Oleh: Annisa Nurul (Aktivis Dakwah Remaja)
Kasus tawuran antar pelajar kini kembali marak terjadi. Pelaku tawuran pun semakin bervariasi. Mulai dari siswa SMA, SMK, hingga siswa SMP. Demi mencegah hal itu terjadi, tim kepolisian di Samarinda melakukan kunjungan ke beberapa sekolah untuk melakukan penyuluhan penecegahan tawuran melalui apel pembinaan. Hal itu dilakukan dalam rangka mencegah kasus tawuran pelajar dan kasus-kasus kenalakan remaja lainnya.
Inti pembinaan berkaitan dengan tertib berlalulintas, bahaya narkoba, dan tawuran pelajar. Dalam kegiatan tersebut Iptu Kasidi, S. H., menghimbau kepada seluruh siswa-siswi agar mampu menjaga diri dengan baik. Jangan mudah terjurumus dalam pergaulan yang menyesatkan dan bernilai negatif.
Beberapa poin penting yang disampaikan dalam apel tersebut diantaranya:
Pertama, larangan membawa senjata tajam. Kedua, larangan berkendara dengan perlengkapan berkendara yang tidak standar dan tidak lengkap. Misalnya berkendara dengan motor tidak berspion, tidak menggunakan helm, dan knalpot brong. Ketiga, larangan minum minuman beralkohol, dan obat-obatan terlarang (narkoba). Keempat, siswa harus bijak dalam bermedia sosial. Tidak boleh ada bullying baik verbal maupun fisik.
(polrestasamarinda.id/ 14 Oktober 2024)
Parahnya, dari sekian banyak kasus kekerasan pelajar di Indonesia, tidak hanya menyebabkan luka fisik, tapi juga mengarah pada kematian. Sungguh perbuatan kriminal hari ini sangat mudah dilakukan, bahkan pelakunya adalah anak-anak. Tentu ini harus menjadi perhatian tersendiri bagi semua masyarakat khususnya orang tua.
Kasus kekerasan pelajar dan tawuran tentu merupakan hal yang kompleks. Kita tidak hanya bisa memandang kasus ini dari sisi pelajarnya saja, melainkan harus ditelisik faktor-faktor apa saja yang memicu terjadinya kasus kekerasan tersebut.
Sistem pergaulan hari ini membuat para remaja kebingungan mencari jati diri dan haus akan eksistensi. Segala cara mereka lakukan untuk menunjukkan kehebatan dirinya. Ditambah sarana dan prasarana di era digital membuat remaja memiliki banyak referensi tentang bagaimana mereka harus berbuat, menurut standar global. Derasnya arus informasi digital ditambah ketidaksiapan mental dalam menampung informasi tersebut, membuat mereka kesulitan memilih dan memilah yang benar, sehingga kebingungan tersebut pula yang menjadi salah satu sebab ketidakstabilan emosi pada remaja. Akhirnya, perasaan mereka jadi mudah tersulut. Aksi yang mereka lakukan pun menjadi reaktif dan provokatif. Sehingga tak jarang diluapkan dalam bentuk kekerasan baik secara verbal maupun fisik.
Hilangnya fungsi agama dalam kehidupan tentu menjadi faktor penting yang tidak bisa luput dari perhatian. Generasi muda semakin jauh dari aturan agama. Mereka tidak mendalami bahkan enggan untuk mempelajari agama sebagai kebutuhan dasar hidup manusia. Sehingga aqidah islam yang dimiliki generasi muda kian tergerus, dan menyebabkan tindakan-tindakan yang dilakukan terkesan impulsif dan tidak didasari dengan ilmu. Saat pemikiran seseorang jauh dari Islam, maka sudah pasti segala perbuatannya pun akan jauh dari standar Islami. Tak heran kasus kekerasan marak terjadi. Karena agama sebagai benteng tertinggi dari hawa nafsu kini sudah tidak dipakai lagi. Jadi, sekulerisasi atau pemisahan agama dari kehidupan adalah faktor utama dari segala problematika yang dialami remaja hari ini.
Berkaca dari segala masalah yang dialami umat hari ini, kita harus mencoba mengurainya dari berbagai aspek. Karena fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah remaja, yang dimana hidupnya masih tidak bisa lepas dari orang tua, maka peran orang tua dan keluarga cukup besar dalam hal ini.
Islam mengatur bagaimana hubungan anak dengan keluarga. Orang tua sebagai pendidik utama, wajib mengajarkan dan membentuk syakhsiyyah atau kepribadian islam pada setiap anggota keluarganya. Syakhsiyyah Islam adalah suatu kepribadian yang terdiri dari pola pikir dan pola sikap yang islami. Artinya, segala pemikiran yang terkandung dan perbuatan yang dihasilkan haruslah sesuai dengan syariat Islam. Untuk membentuk pemikiran islami, orang tua haruslah menanamkan Aqidah Islam kepada anak sedini mungkin. Aqidah adalah iman kepada Allah hingga yakin bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, untuk Allah, dan akan kembali pada Allah. Maka, kalau pemikiran dan aqidah nya benar, Insya Allah pola sikap nya pun akan sesuai dengan standar syariat.
Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan atau biasa disebut sebagai naluri (gharizah). Dalam Islam, salah satu gharizah yang dimiliki manusia adalah gharizah baqa' atau naluri mempertahankan diri. Naluri tersebut tentu harus dikendalikan sesuai aturan. Karena kalau tidak, pasti akan menimbulkan kemudhorotan. Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan. Maka, penyaluran gharizah baqa' yang paling tepat tentu harus sesuai standar syariat Islam juga.
Tawuran adalah bentuk reaksi dari gharizah baqa' atau naluri mempertahankan diri. Ada upaya untuk mempertahankan dan menunjukkan eksistensi diri bahwa dirinya adalah orang yang hebat, kuat dan tidak terkalahkan. Namun, reaksi yang diimplementasikan salah karena hanya mengandalkan emosi dan hawa nafsu. Maka, saat gharizah baqa' seseorang tersulut, harus segera dialihkan dengan pengaturan sesuai syariat.
Bagaimana Islam mengendalikan naluri eksistensi diri?
Dalam lingkup keluarga, orang tua bisa memotivasi dan memfasilitasi anak untuk berprestasi. Sebagai contoh, dari kecil sudah dibiasakan untuk menghafal Al-Qur'an. Maka dalam dirinya akan muncul semangat untuk menumbuhkan rasa cinta pada Al-Qur'an, serta termotivasi untuk terus menambah hafalan ayat dan surat. Jika kebiasaan baik itu sudah terbentuk, maka anak tersebut akan menghasilkan prestasi cemerlang di bidang menghafal. Sehingga anak tidak perlu lagi kebingungan mencari pengakuan bahwa dirinya hebat. Karena dengan prestasi tersebut anak juga sudah merasa dirinya mampu dan orang tua pun membantu memfasilitasi potensi tersebut. Sehingga naluri mempertahan diri/eksistensi diri pun tersalurkan dengan cara yang benar.
Orang tua juga bisa menyalurkan kasih sayang pada anak dengan kata dan kalimat pujian yang baik. Seperti memanggilnya dengan sebutan "anak sholih" , "anak hebat" , "anak cerdas" , dll sebagai bentuk pengakuan bahwa anak punya gharizah baqa' yang perlu divalidasi. Dengan begitu, anak tidak perlu mencari validasi dari orang lain, serta tidak perlu mencari perhatian orang tua dengan cara-cara yang tidak terpuji.
Dalam lingkup yang lebih luas, perlu ada pengontrolan dari masyarakat. Dalam Islam, masyarakat memiliki peran untuk amar ma'ruf nahi munkar. Menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Artinya, jika di tengah lingkungan kita terdapat perbuatan atau kenakalan remaja, kita harus mencegahnya. Misal, terlihat ada sepasang muda-mudi yang sedang berpacaran. Maka jika pengontrolan dari masyarakat itu berjalan dengan baik, hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan tersebut dapat langsung dicegah. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian jika terlihat ada segerombolan pemuda yang nongkrong sambil minum-minuman keras, bisa langsung ditegur dan dibubarkan.
Namun, ketaatan individu/keluarga dan pengontrolan dari masyarakat tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan sistem negara dan aturan yang tegas. Negara merupakan support system yang harusnya paling bisa memfasilitasi kebaikan dan menyalurkan potensi ke arah positif. Sayangnya, hari ini negara belum bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Kenakalan remaja masih marak terjadi. Itu disebabkan karena sistem pendidikan, sistem pergaulan, dan sistem sanksi yang dilaksanakan tidak tegas dan tidak berlandaskan syariat Islam.
Kita bisa melihat bukti nyata gambaran mulianya generasi jika sistem Islam ditegakkan. Negara akan memastikan lahirnya tokoh-tokoh kelas dunia selevel masa khulafaurasyidin, seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Umar bin Khaththab, ataupun Ali bin Abi Thalib. Juga para tokoh pada masa kekhalifahan selanjutnya, seperti Muhammad al-Fatih dan Shalahuddin al-Ayyubi. Bahkan, sebagaimana para alim ulama semisal empat imam mazhab dan para ilmuwan yang luar biasa, seperti Al-Farabi, Khawarizmi, dan lainnya.
Lahirnya para tokoh Islam itu tidak lain karena proses pendidikan Islam yang dijalankan penuh tanggung jawab demi mencapai tujuan, yaitu lahirnya generasi Khoiru Ummah atau ummat terbaik. Pendidikan Islam tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan membentuk pribadi tangguh yang berkepribadian Islam. Dan sekali lagi, lahirnya generasi emas berakhlak mulia hanya bisa terwujud jika aqidah di tengah umat sudah shohih, ditambah penerapan Sistem Islam di tengah masyarakat. Karena hanya hukum Allah lah yang mampu menuntaskan segala problematika kehidupan.
Wallahu'alam bishowwab.