itu dinilai tidak mencerminkan sikap toleransi antar-umat beragama. (iNews, 26/9/2024)

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Penolakan masyarakat Parepare terhadap pendirian sekolah Kristen semestinya jangan lantas diklaim atau dipandang sebagai sikap mencederai toleransi. Pada dasarnya, masyarakat Parepare sedang meminta haknya untuk perlindungan atas keyakinan dan ketaatan pada ajaran Islam. Mereka tentu tidak mau ada ancaman akidah yang bisa menyerang keimanan keluarganya.

Demikian halnya ketika ada penolakan kebaktian yang dilakukan di lingkungan perumahan warga, jangan lantas dipandang memunculkan konflik antartetangga, apalagi dinilai sebagai intoleransi yang melukai hubungan antarumat beragama. Ini karena faktanya, sikap mereka—yang melakukan kebaktian di rumah yang mayoritas tetangganya adalah muslim—justru menunjukkan sikap intoleransi. Ini karena biasanya, dalam kebaktian, dinyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara keras, tentu ini cukup mengganggu sekitarnya.

Alhasil, perlu ada pendetailan penyebab masyarakat muslim di suatu daerah sampai menolak berdirinya lembaga pendidikan berbasis agama tertentu. Bisa jadi selama ini ada indikasi bahwa di balik berdirinya lembaga berbasis agama, ada misionaris yang hendak memurtadkan warga muslim di daerah. Wajar jika masyarakat muslim khawatir akan hal tersebut.

Umat Islam Terpojok

Istilah intoleransi terus digaungkan di negeri ini. Seolah-olah negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini sedang diancam oleh penyakit intoleransi.  Sayangnya, sering kali label intoleran ini disematkan pada umat Islam. Sementara di sisi lain perilaku intoleran yang nyata-nyata menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya, para pelakunya tidak disebut intoleran. 

Apakah karena pelakunya merupakan kelompok minoritas dan korbannya muslim yang mayoritas sehingga tidak dianggap kezaliman? Seolah-olah pula, tidak mungkin terjadi ketidakadilan pada minoritas dan tidak ada istilah tirani minoritas terhadap mayoritas. Kelompok minoritas seakan menjadi pihak yang selalu tertindas dan harus dibela sekalipun salah.

Walhasil, inilah yang terjadi ketika negara tidak hadir sebagai pelindung (ro'in) rakyatnya. Negara justru membuka kran liberalisasi akidah dan membiarkan terjadinya pemurtadan secara massif. 

Sebaliknya, tidak sedikit sekolah berbasis Islam yang dituduh radikal. Salam dan tepuk anak saleh, misalnya, disebut radikal. Beberapa ajaran Islam juga sampai tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah, seperti jihad dan sistem pemerintahan Khilafah. Hingga pelarangan kerudung di Bali misalnya, atau perusakan masjid di Papua. Umat Islam yang betul-betul ingin menjalankan aturan agamanya secara sempurna pun dilabeli radikal. Bukankah ini cukup membuktikan bahwa negara bersikap intoleran terhadap umat Islam?

Islam Agama Toleran

Islam adalah agama yang menghargai masyarakat yang plural, yakni beragam suku, bangsa, agama, bahasa, serta keberagaman lainnya. Ini merupakan keniscayaan. Daulah Islam yang Rasulullah saw. pimpin—sebagai representasi penerapan seluruh hukum Islam—dengan begitu indahnya menghargai dan melindungi keberagaman ini, selama menaati aturan Daulah Islam.

Islam juga telah memberikan ketentuan yang lengkap dan sempurna, termasuk soal toleransi. Di antaranya pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan semua paham yang lahir dari semua itu, adalah kufur. Semua agama selain Islam juga kufur karena agama yang Allah ridai hanyalah Islam. Siapa pun yang meyakini agama atau paham selain Islam, baik sebagian maupun keseluruhan, adalah kafir (lihat QS Ali Imran: 19 dan 85).

Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut akidah maupun syariat. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti ateisme, politeisme, keyakinan bahwa Al-Qur’an tidak lengkap, keyakinan adanya nabi dan rasul setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw.), pengingkaran terhadap Hari Akhir, dan lain-lain. Berkaitan dengan syariat, Islam tidak menoleransi orang yang menolak kewajiban salat, zakat, puasa, keharaman zina dan pergaulan bebas, keharaman membunuh tanpa hak dan kewajiban, dan larangan lain yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i.

Ketiga, Islam tidak melarang muslim berinteraksi dengan nonmuslim dalam perkara-perkara mubah, seperti jual beli, kerja sama bisnis, dan sebagainya. Larangan berinteraksi dengan nonmuslim terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan nonmuslim, dan sebagainya. Segala ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

Keempat, adanya ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan kaum kafir di mana pun mereka berada, dan caranya harus sejalan dengan syariat Islam. Nonmuslim yang hidup di Daulah Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam (dalam batas-batas tertentu) akan diperlakukan sebagaimana kaum muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islam sama dengan kaum muslim. Harta dan jiwa mereka pun dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi, maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan kafir harbi fi’lan.

Sungguh, Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan sangat baik dan Indah sejak masa Rasulullah saw. sekira 15 abad lalu. Nonmuslim merasakan hidup sejahtera di bawah naungan Islam, berbondong-bondong masuk ke dalam Islam, bahkan meminta hidup dalam perlindungan kekuasaan Islam. Islam juga memberikan tuntunan dalam menghargai dan menghormati pemeluk agama lain, salah satunya tidak memaksa nonmuslim masuk ke dalam Islam.

Beginilah definisi toleransi sesuai tuntunan Allah dan RasulNya, dan inilah yang harus diamalkan.  Ketiadaan negara yang menerapkan syariat Islam yang akan berperan sebagai junnah menjadikan umat islam menjadi sasaran musuh-musuh Islam.  Umat Islam pun banyak yang tidak memahami tuntunan Islam ini. Oleh karena itu menjadi kebutuhan untuk menyadarkan umat akan kebutuhan tegaknya Khilafah sebagai junnah.  Sedangkan untuk memahamkan umat dibutuhkan adanya kelompok dakwah ideologis yang akan terus-menerus mengawal umat dan berjuang bersama menegakkan khilafah islamiyyah.

Wallahu'alam bisshawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT